Jumat, 27 Mei 2016



Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno dan teladan Tuhan Yesus serta Relevansinya dengan Konteks Saat Ini : Menceritakan Firman Allah turun temurun
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Pendahuluan
                Jika kita rajin mengikuti perkembangan berita, baik melalui surat kabar maupun televisi, kita akan menjumpai fenomena yang memprihatinkan dalam dunia anak-anak maupun remaja. Beberapa di antara mereka sudah terlibat dalam perilaku kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, pelaku kekerasan terhadap teman sebaya, bahkan berujung pembunuhan. Ketika mencermati berita-berita tersebut, timbul pertanyaan,”bagaimana cara orang tua mereka mendidik anak-anak maupun remaja tersebut?”.
Pertanyaan tersebut sangat wajar mengingat pendidikan pertama dalam diri manusia diperoleh melalui didikan dan pengajaran dari orang tua kandung maupun orang di sekitar mereka yang lebih tua. Tentunya, dalam konteks ini kita melihat pentingnya pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar anak-anak tidak terjerumus dalam perbuatan kriminal maupun perbuatan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kalau demikian, kita tentu perlu mengetahui, pola dan perkembangan pendidikan kepada anak-anak, khususnya pengajaran mengenai agama. Melalui artikel ini, penulis akan membahas mengenai pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus serta relevansinya dengan konteks saat ini sebagai pola yang bisa diaplikasikan yang berguna sebagai “benteng” atau pertahanan awal bagi anak dan remaja agar tidak terjerumus dalam tindakan kriminal dan tindakan lain yang tidak sesuai ajaran agama.

Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno
                Untuk mengetahui pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus, sumber utama kita adalah Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Abraham, Ishak dan Yakub, nenek moyang  Israel, adalah guru bagi seluruh keluarganya. Mereka bukan saja imam, perantara antara Allah dengan umat, tetapi juga adalah guru yang mengajarkan perbuatan-perbuatan Allah yang mulia dan juga janji Allah yang membawa berkat bagi Israel turun-temurun. (Homrighausen 1955, 2).
                Allah telah memilih dan memanggil Abraham dengan konsekuensi bahwa Abraham harus menyembah Allah dan menaati segala perintahNya. Janji tersebut diteruskan dan diajarkan oleh Abraham kepada Ishak. Ishak meneruskan pengajaran tersebut kepada Yakub. Yakub menanamkan janji itu kepada anak-anaknya, termasuk Yusuf. Terbukti ketika Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya ke Mesir,ia tetap menyimpan pengajaran-pengajaran tersebut (a.l. berani menolak rayuan istri Potifar) sekalipun ia di negeri asing. (Homrighausen 1955, 3).
                Pada masa perbudakan Israel di Mesir, Allah memilih Musa untuk membebaskan umatNya sekaligus menjadi guru dan pemberi hukum-hukum bagi mereka. Fungsi inilah yang merupakan tugas Musa yang terpenting, karena Israel sedang bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan istimewa. Musa mendidik dan memberi dasar pengajaran agar dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya. (Homrighausen 1955, 3).
                Pendidikan agama di masa Israel kuno juga diselenggarakan oleh imam-imam dalam Bait Suci. Mereka menerangkan dan memelihara Taurat Allah. Selain itu, tiap-tiap keturunan orang Israel, meskipun hanya rakyat biasa, juga menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan tersebut kepada keturunan yang berikut. Pada hari raya Paskah, bapa-bapa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa itu. (Homrighausen 1955, 4).

Teladan Tuhan Yesus
                Tuhan Yesus, selain Penebus dan Pembebas, adalah Guru Yang Agung. KeahlianNya dipuji sehingga menyebabkan Dia disebut sebagai “Rabbi”, gelar kehormatan sebagai seorang pengajar dalam soal ilmu ketuhanan. Yesus mengajar di berbagai tempat: a.l. di bukit, dari dalam perahu, di rumah sederhana, di rumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama, di depan masyarakat biasa. Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Yesus juga mengajar tidak terikat pada waktu tertentu. Ia mengajar siang-malam. Tiap keadaan digunakanNya untuk memberitakan Firman Allah. (Homrighausen 1955, 5-6).
                Cara mengajar Yesus juga istimewa. Tuhan Yesus tidak memaksakan suatu ajaran dan menyuruh orang banyak mempercayai hal tersebut begitu saja tanpa berpikir ulang. Yesus justru menolong mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang telah dijelaskanNya. (Homrighausen 1955, 6).
                Tuhan Yesus mengajar dengan memakai beragam metode. Yesus mengajar a.l. dengan cara bercerita, lewat perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, melalui percakapan, dan metode-metode lainnya. Tetapi, tidak hanya dengan perkataan, Yesus juga mengajarkan dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksudkanNya. Sebagai contoh, Yesus membasuh kaki murid-muridNya, ketika ia mengajar mereka supaya rendah hati. Pengajaran Yesus sendiri sempurna ketika menunjukkan ketaatanNya kepada Bapa, dan mengorbankan diriNya sendiri di kayu salib di Golgota untuk keselamatan manusia yang berdosa.

Relevansi dengan Konteks Saat Ini
                Melalui pemaparan sebelumnya kita telah melihat bahwa pendidikan agama pada masa Israel kuno adalah tanggung jawab orang tua. Orang tua lah yang mengajarkan dan memperkenalkan anak-anak mereka kepada Allah dan mengajarkan segala ketetapanNya. Karena itu, sangat mengherankan dan sangat disayangkan jika ada orang tua yang hanya menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut kepada gereja, melalui sekolah minggu. Gereja hanyalah mitra, rekan sekerja orang tua dalam memperkenalkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Orang tua, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjalankan peran sebagai guru dalam keluarganya dan mengajarkan didikan agama kepada anak-anaknya agar mereka bertumbuh menjadi pribadi dewasa yang istimewa.
Setiap orang tua Kristen, harus menyampaikan pengajaran agama Kristen kepada keturunan yang berikut. Caranya bisa dengan metode bercerita. Orang tua bisa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi anak-anak mereka. Cerita tersebut bisa disampaikan pada waktu kumpul keluarga atau pada waktu refreshing bersama dengan keluarga. Cara paling  efektif tentu dengan menyepakati waktu tertentu sebagai jadwal untuk ibadah bersama sebagai keluarga (sering disebut juga mezbah keluarga, yang berisi pembacaan Alkitab, renungan bersama dan doa bersama sebagai sebuah keluarga).
                Memang seiring dengan perkembangan jaman dan juga tuntutan pekerjaan, orang tua pada masa modern ini sangat sedikit memiliki waktu untuk dapat intens dengan anak-anaknya. Hal tersebut juga membuat orang tua, sedikit banyak, melalaikan fungsi utamanya dalam mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anak. Namun demikian, kita bisa menggunakan berbagai metode kreatif dalam menjalankan fungsi ini.
Sebagai contoh kita dapat memantau anak-anak dengan memanfaatkan media komunikasi (a.l. ponsel), dan dalam percakapan di ponsel kita dapat memantau juga kehidupan doa dan relasi mereka dengan Tuhan (baik melalui pertanyaan atau sharing). Intinya kita harus meneladan Yesus yang tidak membutuhkan sekolah dan gedung untuk menyampaikan pengajaran firman Allah. Kita juga tidak harus terpatok pada suatu waktu tertentu untuk melakukan fungsi ini.
                Sebagai orang tua, dalam mendidik kita juga harus meneladani Tuhan Yesus dengan tidak memaksakan suatu ajaran dan memaksa anak kita untuk menerima begitu saja tanpa berpikir ulang. Kita justru harus merangsang mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang telah kita jelaskan. Tentunya dengan arahan-arahan yang benar. Misalnya ketika kita menjelaskan bahwa mencuri itu berdosa, maka kita juga harus menjelaskan efek buruk dari mencuri.
                Orang tua tidak hanya mengajar dengan perkataan, Orang tua juga harus mengajarkan kepada anak-anak dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksud dalam pengajarannya. Menurut beberapa ahli, cara mendidik anak yang paling efektif adalah dengan memberikan teladan kepada anak melalui tindakan yang dilakukan. Misalnya ketika kita mengajarkan untuk berdoa kepada Tuhan, maka anak-anak juga akan meneladani cara kita berdoa. Kata-kata yang kita pakai untuk berdoa biasanya akan ditiru oleh anak-anak kita. Karena itu sebagai orang tua, kita harus hati-hati dalam bertindak, jangan sampai perbuatan buruk kita ditiru oleh anak-anak kita. (YRH).

Daftar Acuan
Homrighausen, Elmer G. dan I.H. Enklaar. 1955. Pendidikan Agama Kristen.

Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar