Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno dan teladan
Tuhan Yesus serta Relevansinya dengan Konteks Saat Ini : Menceritakan Firman
Allah turun temurun
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra
Pendahuluan
Jika kita rajin mengikuti perkembangan
berita, baik melalui surat kabar maupun televisi, kita akan menjumpai fenomena
yang memprihatinkan dalam dunia anak-anak maupun remaja. Beberapa di antara
mereka sudah terlibat dalam perilaku kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, pelaku
kekerasan terhadap teman sebaya, bahkan berujung pembunuhan. Ketika mencermati
berita-berita tersebut, timbul pertanyaan,”bagaimana cara orang tua mereka
mendidik anak-anak maupun remaja tersebut?”.
Pertanyaan tersebut sangat wajar
mengingat pendidikan pertama dalam diri manusia diperoleh melalui didikan dan
pengajaran dari orang tua kandung maupun orang di sekitar mereka yang lebih
tua. Tentunya, dalam konteks ini kita melihat pentingnya pendidikan agama yang
diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar anak-anak tidak terjerumus dalam
perbuatan kriminal maupun perbuatan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kalau demikian, kita tentu perlu
mengetahui, pola dan perkembangan pendidikan kepada anak-anak, khususnya
pengajaran mengenai agama. Melalui artikel ini, penulis akan membahas mengenai
pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus serta relevansinya
dengan konteks saat ini sebagai pola yang bisa diaplikasikan yang berguna
sebagai “benteng” atau pertahanan awal bagi anak dan remaja agar tidak
terjerumus dalam tindakan kriminal dan tindakan lain yang tidak sesuai ajaran
agama.
Pola Pendidikan Agama
pada masa Israel Kuno
Untuk mengetahui pola pendidikan
agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus, sumber utama kita adalah
Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian
Lama, Abraham, Ishak dan Yakub, nenek moyang
Israel, adalah guru bagi seluruh keluarganya. Mereka bukan saja imam,
perantara antara Allah dengan umat, tetapi juga adalah guru yang mengajarkan
perbuatan-perbuatan Allah yang mulia dan juga janji Allah yang membawa berkat
bagi Israel turun-temurun. (Homrighausen 1955, 2).
Allah telah memilih dan
memanggil Abraham dengan konsekuensi bahwa Abraham harus menyembah Allah dan
menaati segala perintahNya. Janji tersebut diteruskan dan diajarkan oleh
Abraham kepada Ishak. Ishak meneruskan pengajaran tersebut kepada Yakub. Yakub
menanamkan janji itu kepada anak-anaknya, termasuk Yusuf. Terbukti ketika Yusuf
dibuang oleh saudara-saudaranya ke Mesir,ia tetap menyimpan pengajaran-pengajaran
tersebut (a.l. berani menolak rayuan istri Potifar) sekalipun ia di negeri
asing. (Homrighausen 1955, 3).
Pada masa perbudakan Israel di
Mesir, Allah memilih Musa untuk membebaskan umatNya sekaligus menjadi guru dan
pemberi hukum-hukum bagi mereka. Fungsi inilah yang merupakan tugas Musa yang
terpenting, karena Israel sedang bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan
istimewa. Musa mendidik dan memberi dasar pengajaran agar dilanjutkan oleh
pengganti-penggantinya. (Homrighausen 1955, 3).
Pendidikan
agama di masa Israel kuno juga diselenggarakan oleh imam-imam dalam Bait Suci.
Mereka menerangkan dan memelihara Taurat Allah. Selain itu, tiap-tiap keturunan
orang Israel, meskipun hanya rakyat biasa, juga menyampaikan pula segala
pengajaran dan peraturan tersebut kepada keturunan yang berikut. Pada hari raya
Paskah, bapa-bapa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan
berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi
mereka sekalian pada masa itu. (Homrighausen 1955, 4).
Teladan Tuhan Yesus
Tuhan Yesus, selain Penebus dan
Pembebas, adalah Guru Yang Agung. KeahlianNya dipuji sehingga menyebabkan Dia
disebut sebagai “Rabbi”, gelar kehormatan sebagai seorang pengajar dalam soal ilmu
ketuhanan. Yesus mengajar di berbagai tempat: a.l. di bukit, dari dalam perahu,
di rumah sederhana, di rumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama, di
depan masyarakat biasa. Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu.
Yesus juga mengajar tidak terikat pada waktu tertentu. Ia mengajar siang-malam.
Tiap keadaan digunakanNya untuk memberitakan Firman Allah. (Homrighausen 1955,
5-6).
Cara mengajar Yesus juga
istimewa. Tuhan Yesus tidak memaksakan suatu ajaran dan menyuruh orang banyak
mempercayai hal tersebut begitu saja tanpa berpikir ulang. Yesus justru
menolong mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang
telah dijelaskanNya. (Homrighausen 1955, 6).
Tuhan Yesus mengajar dengan
memakai beragam metode. Yesus mengajar a.l. dengan cara bercerita, lewat
perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, melalui percakapan, dan
metode-metode lainnya. Tetapi, tidak hanya dengan perkataan, Yesus juga
mengajarkan dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang
dimaksudkanNya. Sebagai contoh, Yesus membasuh kaki murid-muridNya, ketika ia
mengajar mereka supaya rendah hati. Pengajaran Yesus sendiri sempurna ketika
menunjukkan ketaatanNya kepada Bapa, dan mengorbankan diriNya sendiri di kayu
salib di Golgota untuk keselamatan manusia yang berdosa.
Relevansi dengan
Konteks Saat Ini
Melalui pemaparan
sebelumnya kita telah melihat bahwa pendidikan agama pada masa Israel kuno
adalah tanggung jawab orang tua. Orang tua lah yang mengajarkan dan
memperkenalkan anak-anak mereka kepada Allah dan mengajarkan segala
ketetapanNya. Karena itu, sangat mengherankan dan sangat disayangkan jika ada
orang tua yang hanya menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut kepada
gereja, melalui sekolah minggu. Gereja hanyalah mitra, rekan sekerja orang tua
dalam memperkenalkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Orang tua, mau tidak mau,
suka tidak suka, harus menjalankan peran sebagai guru dalam keluarganya dan
mengajarkan didikan agama kepada anak-anaknya agar mereka bertumbuh menjadi
pribadi dewasa yang istimewa.
Setiap orang tua Kristen, harus
menyampaikan pengajaran agama Kristen kepada keturunan yang berikut. Caranya
bisa dengan metode bercerita. Orang tua bisa menceritakan kepada anak-anaknya
tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran
dan penghiburan bagi anak-anak mereka. Cerita tersebut bisa disampaikan pada
waktu kumpul keluarga atau pada waktu refreshing
bersama dengan keluarga. Cara paling
efektif tentu dengan menyepakati waktu tertentu sebagai jadwal untuk
ibadah bersama sebagai keluarga (sering disebut juga mezbah keluarga, yang
berisi pembacaan Alkitab, renungan bersama dan doa bersama sebagai sebuah
keluarga).
Memang seiring dengan
perkembangan jaman dan juga tuntutan pekerjaan, orang tua pada masa modern ini
sangat sedikit memiliki waktu untuk dapat intens dengan anak-anaknya. Hal
tersebut juga membuat orang tua, sedikit banyak, melalaikan fungsi utamanya
dalam mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anak. Namun demikian, kita bisa
menggunakan berbagai metode kreatif dalam menjalankan fungsi ini.
Sebagai contoh kita dapat memantau
anak-anak dengan memanfaatkan media komunikasi (a.l. ponsel), dan dalam
percakapan di ponsel kita dapat memantau juga kehidupan doa dan relasi mereka
dengan Tuhan (baik melalui pertanyaan atau sharing).
Intinya kita harus meneladan Yesus yang tidak membutuhkan sekolah dan gedung
untuk menyampaikan pengajaran firman Allah. Kita juga tidak harus terpatok pada
suatu waktu tertentu untuk melakukan fungsi ini.
Sebagai orang tua,
dalam mendidik kita juga harus meneladani Tuhan Yesus dengan tidak memaksakan
suatu ajaran dan memaksa anak kita untuk menerima begitu saja tanpa berpikir
ulang. Kita justru harus merangsang mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan
sendiri dari apa yang telah kita jelaskan. Tentunya dengan arahan-arahan yang
benar. Misalnya ketika kita menjelaskan bahwa mencuri itu berdosa, maka kita
juga harus menjelaskan efek buruk dari mencuri.
Orang tua tidak hanya mengajar dengan
perkataan, Orang tua juga harus mengajarkan kepada anak-anak dengan cara
mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksud dalam pengajarannya. Menurut
beberapa ahli, cara mendidik anak yang paling efektif adalah dengan memberikan
teladan kepada anak melalui tindakan yang dilakukan. Misalnya ketika kita mengajarkan
untuk berdoa kepada Tuhan, maka anak-anak juga akan meneladani cara kita
berdoa. Kata-kata yang kita pakai untuk berdoa biasanya akan ditiru oleh
anak-anak kita. Karena itu sebagai orang tua, kita harus hati-hati dalam
bertindak, jangan sampai perbuatan buruk kita ditiru oleh anak-anak kita. (YRH).
Daftar Acuan
Homrighausen,
Elmer G. dan I.H. Enklaar. 1955. Pendidikan
Agama Kristen.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar