Kasus Panama
Papers dalam Perspektif Etika Kristen menurut Agustinus
Pendahuluan
Baru-baru ini dunia, termasuk Indonesia, dihebohkan
dengan bocornya 11,5 juta dokumen finansial dari firma hukum Mosssack Fonseca
yang berkantor pusat di Panama. Dokumen tersebut berisi nama-nama klien Mossack
Fonseca, yang menggunakan jasa mereka untuk mendirikan perusahaan di yurisdiksi
bebas pajak di luar negeri (offshore)
seperti di Panama atau British Virginia Island. Isi dokumen yang dikenal dengan
Panama Papers tersebut mengejutkan
karena dalam daftar nama tersebut terdapat nama sejumlah politikus, pengusaha,
olahragawan, mafia narkoba, koruptor, buronan, baik dari luar negeri maupun
dari Indonesia. (https://investigasi.tempo.co/panama/)
Reaksi dan sikap yang
diambil setiap orang terhadap kebocoran dokumen ini berbeda-beda. Beberapa
pejabat di luar negeri (misalnya PM Islandia), yang namanya tercantum di dalam Panama Papers, memilih mengundurkan diri,
kendati mereka belum terbukti bersalah secara hukum menggelapkan pajak. Respons
berbeda ditunjukkan oleh beberapa orang di Indonesia, yang namanya terdapat dalam
Panama Papers.
Seorang pengusaha asal Indonesia,
yang dikabarkan akan maju menjadi calon gubernur DKI, menganggap bahwa mendirikan perusahaan offshore
adalah hal wajar dalam dunia bisnis dan karenanya ia memang akan
mempublikasikan nama-nama perusahaan offshore
miliknya dalam rangka proses mencalonkan dirinya menjadi pejabat publik. Hal
yang sama terjadi pada Ketua BPK yang menganggap dirinya tidak bersalah
walaupun namanya terdapat dalam Panama
Papers. Memang belum ada bukti bahwa mereka menggunakan perusahaannya untuk
tujuan tak terpuji. Memiliki perusahaan offshore
bukanlah sesuatu yang otomatis ilegal. Untuk sejumlah transaksi internasional,
memiliki perusahaan offshore bahkan
merupakan sebuah pilihan yang logis secara bisnis. (https://investigasi.tempo.co/panama/)
Akan tetapi, kita bisa bertanya lebih kritis kepada
mereka yang namanya tercantum di Panama
Papers, mengapa mereka harus mendirikan perusahaan offshore di negara yang bebas pajak (tax haven country) seperti Panama?Apakah mereka sudah melaporkan penghasilan
perusahaan offshore mereka dalam
laporan pajak mereka? Atau, kalau mereka pejabat negara, sudahkah mereka melaporkannya
dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara)? Apakah perusahaan offshore mereka hanyalah sebuah
perusahaan cangkang (shell company)
dan karena itu melanggar hukum?
Sayangnya penulis beranggapan pemerintah
belum merespons dengan cepat
terkait skandal ini dengan
menyelidiki nama-nama yang ada di dalam Panama
Papers sehingga belum memberikan kepastian hukum mengikat, status hukum
tetap terhadap orang-orang yang namanya tercantum di Panama Papers, apakah mereka bersalah atau tidak bersalah secara
hukum. Jika secara hukum mereka harus dibuktikan melalui penyelidikan apakah
mereka bersalah atau tidak bersalah, maka penulis tertarik untuk meninjau kasus
Panama Papers ini dari segi etika
Kristen, apakah etis atau tidak etis dari sudut pandang etika Kristen. Penulis
memilih etika Kristen dari sudut pandang Agustinus sebab Agustinus berbicara
sesuatu mengenai etika terkait property
and wealth atau harta dan kekayaan, dari sudut pandang kekristenan. Selain
itu, penulis tertarik meninjau Panama
Papers dari segi etika Kristen karena ternyata di dalam Panama Papers juga terdapat nama
orang-orang Kristen, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Oleh karena itu
penulis dalam makalah ini akan mencoba membahas mengenai garis besar apa itu Panama Papers dan juga meninjaunya dari
perspektif etika Kristen menurut Agustinus.
Apa itu kasus Panama
Papers?
Panama
Papers, membukakan mata kita bahwa
kejahatan saat ini bekerja melalui sistem jaringan. Jaringan perbankan, firma
hukum dan perusahaan cangkang (shell
company), semua bekerja sama untuk menyembunyikan kekayaan seorang
pengusaha, politisi, mafia dengan tujuan menghindarkan kekayaan tersebut dari
jangkauan aparat pajak, regulator dan aparat hukum negara asal. Untuk
mengetahui cara kerjanya maka kita harus mengerti apa itu perusahaan cangkang (shell company). (http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-Surga-Paja).
Per definisi,
perusahaan cangkang (shell company)
adalah perusahaan yang didirikan tapi tidak memiliki kegiatan bisnis atau
operasional apapun. Orang mendirikan shell
company untuk berbagai alasan misalnya, menghindari kerumitan aturan di
suatu negara mengenai keterbukaan informasi keuangan (financial disclosure), kewajiban pajak ataupun tindak kriminal. (http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-Surga-Paja). Selain itu berdasarkan investigasi Tempo,
perusahaan cangkang (shell company)
mayoritas digunakan untuk melakukan kejahatan dengan modusnya a.l. adalah membuat transaksi palsu dengan anak
usaha untuk memperkecil laba dengan tujuan akhir untuk mereduksi tagihan pajak, menciptakan lapisan-lapisan pihak
yang terafiliasi dalam satu transaksi untuk menyembunyikan dana hasil kejahatan, mempermudah transfer dana ke pihak
yang bermasalah dengan hukum, menyembunyikan transaksi kriminal, seperti trafficking,
korupsi, narkotik, dan terorisme. (https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/090760201/apa-itu-perusahaan-cangkang-dalam-panama-papers).
Biasanya
negara tujuan tempat membuka
perusahaan cangkang adalah negara tax
haven (yang tax rate nya rendah atau sama sekali tidak dikenakan
pajak, surga bagi para pengemplang pajak),
seperti Panama. Semua
dimungkinkan karena di negara surga para pengemplang pajak tersebut, tidak ada keharusan bagi pemilik shell
company untuk mengungkapkan identitasnya dan direksi dari perusahaan
itu, tidak ada keharusan menempatkan seorang
direksi di negara itu sehingga dimungkinkan bagi seseorang di mana pun berada untuk mengontrol perusahaan di luar negeri
(shell company), menjadi pengendali tunggal perusahaan dan leluasa memindahkan dana/kekayaan yang ingin disembunyikan ke
perusahaan di luar negeri itu kapan saja. Di
sinilah peran firma hukum Mossack Fonseca yang mengurus segala keperluan
dokumen untuk pembukaan rekening
dan pendirian perusahaan cangkang di negara tax haven,
tentu bekerja sama dengan jaringan perbankan dan pemerintah setempat. (http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-Surga-Paja).
Berdasarkan tujuan seseorang mendirikan perusahaan
cangkang tersebut kita bisa melihat bahwa mayoritas perusahaan cangkang didirikan
tidak dengan itikad baik. Memang kita tidak bisa menyamaratakan dengan mereka
yang mendirikan perusahaan cangkang dengan tujuan bisnis yang sehat. Hal ini
tentu bisa dibuktikan di pengadilan dengan cara/asas pembuktian terbalik dengan
menghitung mundur, membandingkan jumlah harta mereka dengan penghasilan mereka,
yang sayangnya sukar dilakukan di Indonesia karena sistem hukum kita belum mendukung
hal ini, sehingga kita bisa mengetahui dari hukum siapa saja yang salah di mata
hukum dan siapa saja yang tidak terbukti bersalah di mata hukum.
Tetapi penulis
melihat bahwa motif yang sudah disebutkan tadi adalah mayoritas alasan mengapa
seseorang mendirikan perusahaan cangkang. Motif-motif jahat tersebut bila
ditelusuri lebih dalam adalah karena faktor keserakahan dan ketamakan manusia
terhadap materi atau harta yang mereka miliki. Mereka menyembunyikan harta
mereka agar tidak dikenakan pajak. Mereka tidak mau rugi, dan tidak mau berbagi
dengan manusia yang lain, sebagaimana tujuan pajak, yaitu subsidi silang. Pajak
penghasilan ditarik dari rakyat di Indonesia dengan tarif progresif yang
berarti semakin tinggi penghasilan seseorang maka semakin tinggi pajak mereka.
Hal ini ditujukan agar ada subsidi silang terhadap mereka yang penghasilannya
rendah agar dapat digunakan untuk membiayai pembangunan (jalan, jembatan dan lainnya)
dan mensubsidi rakyat miskin (subsidi kesehatan, BBM, dan lainnya).
Penulis juga melihat bahwa mereka yang demikian sudah
terpengaruh dengan paham materialisme dan mengarah ke hedonisme. Penyebabnya
karena mereka merasa hal terpenting di dunia adalah materi dan itu dalam bentuk
harta dan kekayaan. Kebahagiaan dan kesenangan mereka terletak pada pemuasan
keinginan dan bukan kebutuhan mereka akan harta. Dengan pola pikir ini mereka
merasa rugi, dan tidak menguntungkan bila mereka taat membayar pajak kepada
negara (yang akhirnya pajak ini nantinya dipakai untuk kepentingan orang banyak).
Mereka ingin bahwa harta dan kekayaan mereka adalah untuk memenuhi keinginan
mereka sendiri dan bukan untuk dibagikan kepada orang lain.
Selain itu, mereka yang
berbuat dan terlibat kasus ini, hidup mereka seperti tidak sama antara “siang
hari” ketika berhadapan dengan publik (pejabat publik) yang terlihat “sopan”
dan baik (bdk. Roma 13:13-14, ayat yang membuat Agustinus bertobat), sementara ketika
di balik itu semua, ketika tidak di hadapan publik, pada “malam hari”, mereka
berbuat suatu hal yang curang, mencurangi negara dan rakyat, bahkan membohongi
Allah, sebab Allah melalui Kristus mewanti-wanti agar membayar pajak kepada
kaisar atau negara (bdk. Matius 22:21). Terhadap orang-orang yang materialisme,
hedonisme, berbuat curang, serakah, tamak, dan hidup tidak sama antara “siang
hari” dan “malam hari”, Agustinus dengan etika Kristennya, menurut saya
menyatakan beberapa pandangannya.
Filosofi Etika Kristen menurut Agustinus
Agustinus menganut semacam dualisme yang lebih lunak
dari Plato, sebab ia mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang menggunakan
tubuh bagi tujuan tertentu. Manusia tergolong ke dalam dunia indrawi atau alam
jasmani karena tubuhnya dan manusia juga tergolong ke dalam alam rohani karena
jiwanya. Tubuh manusia, karena tergolong dunia indrawi maka mengalami
keterbatasan, perubahan, kelemahan dan kesengsaraan. Jiwa, karena tergolong
dunia rohani maka senantiasa mencari kebenaran yang abadi dan keinginan yang terdalam
yaitu mencapai kebahagiaan dan kebaikan yang sempurna. (Rapar 1989, 47).
Kejahatan, menurut Agustinus adalah tidak ada/tidak exist, yang ada/exist atau nature-nya segala
sesuatu adalah kebaikan. Kejahatan hadir karena sesuatu yang nature-nya kebaikan itu, berkurang,
karena kadar kebaikannya berkurang. (Gilson 1961, 144). Dosa adalah kejahatan sukarela
karena itu dosa asal adalah hasil dari kebebasan manusia untuk memilih. Manusia
jatuh ke dalam dosa karena menolak kehendak dan kasih Allah, dan malah memilih
keserakahan dan kesombongan terhadap kepemilikan suatu hal dibanding tunduk pada
preferensi kebaikan universal tertinggi yaitu Allah. (Gilson 1961, 151).
Kehendak bebas manusia
diberikan oleh Allah. Alasannya adalah agar kehendak itu selalu berada di bawah
kekuasaan dan kendali kita, sehingga kita bisa bebas menggunakannya. Dengan
demikian jika kita memilih untuk berbuat dosa maka itu adalah bersifat sukarela
atau bebas. (Rowe 1972, 213). Allah bukanlah diktator sehingga Allah memberikan
kehendak bebas kepada manusia karena Allah menginginkan manusia dengan kehendak
bebasnya untuk memilih Allah dan bukan memilih dosa. (Rowe 1972, 210).
Agustinus menekankan, karena tubuh manusia terbatas,
berubah, lemah dan sengsara, maka kedagingan menyebabkan manusia cenderung
untuk salah menggunakan kehendak bebas dengan memilih dosa dibanding memilih
Allah. Manusia yang jiwanya nature-nya
sebenarnya selalu mencari “kebaikan tertinggi” menjadi salah memilih dan
terjebak dalam kedagingan tubuh manusia sehingga menganggap “kebaikan
tertinggi” ada pada materi dan sesuatu yang terlihat. Dengan kata lain tubuh
dan indra kita menipu kita. Akan tetapi Allah, dengan anugerahnya dan
iluminasinya, pencerahan ilahi darinya, mampu membuat kita mengubah interpretasi
kita akan “kebaikan tertinggi” tersebut. (Lehmann 1963, 254-255). Dengan
demikian maka “kebaikan tertinggi” adalah kebahagiaan yang merupakan buah dari
iman kepada Allah (bdk. Roma 6:22), bukan pada kebahagiaan karena kebajikan
manusia semata dan kebahagiaan yang menipu, yang berasal dari indra. (Lehmann
1963, 255).
Etika Agustinus
menekankan perbedaan cara hidup manusia dan bagaimana manusia memaknai
hidupnya. Cara dan makna pertama adalah dalam kedagingan dan cara kedua adalah
dalam jiwa atau roh. Cara pertama adalah menempatkan kebaikan tertinggi pada
kenikmatan materi. Manusia dengan kehendak bebasnya yang diberikan oleh Allah
cenderung jatuh dalam cara pertama ini. Agustinus melihat bahwa manusia harus
menggunakan cara kedua dalam menjalani hidup. (Augustine 1958, 295-296). Cara
kedua adalah menempatkan kebaikan tertinggi pada Allah. Cara kedua ini adalah
dengan menempatkan anugerah Allah dalam diri Yesus Kristus (Inkarnasi, Allah
yang menjadi daging) sebagai iluminasi dari Allah sehingga manusia dapat
melakukan hal yang baik sesuai kehendak Allah yaitu kebaikan tertinggi dan itu
adalah Allah. (Augustine 1958, 296-297).
Agustinus membagi dua
otoritas dalam dunia, yang pertama adalah otoritas kota duniawi (Babilon) dan
otoritas kota Allah (Yerusalem). Kedua otoritas ini berasal dari dua cinta yang
berbeda. Komunitas dunia berasal dari cinta akan diri sendiri/egois yang
menafikan Allah. Sementara persekutuan orang kudus adalah mereka yang berakar
dari cinta akan Allah dan siap untuk memberi diri. Aturan yang berlaku dalam
kota duniawi adalah aturan untuk mendominasi berdasarkan nafsu. Sementara
aturan yang berlaku dalam kota Allah adalah satu sama lain saling melayani
berdasarkan tanggung jawab dan kepatuhan kepada Allah. Bahkan orang bijak di
dalam kota duniawi hidup berdasarkan aturan duniawi dan tujuan mereka hanya
kebaikan berdasarkan tubuh atau kedagingan mereka semata atau berdasarkan
pikiran mereka sendiri. Meskipun mereka juga mendapat pengetahuan akan Allah
tetapi mereka tidak memuliakan Allah atau bersyukur kepada Allah dan karena itu
pikiran mereka menjadi gelap karena menafikan Allah. (Augustine 1958, 321-322).
Agustinus mengatakan “Cintailah dan lakukan apa saja
yang kau kehendaki!”. Maksud Agustinus adalah bahwa orang yang hatinya terdapat
cinta sudah terorientasi seluruhnya pada Nilai Tertinggi yaitu Allah dan tidak
perlu bertanya lagi sesuatu boleh atau tidak, sebab ia selalu akan tahu dan
merasakan perbuatan mana baik dan benar, sesuai hukum Allah. Cinta kasih
membebaskan dari hukum. (Suseno 1997, 72). Keutamaan, menurut Agustinus adalah
kemantapan kehendak manusia untuk bertindak dalam sikap-sikap baik dan
melepaskan keterikatan dari nafsu-nafsu rendah. Keutamaan hanya dapat
berkembang karena rahmat Allah dan bukan karena kekuatan manusia sendiri. (Suseno
1997, 74).
Menurut Agustinus,
orang yang tahu mendahulukan yang baik terhadap yang buruk dan keteraturan
terhadap kekacauan, harus mengerti bahwa perdamaian orang-orang jahat adalah
semu dan tidak seharusnya disebut perdamaian kalau dibandingkan perdamaian
dengan orang baik. (Suseno 1998, 81). Menurut Agustinus, manusia yang
mempergunakan harta fana sebagaimana mustinya akan mendapatkan harta lebih
tinggi dan baik yaitu perdamaian abadi, kemuliaan dan hormat di dalam kehidupan
kekal, di mana mereka menikmati Allah dan sesama di dalam Allah. Tetapi yang
menyalahgunakan harta duniawi akan kehilangannya dan tidak memperoleh harta
yang adiduniawi itu. (Suseno 1998, 85).
Agustinus mengatakan bahwa kebahagiaan tidak akan
tercapai melalui pemuasan segala kebutuhan akan harta tetapi dalam Allah
sendiri sebagai Dia yang patut dicintai demi diri-Nya sendiri. Agustinus
membedakan antara uti (memakai) dan frui (menikmati). Segala sesuatu hanya
boleh dipakai sejauh membantu kita mencapai kebahagiaan dalam Allah. Agustinus
tidak memandang remeh materi tapi melihat semua itu sebagai sarana (relatif
sifatnya) dan dipakai manusia untuk mencapai kebahagiaan dalam Allah. Jika kita
menikmati barang duniawi semata maka kita melenceng dari tujuan. (Tjahjadi 117-118).
Mengenai negara Agustinus mengatakan bahwa komunitas
duniawi atau negara akan hancur pada akhir zaman. Komunitas duniawi sebenarnya
merupakan sesuatu yang buruk, tetapi diperlukan karena dosa asal manusia
membuat manusia menjadi egois dan mudah dipermainkan oleh nafsu rendahnya maka
diperlukan kekuasaan duniawi untuk menertibkan manusia. Negara bukanlah tujuan
pada dirinya sendiri, tetapi sarana semata-mata untuk penertiban karena
manusia, tanpa rahmat Allah, buruk sifatnya. Dalam realita, komunitas Allah dan
komunitas dunia, saling berhubungan tetapi keduanya akan dipisahkan pada akhir
zaman dan komunitas Allah lah yang unggul. (Tjahjadi 2004, 119-120).
Analisa Panama
Papers berdasarkan Etika Agustinus
Mereka yang terlibat dalam Panama Papers berdasarkan investigasi Tempo, mayoritas dipastikan
membuka perusahaan cangkang (shell
company). Motif pendirian perusahaan cangkang banyak dilatari niat jahat. Penggelapan
pajak, sebagai salah satu motif, merupakan akibat dari ketamakan dan kerakusan
manusia terhadap harta. Mereka menimbun harta karena kebahagiaan mereka
terletak pada pemuasan keinginan akan harta semata, bukan pada kebahagiaan
dalam Allah. Mereka gagal melihat negara sebagai sarana untuk menertibkan
manusia yang egois dan mudah dipermainkan sehingga secara tersembunyi menutupi
kekayaan mereka dengan berbagai cara.
Menurut etika
Agustinus, hal ini jelas salah dan menurut bahasa agama maka ini adalah dosa.
Dosa mereka disebabkan kejahatan sukarela yaitu dengan sadar menggunakan
kehendak bebas yang diberikan oleh Allah untuk memilih menimbun harta,
menggelapkan pajak, tidak mau berbagi kepada yang membutuhkan (sistem subsidi
silang pajak sebagaimana dibahas di awal), malah menimbun untuk diri sendiri
dan bukan memilih Allah sebagai kebahagiaan yang utama. Mereka gagal melihat
bahwa harta adalah sarana semata untuk mencapai kebahagiaan dalam Allah dan
mereka telah melenceng dari tujuan semula terkait pemenuhan kebutuhan akan
harta.
Mereka bisa jadi
mengetahui akan Allah, beragama, bisa jadi Kristen, tapi menolak untuk hidup di
dalam komunitas Allah. Mereka menolak iluminasi dan anugerah Allah sehingga
tetap menginterpretasikan kebahagiaan mereka pada harta. Mereka hidup dalam
cara pertama yaitu kedagingan dan membiarkan nafsu rendah, nafsu akan pemuasan
keinginan dari materi semata, menguasai mereka. Mereka inilah yang dikatakan
Agustinus sebagai komunitas duniawi dan akan binasa pada akhir zaman. Mereka
terjebak pada menikmati (frui) harta
dan bukan memakai (uti) harta sebagai
sarana.
Kesimpulan dan penutup
Mereka yang terlibat Panama Papers, memang belum terbukti bersalah secara hukum. Tetapi
kita bisa meninjaunya secara etis, berdasarkan sudut pandang etika Kristen
menurut Agustinus terkait pemenuhan kebutuhan materi. Berdasarkan sudut pandang
tersebut mereka terbukti telah melakukan perbuatan tidak etis. Mereka memandang
materi adalah segalanya dan kebahagiaan mereka berdasarkan pemenuhan keinginan
materi semata karena itu mereka dengan rakus dan tamak menyembunyikan dan
menimbun harta mereka tanpa mau membayar pajak. Berdasarkan bahasa agama mereka
telah berdosa dan perlu untuk berbalik, mencari anugerah Allah, iluminasi Allah
agar pandangan mereka mengenai materi bisa berubah, bahwa kebahagiaan manusia
bukan pada materi tetapi pada Allah semata.
Daftar Acuan
Augustine.
City of God. trans. Gerald G. Walsh
dkk. (New York Verso: 1958). Image
Books.
Gilson, Etienne. 1961. The Christian Philosophy of Saint Augustine. London : Victor
Gollancz.
Lehmann, Paul L. 1963. Ethics in a Christian context. New York : Harper & Row.
Rapar, J.H. 1989. Filsafat
politik Agustinus. Jakarta : Rajawali.
Rowe, William L. 1972. Augustine on foreknowledge and free will. Augustine : A
Collection of critical
Essays. 209-217. Anchor Books.
Suseno, Franz Magnis. 1998. 13 Model pendekatan Etika : bunga rampai teks-teks etika
dari Plato sampai dengan Nietzsche. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.
Suseno, Franz Magnis. 1997. 13 Tokoh etika sejak zaman Yunani sampai abad ke-19.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tjahjadi,
Simon Petrus L. 2004. Petualangan
Intelektual : Konfrontasi dengan para
filsuf dari zaman Yunani dengan zaman modern. Yogyakarta: Kanisius.
https://investigasi.tempo.co/panama. (diakses 4 Mei 2016 pukul 03.21).
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/090760201/apa-itu-perusahaan-cangkang-dalam
panama-papers. (diakses 4 Mei 2016 pukul 10.48).
http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar