Rabu, 25 Mei 2016



Kasus Panama Papers dalam Perspektif Etika Kristen menurut Agustinus

Pendahuluan
            Baru-baru ini dunia, termasuk Indonesia, dihebohkan dengan bocornya 11,5 juta dokumen finansial dari firma hukum Mosssack Fonseca yang berkantor pusat di Panama. Dokumen tersebut berisi nama-nama klien Mossack Fonseca, yang menggunakan jasa mereka untuk mendirikan perusahaan di yurisdiksi bebas pajak di luar negeri (offshore) seperti di Panama atau British Virginia Island. Isi dokumen yang dikenal dengan Panama Papers tersebut mengejutkan karena dalam daftar nama tersebut terdapat nama sejumlah politikus, pengusaha, olahragawan, mafia narkoba, koruptor, buronan, baik dari luar negeri maupun dari Indonesia. (https://investigasi.tempo.co/panama/)
            Reaksi dan sikap yang diambil setiap orang terhadap kebocoran dokumen ini berbeda-beda. Beberapa pejabat di luar negeri (misalnya PM Islandia), yang namanya tercantum di dalam Panama Papers, memilih mengundurkan diri, kendati mereka belum terbukti bersalah secara hukum menggelapkan pajak. Respons berbeda ditunjukkan oleh beberapa orang di Indonesia, yang namanya terdapat dalam Panama Papers. Seorang pengusaha asal Indonesia, yang dikabarkan akan maju menjadi calon gubernur DKI, menganggap bahwa mendirikan perusahaan offshore adalah hal wajar dalam dunia bisnis dan karenanya ia memang akan mempublikasikan nama-nama perusahaan offshore miliknya dalam rangka proses mencalonkan dirinya menjadi pejabat publik. Hal yang sama terjadi pada Ketua BPK yang menganggap dirinya tidak bersalah walaupun namanya terdapat dalam Panama Papers. Memang belum ada bukti bahwa mereka menggunakan perusahaannya untuk tujuan tak terpuji. Memiliki perusahaan offshore bukanlah sesuatu yang otomatis ilegal. Untuk sejumlah transaksi internasional, memiliki perusahaan offshore bahkan merupakan sebuah pilihan yang logis secara bisnis. (https://investigasi.tempo.co/panama/)
Akan tetapi, kita bisa bertanya lebih kritis kepada mereka yang namanya tercantum di Panama Papers, mengapa mereka harus mendirikan perusahaan offshore di negara yang bebas pajak (tax haven country) seperti Panama?Apakah mereka sudah melaporkan penghasilan perusahaan offshore mereka dalam laporan pajak mereka? Atau, kalau mereka pejabat negara, sudahkah mereka melaporkannya dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara)? Apakah perusahaan offshore mereka hanyalah sebuah perusahaan cangkang (shell company) dan karena itu melanggar hukum?
Sayangnya penulis beranggapan pemerintah belum merespons dengan cepat terkait skandal ini dengan menyelidiki nama-nama yang ada di dalam Panama Papers sehingga belum memberikan kepastian hukum mengikat, status hukum tetap terhadap orang-orang yang namanya tercantum di Panama Papers, apakah mereka bersalah atau tidak bersalah secara hukum. Jika secara hukum mereka harus dibuktikan melalui penyelidikan apakah mereka bersalah atau tidak bersalah, maka penulis tertarik untuk meninjau kasus Panama Papers ini dari segi etika Kristen, apakah etis atau tidak etis dari sudut pandang etika Kristen. Penulis memilih etika Kristen dari sudut pandang Agustinus sebab Agustinus berbicara sesuatu mengenai etika terkait property and wealth atau harta dan kekayaan, dari sudut pandang kekristenan. Selain itu, penulis tertarik meninjau Panama Papers dari segi etika Kristen karena ternyata di dalam Panama Papers juga terdapat nama orang-orang Kristen, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini akan mencoba membahas mengenai garis besar apa itu Panama Papers dan juga meninjaunya dari perspektif etika Kristen menurut Agustinus.

Apa itu kasus Panama Papers?
            Panama Papers, membukakan mata kita bahwa kejahatan saat ini bekerja melalui sistem jaringan. Jaringan perbankan, firma hukum dan perusahaan cangkang (shell company), semua bekerja sama untuk menyembunyikan kekayaan seorang pengusaha, politisi, mafia dengan tujuan menghindarkan kekayaan tersebut dari jangkauan aparat pajak, regulator dan aparat hukum negara asal. Untuk mengetahui cara kerjanya maka kita harus mengerti apa itu perusahaan cangkang (shell company). (http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-Surga-Paja).
            Per definisi, perusahaan cangkang (shell company) adalah perusahaan yang didirikan tapi tidak memiliki kegiatan bisnis atau operasional apapun. Orang mendirikan shell company untuk berbagai alasan misalnya, menghindari kerumitan aturan di suatu negara mengenai keterbukaan informasi keuangan (financial disclosure), kewajiban pajak ataupun tindak kriminal. (http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-Surga-Paja). Selain itu berdasarkan investigasi Tempo, perusahaan cangkang (shell company) mayoritas digunakan untuk melakukan kejahatan dengan modusnya a.l. adalah membuat transaksi palsu dengan anak usaha untuk memperkecil laba dengan tujuan akhir untuk mereduksi tagihan pajak, menciptakan lapisan-lapisan pihak yang terafiliasi dalam satu transaksi untuk menyembunyikan dana hasil kejahatan, mempermudah transfer dana ke pihak yang bermasalah dengan hukum, menyembunyikan transaksi kriminal, seperti trafficking, korupsi, narkotik, dan terorisme. (https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/090760201/apa-itu-perusahaan-cangkang-dalam-panama-papers).
Biasanya negara tujuan tempat membuka perusahaan cangkang adalah negara tax haven (yang tax rate nya rendah atau sama sekali tidak dikenakan pajak, surga bagi para pengemplang pajak), seperti Panama. Semua dimungkinkan karena di negara surga para pengemplang pajak tersebut, tidak ada keharusan bagi pemilik shell company untuk mengungkapkan identitasnya dan direksi dari perusahaan itu, tidak ada keharusan menempatkan seorang direksi di negara itu sehingga dimungkinkan bagi seseorang di mana pun berada untuk mengontrol perusahaan di luar negeri (shell company), menjadi pengendali tunggal perusahaan dan leluasa memindahkan dana/kekayaan yang ingin disembunyikan ke perusahaan di luar negeri itu kapan saja. Di sinilah peran firma hukum Mossack Fonseca yang mengurus segala keperluan dokumen untuk pembukaan rekening dan pendirian perusahaan cangkang di negara tax haven, tentu bekerja sama dengan jaringan perbankan dan pemerintah setempat. (http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-Surga-Paja).
Berdasarkan tujuan seseorang mendirikan perusahaan cangkang tersebut kita bisa melihat bahwa mayoritas perusahaan cangkang didirikan tidak dengan itikad baik. Memang kita tidak bisa menyamaratakan dengan mereka yang mendirikan perusahaan cangkang dengan tujuan bisnis yang sehat. Hal ini tentu bisa dibuktikan di pengadilan dengan cara/asas pembuktian terbalik dengan menghitung mundur, membandingkan jumlah harta mereka dengan penghasilan mereka, yang sayangnya sukar dilakukan di Indonesia karena sistem hukum kita belum mendukung hal ini, sehingga kita bisa mengetahui dari hukum siapa saja yang salah di mata hukum dan siapa saja yang tidak terbukti bersalah di mata hukum.
 Tetapi penulis melihat bahwa motif yang sudah disebutkan tadi adalah mayoritas alasan mengapa seseorang mendirikan perusahaan cangkang. Motif-motif jahat tersebut bila ditelusuri lebih dalam adalah karena faktor keserakahan dan ketamakan manusia terhadap materi atau harta yang mereka miliki. Mereka menyembunyikan harta mereka agar tidak dikenakan pajak. Mereka tidak mau rugi, dan tidak mau berbagi dengan manusia yang lain, sebagaimana tujuan pajak, yaitu subsidi silang. Pajak penghasilan ditarik dari rakyat di Indonesia dengan tarif progresif yang berarti semakin tinggi penghasilan seseorang maka semakin tinggi pajak mereka. Hal ini ditujukan agar ada subsidi silang terhadap mereka yang penghasilannya rendah agar dapat digunakan untuk membiayai pembangunan (jalan, jembatan dan lainnya) dan mensubsidi rakyat miskin (subsidi kesehatan, BBM, dan lainnya).
Penulis juga melihat bahwa mereka yang demikian sudah terpengaruh dengan paham materialisme dan mengarah ke hedonisme. Penyebabnya karena mereka merasa hal terpenting di dunia adalah materi dan itu dalam bentuk harta dan kekayaan. Kebahagiaan dan kesenangan mereka terletak pada pemuasan keinginan dan bukan kebutuhan mereka akan harta. Dengan pola pikir ini mereka merasa rugi, dan tidak menguntungkan bila mereka taat membayar pajak kepada negara (yang akhirnya pajak ini nantinya dipakai untuk kepentingan orang banyak). Mereka ingin bahwa harta dan kekayaan mereka adalah untuk memenuhi keinginan mereka sendiri dan bukan untuk dibagikan kepada orang lain.
            Selain itu, mereka yang berbuat dan terlibat kasus ini, hidup mereka seperti tidak sama antara “siang hari” ketika berhadapan dengan publik (pejabat publik) yang terlihat “sopan” dan baik (bdk. Roma 13:13-14, ayat yang membuat Agustinus bertobat), sementara ketika di balik itu semua, ketika tidak di hadapan publik, pada “malam hari”, mereka berbuat suatu hal yang curang, mencurangi negara dan rakyat, bahkan membohongi Allah, sebab Allah melalui Kristus mewanti-wanti agar membayar pajak kepada kaisar atau negara (bdk. Matius 22:21). Terhadap orang-orang yang materialisme, hedonisme, berbuat curang, serakah, tamak, dan hidup tidak sama antara “siang hari” dan “malam hari”, Agustinus dengan etika Kristennya, menurut saya menyatakan beberapa pandangannya.

Filosofi Etika Kristen menurut Agustinus
            Agustinus menganut semacam dualisme yang lebih lunak dari Plato, sebab ia mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang menggunakan tubuh bagi tujuan tertentu. Manusia tergolong ke dalam dunia indrawi atau alam jasmani karena tubuhnya dan manusia juga tergolong ke dalam alam rohani karena jiwanya. Tubuh manusia, karena tergolong dunia indrawi maka mengalami keterbatasan, perubahan, kelemahan dan kesengsaraan. Jiwa, karena tergolong dunia rohani maka senantiasa mencari kebenaran yang abadi dan keinginan yang terdalam yaitu mencapai kebahagiaan dan kebaikan yang sempurna. (Rapar 1989, 47).
            Kejahatan, menurut Agustinus adalah tidak ada/tidak exist, yang ada/exist atau nature-nya segala sesuatu adalah kebaikan. Kejahatan hadir karena sesuatu yang nature-nya kebaikan itu, berkurang, karena kadar kebaikannya berkurang. (Gilson 1961, 144). Dosa adalah kejahatan sukarela karena itu dosa asal adalah hasil dari kebebasan manusia untuk memilih. Manusia jatuh ke dalam dosa karena menolak kehendak dan kasih Allah, dan malah memilih keserakahan dan kesombongan terhadap kepemilikan suatu hal dibanding tunduk pada preferensi kebaikan universal tertinggi yaitu Allah. (Gilson 1961, 151).
            Kehendak bebas manusia diberikan oleh Allah. Alasannya adalah agar kehendak itu selalu berada di bawah kekuasaan dan kendali kita, sehingga kita bisa bebas menggunakannya. Dengan demikian jika kita memilih untuk berbuat dosa maka itu adalah bersifat sukarela atau bebas. (Rowe 1972, 213). Allah bukanlah diktator sehingga Allah memberikan kehendak bebas kepada manusia karena Allah menginginkan manusia dengan kehendak bebasnya untuk memilih Allah dan bukan memilih dosa. (Rowe 1972, 210).
            Agustinus menekankan, karena tubuh manusia terbatas, berubah, lemah dan sengsara, maka kedagingan menyebabkan manusia cenderung untuk salah menggunakan kehendak bebas dengan memilih dosa dibanding memilih Allah. Manusia yang jiwanya nature-nya sebenarnya selalu mencari “kebaikan tertinggi” menjadi salah memilih dan terjebak dalam kedagingan tubuh manusia sehingga menganggap “kebaikan tertinggi” ada pada materi dan sesuatu yang terlihat. Dengan kata lain tubuh dan indra kita menipu kita. Akan tetapi Allah, dengan anugerahnya dan iluminasinya, pencerahan ilahi darinya, mampu membuat kita mengubah interpretasi kita akan “kebaikan tertinggi” tersebut. (Lehmann 1963, 254-255). Dengan demikian maka “kebaikan tertinggi” adalah kebahagiaan yang merupakan buah dari iman kepada Allah (bdk. Roma 6:22), bukan pada kebahagiaan karena kebajikan manusia semata dan kebahagiaan yang menipu, yang berasal dari indra. (Lehmann 1963, 255).
            Etika Agustinus menekankan perbedaan cara hidup manusia dan bagaimana manusia memaknai hidupnya. Cara dan makna pertama adalah dalam kedagingan dan cara kedua adalah dalam jiwa atau roh. Cara pertama adalah menempatkan kebaikan tertinggi pada kenikmatan materi. Manusia dengan kehendak bebasnya yang diberikan oleh Allah cenderung jatuh dalam cara pertama ini. Agustinus melihat bahwa manusia harus menggunakan cara kedua dalam menjalani hidup. (Augustine 1958, 295-296). Cara kedua adalah menempatkan kebaikan tertinggi pada Allah. Cara kedua ini adalah dengan menempatkan anugerah Allah dalam diri Yesus Kristus (Inkarnasi, Allah yang menjadi daging) sebagai iluminasi dari Allah sehingga manusia dapat melakukan hal yang baik sesuai kehendak Allah yaitu kebaikan tertinggi dan itu adalah Allah. (Augustine 1958, 296-297).
            Agustinus membagi dua otoritas dalam dunia, yang pertama adalah otoritas kota duniawi (Babilon) dan otoritas kota Allah (Yerusalem). Kedua otoritas ini berasal dari dua cinta yang berbeda. Komunitas dunia berasal dari cinta akan diri sendiri/egois yang menafikan Allah. Sementara persekutuan orang kudus adalah mereka yang berakar dari cinta akan Allah dan siap untuk memberi diri. Aturan yang berlaku dalam kota duniawi adalah aturan untuk mendominasi berdasarkan nafsu. Sementara aturan yang berlaku dalam kota Allah adalah satu sama lain saling melayani berdasarkan tanggung jawab dan kepatuhan kepada Allah. Bahkan orang bijak di dalam kota duniawi hidup berdasarkan aturan duniawi dan tujuan mereka hanya kebaikan berdasarkan tubuh atau kedagingan mereka semata atau berdasarkan pikiran mereka sendiri. Meskipun mereka juga mendapat pengetahuan akan Allah tetapi mereka tidak memuliakan Allah atau bersyukur kepada Allah dan karena itu pikiran mereka menjadi gelap karena menafikan Allah. (Augustine 1958, 321-322).
            Agustinus mengatakan “Cintailah dan lakukan apa saja yang kau kehendaki!”. Maksud Agustinus adalah bahwa orang yang hatinya terdapat cinta sudah terorientasi seluruhnya pada Nilai Tertinggi yaitu Allah dan tidak perlu bertanya lagi sesuatu boleh atau tidak, sebab ia selalu akan tahu dan merasakan perbuatan mana baik dan benar, sesuai hukum Allah. Cinta kasih membebaskan dari hukum. (Suseno 1997, 72). Keutamaan, menurut Agustinus adalah kemantapan kehendak manusia untuk bertindak dalam sikap-sikap baik dan melepaskan keterikatan dari nafsu-nafsu rendah. Keutamaan hanya dapat berkembang karena rahmat Allah dan bukan karena kekuatan manusia sendiri. (Suseno 1997, 74).
            Menurut Agustinus, orang yang tahu mendahulukan yang baik terhadap yang buruk dan keteraturan terhadap kekacauan, harus mengerti bahwa perdamaian orang-orang jahat adalah semu dan tidak seharusnya disebut perdamaian kalau dibandingkan perdamaian dengan orang baik. (Suseno 1998, 81). Menurut Agustinus, manusia yang mempergunakan harta fana sebagaimana mustinya akan mendapatkan harta lebih tinggi dan baik yaitu perdamaian abadi, kemuliaan dan hormat di dalam kehidupan kekal, di mana mereka menikmati Allah dan sesama di dalam Allah. Tetapi yang menyalahgunakan harta duniawi akan kehilangannya dan tidak memperoleh harta yang adiduniawi itu. (Suseno 1998, 85).
Agustinus mengatakan bahwa kebahagiaan tidak akan tercapai melalui pemuasan segala kebutuhan akan harta tetapi dalam Allah sendiri sebagai Dia yang patut dicintai demi diri-Nya sendiri. Agustinus membedakan antara uti (memakai) dan frui (menikmati). Segala sesuatu hanya boleh dipakai sejauh membantu kita mencapai kebahagiaan dalam Allah. Agustinus tidak memandang remeh materi tapi melihat semua itu sebagai sarana (relatif sifatnya) dan dipakai manusia untuk mencapai kebahagiaan dalam Allah. Jika kita menikmati barang duniawi semata maka kita melenceng dari tujuan. (Tjahjadi 117-118).
Mengenai negara Agustinus mengatakan bahwa komunitas duniawi atau negara akan hancur pada akhir zaman. Komunitas duniawi sebenarnya merupakan sesuatu yang buruk, tetapi diperlukan karena dosa asal manusia membuat manusia menjadi egois dan mudah dipermainkan oleh nafsu rendahnya maka diperlukan kekuasaan duniawi untuk menertibkan manusia. Negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi sarana semata-mata untuk penertiban karena manusia, tanpa rahmat Allah, buruk sifatnya. Dalam realita, komunitas Allah dan komunitas dunia, saling berhubungan tetapi keduanya akan dipisahkan pada akhir zaman dan komunitas Allah lah yang unggul. (Tjahjadi 2004, 119-120).

Analisa Panama Papers berdasarkan Etika Agustinus
            Mereka yang terlibat dalam Panama Papers berdasarkan investigasi Tempo, mayoritas dipastikan membuka perusahaan cangkang (shell company). Motif pendirian perusahaan cangkang banyak dilatari niat jahat. Penggelapan pajak, sebagai salah satu motif, merupakan akibat dari ketamakan dan kerakusan manusia terhadap harta. Mereka menimbun harta karena kebahagiaan mereka terletak pada pemuasan keinginan akan harta semata, bukan pada kebahagiaan dalam Allah. Mereka gagal melihat negara sebagai sarana untuk menertibkan manusia yang egois dan mudah dipermainkan sehingga secara tersembunyi menutupi kekayaan mereka dengan berbagai cara.
            Menurut etika Agustinus, hal ini jelas salah dan menurut bahasa agama maka ini adalah dosa. Dosa mereka disebabkan kejahatan sukarela yaitu dengan sadar menggunakan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah untuk memilih menimbun harta, menggelapkan pajak, tidak mau berbagi kepada yang membutuhkan (sistem subsidi silang pajak sebagaimana dibahas di awal), malah menimbun untuk diri sendiri dan bukan memilih Allah sebagai kebahagiaan yang utama. Mereka gagal melihat bahwa harta adalah sarana semata untuk mencapai kebahagiaan dalam Allah dan mereka telah melenceng dari tujuan semula terkait pemenuhan kebutuhan akan harta.
            Mereka bisa jadi mengetahui akan Allah, beragama, bisa jadi Kristen, tapi menolak untuk hidup di dalam komunitas Allah. Mereka menolak iluminasi dan anugerah Allah sehingga tetap menginterpretasikan kebahagiaan mereka pada harta. Mereka hidup dalam cara pertama yaitu kedagingan dan membiarkan nafsu rendah, nafsu akan pemuasan keinginan dari materi semata, menguasai mereka. Mereka inilah yang dikatakan Agustinus sebagai komunitas duniawi dan akan binasa pada akhir zaman. Mereka terjebak pada menikmati (frui) harta dan bukan memakai (uti) harta sebagai sarana.

Kesimpulan dan penutup
            Mereka yang terlibat Panama Papers, memang belum terbukti bersalah secara hukum. Tetapi kita bisa meninjaunya secara etis, berdasarkan sudut pandang etika Kristen menurut Agustinus terkait pemenuhan kebutuhan materi. Berdasarkan sudut pandang tersebut mereka terbukti telah melakukan perbuatan tidak etis. Mereka memandang materi adalah segalanya dan kebahagiaan mereka berdasarkan pemenuhan keinginan materi semata karena itu mereka dengan rakus dan tamak menyembunyikan dan menimbun harta mereka tanpa mau membayar pajak. Berdasarkan bahasa agama mereka telah berdosa dan perlu untuk berbalik, mencari anugerah Allah, iluminasi Allah agar pandangan mereka mengenai materi bisa berubah, bahwa kebahagiaan manusia bukan pada materi tetapi pada Allah semata.

Daftar Acuan
Augustine. City of God. trans. Gerald G. Walsh dkk. (New York Verso: 1958). Image
Books.
Gilson, Etienne. 1961. The Christian Philosophy of Saint Augustine. London : Victor
Gollancz.
Lehmann, Paul L. 1963. Ethics in a Christian context. New York : Harper & Row.
Rapar, J.H. 1989. Filsafat politik Agustinus. Jakarta : Rajawali.
Rowe, William L. 1972. Augustine on foreknowledge and free will. Augustine : A 
            Collection of critical Essays. 209-217. Anchor Books.
Suseno, Franz Magnis. 1998. 13 Model pendekatan Etika : bunga rampai teks-teks etika 
            dari Plato sampai dengan Nietzsche. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suseno, Franz Magnis. 1997. 13 Tokoh etika sejak zaman Yunani sampai abad ke-19.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual : Konfrontasi dengan para 
              filsuf dari zaman Yunani dengan zaman modern. Yogyakarta: Kanisius.
https://investigasi.tempo.co/panama. (diakses 4 Mei 2016 pukul 03.21).
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/090760201/apa-itu-perusahaan-cangkang-dalam
panama-papers. (diakses 4 Mei 2016 pukul 10.48).
http://print.kompas.com/baca/2016/04/08/Panama-Papers-Perusahaan-Cangkang-dan-
            Surga Paja. (diakses 4 Mei 2016 pukul 08.41).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar