Bisakah
membandingkan Muhammad dengan Yesus?Pertanyaan ini mengusik saya, ketika berdiskusi
dengan rekan saya yang beragama Islam. Rekan saya tersebut bertanya, bisakah
membandingkan Muhammad dengan Yesus. Saya pun berpikir dan kemudian menjawab,
jelas bisa, walaupun ada beberapa orang yang berpikir bahwa hal tersebut tidak
bisa. Bagi saya umat Kristen yang berpikir bahwa tidak bisa membandingkan Yesus
dan Muhammad sepertinya karena mereka terlalu menekankan Yesus sebagai sepenuhnya
Tuhan (sebagaimana kepercayaan iman Kristen) sehingga melupakan bahwa Yesus
juga sepenuhnya manusia (sebagaimana kepercayaan iman Kristen pula). Mereka
yang berpandangan demikian menganggap bahwa tidak mungkin Tuhan (Yesus)
dibandingkan dengan Nabi (Muhammad), suatu perbandingan yang tidak seimbang (apple to apple).
Dalam karya tulis ini, saya mencoba
menepikan pandangan tersebut dan akan membandingkan Yesus dengan Muhammad, yang
terutama dalam aspek manusia. Oleh karena itu, pada karya tulis ini akan
dibahas Muhammad sebagai Rasul dan Nabi (“dua tugas”/Duplex Munus Muhammad) dibandingkan dengan Yesus sebagai Nabi,
Imam, dan juga Raja (“tiga tugas”/Triplex
Munus Yesus). Pada karya tulis ini, dalam salah satu sub topik saya juga
membahas Yesus dari persepektif Islam dan Muhammad dari perspektif Kristen. Saya
berpendapat bahwa perbedaan perspektif tersebut perlu untuk dikemukakan sebagai
dasar menghargai perbedaan memandang Muhammad dan Yesus agar tidak berujung
konflik antar agama. Selain itu, yang juga penting dalam kesimpulan saya akan
membahas bagaimana sikap terbaik masing-masing umat dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan perspektif doktrin tersebut.
Tujuan saya menulis karya tulis ini
bagi saya untuk memperjelas kedudukan Muhammad dan Yesus dalam masing-masing
agama yang dibawa dan diajarkannya. Saya tertarik untuk memberikan pemaparan
mengenai perbedaan diantara keduanya karena ternyata sepertinya pokok
perselisihan yang berujung konflik antara Islam dan Kristen terletak pada
doktrin dan praksis pengkultusan mengenai kedua tokoh utama dari masing-masing
agama. Bagi saya kedua agama tersebut merupakan “saudara kandung” (sama-sama
agama Abrahamik termasuk juga agama Yahudi) yang sebenarnya bisa hidup
berdampingan bila saling menghargai perbedaan tersebut. Saya berharap melalui
karya tulis ini siapapun yang membaca menjadi jelas kedudukan Yesus dan
Muhammad dalam masing-masing agama. Saya menyadari bahwa pembahasan dari saya
ini tidak mungkin betul-betul obyektif, terkait posisi saya sebagai seorang
yang beragama Kristen, sehingga saya mengharapkan ada karya tulis-karya tulis
lainnya sebagai tanggapan objektif dari sudut pandang Islam atau pun dari agama
lainnya.
Muhammad
sebagai Rasul dan Nabi (Duplex Munus)
Pengakuan akan
Muhammad sebagai rasul merupakan bagian dalam Kesaksian Iman umat Islam
(setelah syahadat bagian pertama), yang berbunyi “bahwa Muhammad adalah utusan
Allah”, asyhadu anna Muhammada(r)
rasulullah. (Schumann 2011, 127). Rasul dipahami sebagai seorang utusan
atau duta yang diberi tugas oleh sang pengutus untuk menyampaikan kepada yang
dialamatkan oleh suatu risala, atau
berita tersebut, secara setia dan tulus, dengan tidak mengubah apa pun dalam
isinya maupun bentuknya (tulisannya). Muhammad sebagai rasul diutus oleh Allah
untuk menyampaikan Firman Allah, yang dalam bentuknya sekarang dikenal sebagai
al-Qur’an, yang isinya hal-hal yang perlu diketahui manusia untuk menjalankan
kehidupan yang berkenan kepada Allah. Muhammad sebagai rasul juga dipandang
oleh umat Islam telah berhasil secara setia dan tulus menyampaikan Firman Allah
secara autentik, meskipun ia menyampaikannya dalam bahasa manusia. (Schumann, 125-126).
Firman Allah yang disampaikan oleh Muhammad,
sang rasul Allah tersebut, senantiasa memerlukan interpretasi kontekstual agar
pemberitahuannya tidak tertahan di alam abstrak melainkan bisa menjadi pegangan
relevan bagi seorang mu’min dalam
menjalankan kehidupannya. Bagi umat Islam, contoh dan teladan mengenai cara
bagaimana seorang mu’min menjalankan
interpretasi yang mengaktualisasikan Firman Allah itu ialah rasul sendiri yang
juga menggunakan ijtihad dan tafsiran menurut makna apabila perlu dan tidak
terpaku pada tafsiran literalis. Sebagai rasul, Muhammad juga ditugaskan oleh
Allah untuk hal tersebut, sehingga tidak ada manusia yang boleh mengingkari
putusan Allah itu dan meragukan ketulusan rasul. Tugas kerasulan Muhammad sangat bersifat
religius, Allah sendiri yang menetapkannya (sehingga dinyatakan dalam Kesaksian
Iman umat Islam, Syahadat bagian kedua), dan secara umum mirip dengan pemahaman
Kristiani mengenai seorang apostolos
(rasul). (Schumann, 126-127).
Selain sebagai rasul, Muhammad juga
diakui sebagai nabi. Menurut pemahaman Islam, Muhammad mengikuti jejak para
nabi yang ada sebelumnya, yang juga sebagai pemimpin umatnya, khususnya seperti
Musa bagi umat Yahudi dan Isa (Yesus) bagi umat Kristen. Tugas Muhammad sebagai
nabi, sebagai pemimpin umatnya menjadi nyata setelah hijrah, dari Mekah ke
Yathrib, dan di Yathrib berhasil mendirikan madinat
an-nabi atau kediaman orang-orang yang mengikuti nabi atau “kota nabi”. Madina selain berarti tempat din berlaku juga merupakan wilayah yang
dihuni oleh kelompok penganut salah satu agama tertentu, “agama nabi”.
(Schumann, 127).
Tugas Muhammad sebagai nabi berbeda
dengan tugasnya sebagai rasul. Peranan nabi lebih menekankan peranan Muhammad
dalam soal kepemimpinan masyarakat dan mengarahkan penyusunan masyarakat serta
penetapan nilai-nilai dan kaidah-kaidah kesusilaan masyarakat sesuai dengan
petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam wahyu, selain juga dalam penyebaran
ajaran. Sebagai nabi, Muhammad memiliki otoritas utama dalam hal penafsiran dan
penerapan anjuran-anjuran wahyu ke dalam kehidupan sosial karena itu ia disebut
sebagai pemimpin. (Schumann, 127).
Perbedaan peran Muhammad sebagai
rasul dan nabi terletak pada dimensi sosial dan dimensi religius. Jika peran
Muhammad sebagai rasul , penekanannya terdapat pada dimensi religius (sampai ke
dalam ibadat, yaitu syahadat) maka sebagai nabi penekanannya adalah pada
peranan Muhammad di dalam masyarakat atau di bidang sosial. Kendati sebagai
nabi yang ditonjolkan adalah kepemimpinan Muhammad sebagai pemimpin tetapi
Muhammad bukanlah pemimpin absolut ibarat raja atau penguasa. Semua keputusan
menyangkut hidup bersama di Madinah perlu dirundingkan dulu dalam syura, atau melalui musyawarah. Dalam
musyawarah tersebut ada kalanya pendapat Muhammad tidak selalu diterima namun
hal itu tidak mengurangi wibawa nabi karena hal seperti itu dianggap biasa
dalam musyawarah. (Schumann, 127-128).
Dengan
demikian maka Madinah berarti wilayah yang mengakui kepemimpinan Muhammad
sebagai nabi dan berbeda dengan ummatu’llah,
yang berarti umat yang berbakti kepada Allah, bukan kepada Muhammad. Ada
banyak madinah, karena ada banyak nabi, sementara Allah hanya satu, sehingga ummatu’llah hanya ada satu. Peranan
Muhammad sebagai rasul tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Sementara itu sebagai
nabi dan khususnya sebagai pemimpin Muhammad dipandang sebagai peserta syura
dan sebagai primus inter pares, yang pertama
di antara yang lain yang setara. (Schumann, 128).
Perbedaan
peran Muhammad dalam bidang religius dan dalam bidang politik nampak setelah ia
wafat. Setelah Muhammad wafat, yang dipilih oleh kaum muslimin adalah khalifat an-nabi bukan khalifat ar-rasul. Pengurusan hal-hal
religius diserahkan kepada para ahli, yakni ulama.
Sementara itu, masalah sosial dan politik (termasuk militer) diurus oleh kaum
muslimin dengan melanjutkan sistem syura
dan dimulai dengan memilih pengganti nabi dengan wahyu sebagai bimbingan (hidayah). Hanya saja kelompok pengikut
Ali, sepupu dan menantu Muhammad, berpandangan bahwa pemimpin politis dan
sosial harus pula mempunyai wibawa religius, tetapi mereka kalah suara dan
lantas menyendiri, menjadi kaum syi’at
Ali, partai Ali, yang kemudian akan disebut kaum syi’a. Sementara itu mayoritas umat Islam yang lain bergabung dalam
ahl as-sunna wal jama’a yang kemudian
akan disebut kaum sunni atau sunna.(Schumann, 129).
Yesus
sebagai Nabi, Imam dan Raja (Triplex
Munus)
Dalam pandangan
umat Yahudi pada masa Yesus hidup, mereka mendambakan pembebas, seorang Mesias
(yang diurapi Allah) yang berasal dari Allah. Pada masa tersebut mereka dijajah
oleh kekaisaran romawi, sehingga mereka mendambakan pembebasan dari kekuasaan
asing. Menurut mereka akan datang seorang raja keturunan dari Raja Daud yang akan
membebaskan mereka dari penjajahan dan kekuasaan asing dan memulihkan kekuasaan
dan kedaulatan kerajaan Israel. Selain itu mereka juga mendambakan adanya
Mesias yang bercorak keimaman, yang akan memurnikan dan menyucikan bait Allah
sehingga kedaulatan Allah dan kehadiran Allah akan kembali dalam kesucian bait
Allah (yang sudah dipandang menurun kadar kesuciannya atau kekudusannya karena
kekaisaran romawi ikut campur dalam urusan agama, bahkan terkotori oleh darah
babi, hewan najis menurut Yahudi). Mesias keimaman menurut mereka berasal dari
keturunan Harun dan Lewi. (Schumann 122-123).
Selain Mesias keimaman dan Mesias
politik (raja), mereka juga mendambakan seorang Mesias kenabian, seperti Musa
yang membawa nenek moyang mereka keluar dari perbudakan Mesir dengan
pertolongan Allah. Mesias kenabian terkait dengan peran nabi yang membawa pesan
dari Allah untuk umat, karena telah sekian lama Allah tidak lagi berbicara
kepada umat Israel sejak Nabi Maleakhi. Melalui Mesias kenabian umat Israel
akan merasa dekat lagi dengan Allah mereka dan “dibela” oleh Allah mereka. Mesias
keimaman dan kenabian menurut mereka tingkatannya lebih tinggi dibanding Mesias
politik (raja) karena umat Israel memandang penderitaan yang mereka alami
sebagai akibat dari dosa mereka sehingga Allah meninggalkan mereka dan
memberikan mereka ke tangan musuh-musuh mereka. (Schumann 122-123).
Pada diri Yesus, menurut umat
Yahudi, ketiga fungsi atau peran Mesias ini tidak terpenuhi karena Yesus kalah,
dan disalibkan, dan mati, dan Israel tetap “dijajah”, tanah suci mereka tetap
dikuasai asing bahkan mereka sekarang tercerai berai, tersebar secara sporadis
di berbagai belahan bumi sehingga mereka masih menantikan Mesias sampai
sekarang yang menurut mereka akan mengembalikan tanah suci Yerusalem kepada
mereka. Sementara menurut umat Kristen, fungsi atau peran Mesias sudah genap
dalam diri Yesus Kristus. Menurut umat Kristen Yesus adalah Anak Allah,
sehingga ia lebih dari sekedar Nabi dan Imam. Melalui inkarnasi, Allah menjadi
Manusia, maka Yesus tidak berdosa, suci dan kudus sehingga ia berhak menyucikan
bait Allah (Mesias keimaman) dan berhak mewakili Allah membela Israel sebagai
Nabi (Mesias kenabian), bahkan Anak Allah. Menurut umat Kristen juga Yesus
adalah anak Daud, berasal dari keturunan Daud sehingga ia juga adalah Raja,
hanya saja kerajaannya bukanlah kerajaan duniawi tetapi Kerajaan Allah (karena
dia juga Anak Allah), kerajaanNya melampaui dunia, berasal dari surga. Inilah
perbedaan dasar sudut pandang Kristen dengan umat Yahudi. Umat Yahudi
menganggap Mesias tersebut nyata saat ini di dunia sementara umat Kristen
berpandangan bahwa Mesias tersebut akan nyata nanti ketika akhir dunia,
Kerajaan Allah datang dan kedaulatan Allah nyata dalam penghakiman melalui
Yesus, anakNya yang tunggal.
Muhammad
dari Perspektif Kristen
Secara umum
konsep dan definisi rasul dan nabi dalam kekristenan dengan Islam berbeda. Dalam
Islam, rasul adalah penyampai pesan, risalah atau berita kepada suatu umat dan
wajib menyebarluaskan ajarannya. Sementara itu nabi dalam Islam adalah orang
suci yang berkenan dan kudus di hadapan Allah yang memiliki ajaran tertentu
juga tapi tidak wajib menyampaikan dan menyebarluaskan ajarannya atau pesannya.
Rasul secara otomatis adalah nabi sementara nabi belum tentu rasul. Jumlah nabi
lebih banyak dari jumlah rasul dan dari sekian banyak rasul pun hanya ada
beberapa rasul yang dipandang utama dalam Islam. Pada pemahaman Islam rasul
tingkatannya lebih tinggi dari nabi. Biasanya rasul dikirim untuk satu umat,
sementara itu, bagi umat Islam, Muhammad merupakan rasul bagi seluruh umat
manusia, tidak hanya untuk kaumnya (bangsa Arab), berbeda dengan misalnya Musa
yang hanya untuk Israel. Dari perspektif Islam, menurut Surat Al-Baqarah 2 :
285 tegas mengajarkan bahwa “Kami tidak membedakan antara seorang dengan yang
lain dari rasul-rasulNya” walaupun dalam saat yang sama (QS Al-Baqarah 2:253)
Al-Quran menegaskan bahwa Allah juga yang menganugerahkan kelebihan kepada
sebagian rasul atas sebagian yang lain sehingga dikenal ulul’azmi yakni lima rasul yang memiliki komitmen amat tinggi, hati
yang sangat teguh dan pengabdian yang sangat luhur yaitu Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa dan Muhammad SAW. (Phipps 1996, 2).
Dengan
segala hormat kepada umat Muslim, bagi umat Kristen, Muhammad bukan rasul,
karena rasul dipakai untuk mereka yang mengabarkan Injil tentang Yesus Kristus
dan hidup dalam “lingkaran dekat” pengajaran Yesus. Bagi umat Kristen, rasul
adalah 12 murid Yesus (Andreas, Yakobus anak Alfeus, Yakobus anak Zebedeus,
Yohanes, Filipus, Bartolomeus, Matius, Tomas, Yudas Tadeus, Simon, Petrus, dan
Matias yang menggantikan Yudas Iskariot) dan rasul Paulus. Rasul mengabarkan
Injil berupa keselamatan dalam karya penebusan (kematian dan kebangkitan)
Kristus. Secara definisi tersebut maka karena Muhammad tidak memberitakan Injil
keselamatan dalam diri Yesus Kristus maka ia bukan rasul.
Bagi
umat Kristen, Muhammad bukan nabi. Dalam sudut pandang Kristen, secara
doktrinal, penggenapan wahyu dan janji Allah, yaitu janji sejak jaman Adam dan
Hawa mengenai keturunan perempuan yang akan meremukkan kepala ular dan ular
dapat meremukkan tumitnya (Kejadian 3:15) sudah digenapi pada diri Yesus. Keturunan
perempuan digenapi pada diri Yesus yang adalah anak dari perempuan perawan
Maria (bukan hasil persetubuhan Maria dengan Yusuf, namun berasal dari Allah).
Ular merupakan perlambang dosa, sehingga kebangkitan Yesus berarti meremukkan
kepala ular (mematahkan kuasa dosa) dan kematian Yesus berarti ular (dosa)
hanya dapat meremukkan tumit (tidak mematikan tetapi hanya berkuasa sementara,
tidak permanen karena kasih Allah dalam Kristus lebih berkuasa dari kuasa dosa
karena Yesus dibangkitkan Allah). Konsekuensi dari doktrin tersebut adalah
tidak ada lagi nabi setelah Yesus. Bahkan bagi umat Kristen Yesus lebih dari
sekedar nabi, ia adalah Anak Allah dalam konsep Allah Trinitas. (Ambrie 1970,
6).
Maka dalam pandangan Kristen,
Muhammad bukan nabi dan juga bukan rasul, sebab Allah telah genap mewahyukan
pesannya dalam diri Yesus. Setelah Yesus, Allah tetap berbicara namun dalam
diri Roh Kudus yang telah “dihembuskan” kepada diri manusia sehingga kebenaran
Allah tidak lagi memerlukan perantaraan para nabi. Konsekuensinya bagi umat
Kristen, setelah Yesus tidak akan ada lagi nabi, sehingga Muhammad tidak diakui
sebagai nabi dalam iman Kristen. Demikianlah sudut pandang umat Kristen
mengenai Muhammad yang sering menjadi pokok pertikaian dengan umat Islam.
(Ambrie 1970, 6).
Yesus
dari Sudut Pandang Islam
Al-Quran dengan jelas menolak bahwa
Yesus disalib dan menyatakan bahwa dia dibawa ke langit (QS 4:157-158). Inilah
salah satu “fakta” yang memisahkan Kristen dan Islam. (Phipps 1996, 279).
Pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan kisah penyaliban dan kebangkitan
Kristus dalam Injil di Alkitab dan Pengakuan Iman Rasuli umat Kristen, yang
mengatakan “Yesus menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus,
disalibkan, mati, dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut. Pada hari ketiga,
bangkit pula dari antara orang mati”. Bagi umat Islam, Yesus berperan sebagai
hakim adil pada akhir zaman, dan akan menghancurkan salib-salib dengki, iri
hati, dendam, saling benci, dan cemburu, dan keinginan untuk kaya. (Phipps,
280). Selain itu dalam teologi Islam, Yesus juga disebut al-Mahdi yang akan datang di akhir zaman untuk menumpas kejahatan
besar dari Dajjal. (Leirvik 2002, 65).
Al-Quran menyatakan bahwa Allah
tentu tidak akan membiarkan para nabi sejati untuk dihancurkan musuh-musuh
mereka. Anggapan tentang penghinaan dan siksaan atas Yesus melalui penelanjangan
dan kematian di kayu salib, di sebuah tempat umum terkemuka , tidak dapat
diterima dalam Islam. Meskipun demikian beberapa pengecualian diakui, karena
beberapa nabi secara lalim dibunuh oleh orang yang durhaka kepada Tuhan (QS
3:112), sebagai contoh Yahya, yang dipenggal oleh Herodes (walau hal ini tidak
disebutkan dalam Al-Quran, namun kepalanya diklaim disimpan di Masjid Agung
Damaskus). (Phipps, 280-281).
Dalam Islam, Yesus dipandang sebagai
rasul (dan nabi) bagi bani/bangsa Israel saja dan bukan untuk seluruh umat (Surat
Ali Imran:49) (walaupun faktanya Yesus ditolak oleh Israel sebagai rasul dan
nabi, dan hanya diterima oleh umat Kristen). (Bakry 1989, 18 & 62). Dengan
menekankan peranan Yesus sebagai rasul (nabi) bagi Israel, maka bagi Islam,
Yesus bukanlah Tuhan sebagaimana yang diakui oleh umat Kristen dan sekaligus
juga menolak Yesus sebagai Anak Allah dalam konsep Trinitas Kristen. (Bakry,
79). Yesus sebagai Tuhan dan Anak Allah ditolak, juga konsep Trinitas Kristen
ditolak oleh Islam, karena menurut umat Islam tidak sesuai dengan Tauhid atau Monoteisme Islam, dan menurut Islam konsep tersebut adalah konsep Politeisme dan berarti syirik atau menyekutukan Allah dengan
zat atau makhluk atau hal lain di luar diriNya. (Bakry, 115). Demikianlah sudut
pandang umat Islam mengenai Yesus (Isa) yang sering menjadi pokok pertikaian
dengan umat Kristen.
Sikap
terbaik dalam menyikapi perbedaan perspektif masing-masing agama
Telah dipaparkan di atas peranan
Muhammad sebagai rasul dan nabi dalam perspektif Islam serta peranan Yesus
sebagai Imam, Nabi dan Raja (selain sebagai Tuhan dan Anak Allah dalam konteks
Allah Trinitas yang sudah saya bahas secara tidak langsung karena tidak dalam
satu sub topik tersendiri dalam karya tulis ini sebab pembatasan pembahasan
karya tulis ini pada aspek Yesus sebagai manusia agar dapat disandingkan dengan
Muhammad sebagai manusia) dalam perspektif Kristen. Selain itu juga telah
dipaparkan pandangan Islam terhadap ketuhanan Yesus dan juga pandangan Kristen
terhadap kenabian Muhammad. Menurut saya perbedaan doktrin tersebutlah yang
menjadi dasar pertentangan atau konflik diantara kedua agama tersebut. Umat
Kristen tidak bisa menerima Muhammad sebagai nabi sementara umat Islam juga
tidak bisa menerima Yesus sebagai Tuhan.
Secara konseptual kedua agama
(Kristen dan Islam) meyakini bahwa Allah mewahyukan pesanNya, ajaranNya,
perintah dan laranganNya kepada umatNya. Perbedaannya hanya pada caraNya dalam
mewahyukan pesan kepada umatNya. Umat Islam mempertahankan jarak antara yang
ilahi dengan yang profan, sehingga wahyu diberitakan Allah melalui para nabi,
khususnya dan utamanya Muhammad. Sementara umat Kristen meyakini bahwa Allah
sendiri berinkarnasi, sehingga jarak antara yang ilahi dengan yang profan
hilang dan yang ilahi terlibat secara tuntas dalam menyampaikan pesan itu
sendiri. (Leirvik, 385).
Dengan konsep wahyu tersebut maka
memang menjadi sulit membandingkan Yesus dengan Muhammad. Dalam Kristen, Yesus
adalah wahyu itu sendiri yang menjelma menjadi manusia. Sementara itu, dalam
Islam, Muhammad SAW adalah manusia biasa yang mendapat wahyu Allah yakni
Al-Quran. Oleh Karena itu, Wilfred Cantwell Smith, menempatkan Yesus setara
dengan Al-Quran. Konsekuensinya maka bagi umat Islam Al-Quran lah yang bersifat
qadim/kekal, sementara bagi umat
Kristen, Yesus lah yang diyakini bersifat kekal. (Phipps, 2).
Dalam dialog antar umat beragama,
setiap peserta dituntut untuk memahami mitra dialognya sehingga tercipta
interaksi yang positif. Willem Bijlefeld, pakar dialog Islam-Kristen,
menyatakan bahwa ketika mendengar dan memahami mitra dialog setiap peserta dialog
hendaknya belajar untuk memperkokoh iman yang dianutnya. Misalnya saya sebagai
penganut Kristen maka saya semakin diperkokoh imannya ketika mempelajari
teks-teks Al-Quran yang berbicara tentang kemuliaan Yesus. Begitu juga
sebaliknya, ketika umat Islam mempelajari Isa maka semakin menjadikan Isa
sebagai role model atau teladan
(karena termasuk lima nabi/rasul utama) selain tentunya dan utamanya Muhammad.
(Phipps, 2-3).
Saran penulis kepada umat Kristen
sebagaimana Pdt. Prof. J.S. Aritonang dalam bukunya Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia adalah kita tidak
bisa lagi mempertahankan kebanggaan semu extra
ecclesiam nulla salus, diluar gereja tidak ada keselamatan. Syndrom anak
tunggal sebagai umat satu-satunya yang selamat harus kita tinggalkan. Tugas
kita adalah memberitakan Injil keselamatan itu, bukan mengkristenkan orang
lain. Pemberitaan Injil dilakukan lewat perbuatan, perkataan dan pemikiran yang
membangun kesejahteraan bersama. Selain itu umat Kristen seharusnya tidak lagi
arogan dan eksklusif dalam berinteraksi dengan umat Islam. (Aritonang 2015,
606).
Sementara itu untuk umat Islam,
penulis juga mengutip saran dari Pdt. Prof. J.S. Aritonang yang menyarankan
agar umat Islam tidak lagi mengedepankan wacana tentang negara Islam atau negara
berdasarkan Islam karena hal itu bisa jadi memicu umat Kristen untuk menambah
jumlah umat termasuk dengan cara-cara yang menurut umat Islam menyinggung
perasaan mereka. Demikian pula kiranya dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan agar kiranya umat Islam mempertimbangkan pandangan umat
Kristen karena Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan agama tertentu
sehingga mencegah timbulnya kesan diskriminasi hukum. (Aritonang 2015, 614).
Dalam dialog kita juga harus
menyadari bahwa tidak mungkin seorang penganut Kristen mengakui Muhammad
sebagai nabi karena pengakuan semacam itu akan meruntuhkan fondasi ajaran
Kristen yang dianutnya. Demikian pula kita juga tidak mungkin mengharapkan
seorang penganut Islam untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan karena pengakuan
semacam itu akan meruntuhkan fondasi ajaran Islam yang dianutnya. Meskipun
demikian ada baiknya sebagai umat beragama untuk saling mempelajari agama lain
karena bila kita tidak mengenal dan memahami maka akan ada kecenderungan untuk
memusuhi agama lain sebagaimana pepatah “Manusia cenderung memusuhi (tidak
bersimpati) terhadap sesuatu yang tidak dikenalnya”. (Phipps, 3-4).
Mengenal
agama lain bisa dimulai dengan berteman dan menjalin relasi yang positif dengan
orang yang beragama lain, dalam konteks ini orang yang beragama Islam. Selain
itu bisa juga dengan membaca literatur-literatur yang terkait dengan agama
Islam. Bila kita tidak mengerti ajaran agama Islam maka kita bisa bertanya
kepada orang lain yang kita anggap ahli dalam agama Islam. Demikian pula
sebaliknya, bila umat Islam ingin mengenal agama Kristen bisa dengan menjalin
relasi positif dengan orang yang beragama Kristen dan mempelajari literatur
Kristen. Bila kita tidak mengerti, kita bisa bertanya kepada orang lain yang
dianggap ahli dalam agama Kristen.
Refleksi
Secara pribadi saya tidak merasa
asing dengan agama Islam karena keluarga besar dari pihak ibu saya, beberapa di
antara mereka beragama Islam. Ketika Lebaran kami mengunjungi mereka dan ketika
Natal mereka mengunjungi kami. Hanya saja dalam interaksi-interaksi tersebut
saya jarang bahkan tidak pernah menanyakan konsep-konsep Islam dalam pandangan
mereka. Saya tertarik dengan Islam justru ketika membaca buku Olaf Schumann, Agama-agama : Kekerasan dan perdamaian.
Buku tersebut membuat saya menjadi tertarik karena sebenarnya konflik yang ada
di antara kedua agama sering terjadi karena kepentingan politik meskipun memang
secara doktrin kedua agama tersebut berbeda. Oleh karena aspek politik sudah
dibahas maka saya tertarik untuk membahas aspek doktrin mengenai kedua tokoh
utama agama tersebut.
Saya tertarik membahas Yesus dan
Muhammad karena menurut saya pada konsep mengenai kedua tokoh inilah terletak
perbedaan doktrin yang mendasar di antara kedua agama. Perbedaan doktrin
tersebut berimbas kepada pertentangan dalam aspek praktis penyembahan Allah
pada kedua agama. Kalau Yesus disembah sebagai Tuhan dalam konsep Trinitas
dalam Kristen maka Muhammad istimewa sebagai rasul Allah dalam Islam karena
Al-Quran dan konsep Tauhidnya.
Melalui pembuatan karya tulis ini,
saya sendiri merasakan manfaatnya karena menjadi betul-betul mengerti perbedaan
dan juga persamaan (walau tidak secara spesifik dibahas dalam karya tulis
karena pembatasan masalah pada perbedaannya dan bukan persamaan) Yesus dengan
Muhammad. Kali lain mungkin saya tertarik untuk membahas perbedaan dan
persamaan konsep Tauhid dalam Islam dan konsep Trinitas dalam Islam. Kedua
konsep tersebut menurut saya juga seringkali menjadi pokok konflik pertentangan
dalam ranah doktrin masing-masing agama sehingga perlu menyikapinya dengan
bijak bagi masing-masing agama.
Daftar
Acuan
Ambrie, Hamran. 1970.
Tidak ada nubuat kenabian Muhammad dalam
Alkitab. Jakarta :
PBK
Sinar Kasih.
Aritonang, Pdt.
Prof. Dr. Jan Sihar. 2015. Sejarah
perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia.Jakarta
: BPK Gunung Mulia.
Bakry, Prof. DR.
KH. Hasbullah. 1989. Isa dalam Qur’an
Muhammad dalam Bible.
Jakarta :Pustaka
Al-Hidayah.
Leirvik,
Odbjorn. 2002. Yesus dalam Literatur
Islam. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
Phipps, William
E. 1996. Muhammad and Jesus : A
Comparison of the Prophets and
Their Teachings.
New York : The Continuum Publishing Company.
Schumann, Olaf
Herbert. 2011. Agama-Agama : Kekerasan
dan Perdamaian.
Jakarta : BPK
Gunung Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar