Rabu, 25 Mei 2016


Muhammad dan Yesus

            Bisakah membandingkan Muhammad dengan Yesus?Pertanyaan ini mengusik saya, ketika berdiskusi dengan rekan saya yang beragama Islam. Rekan saya tersebut bertanya, bisakah membandingkan Muhammad dengan Yesus. Saya pun berpikir dan kemudian menjawab, jelas bisa, walaupun ada beberapa orang yang berpikir bahwa hal tersebut tidak bisa. Bagi saya umat Kristen yang berpikir bahwa tidak bisa membandingkan Yesus dan Muhammad sepertinya karena mereka terlalu menekankan Yesus sebagai sepenuhnya Tuhan (sebagaimana kepercayaan iman Kristen) sehingga melupakan bahwa Yesus juga sepenuhnya manusia (sebagaimana kepercayaan iman Kristen pula). Mereka yang berpandangan demikian menganggap bahwa tidak mungkin Tuhan (Yesus) dibandingkan dengan Nabi (Muhammad), suatu  perbandingan yang tidak seimbang (apple to apple).
            Dalam karya tulis ini, saya mencoba menepikan pandangan tersebut dan akan membandingkan Yesus dengan Muhammad, yang terutama dalam aspek manusia. Oleh karena itu, pada karya tulis ini akan dibahas Muhammad sebagai Rasul dan Nabi (“dua tugas”/Duplex Munus Muhammad) dibandingkan dengan Yesus sebagai Nabi, Imam, dan juga Raja (“tiga tugas”/Triplex Munus Yesus). Pada karya tulis ini, dalam salah satu sub topik saya juga membahas Yesus dari persepektif Islam dan Muhammad dari perspektif Kristen. Saya berpendapat bahwa perbedaan perspektif tersebut perlu untuk dikemukakan sebagai dasar menghargai perbedaan memandang Muhammad dan Yesus agar tidak berujung konflik antar agama. Selain itu, yang juga penting dalam kesimpulan saya akan membahas bagaimana sikap terbaik masing-masing umat dalam menyikapi perbedaan-perbedaan perspektif doktrin tersebut.
            Tujuan saya menulis karya tulis ini bagi saya untuk memperjelas kedudukan Muhammad dan Yesus dalam masing-masing agama yang dibawa dan diajarkannya. Saya tertarik untuk memberikan pemaparan mengenai perbedaan diantara keduanya karena ternyata sepertinya pokok perselisihan yang berujung konflik antara Islam dan Kristen terletak pada doktrin dan praksis pengkultusan mengenai kedua tokoh utama dari masing-masing agama. Bagi saya kedua agama tersebut merupakan “saudara kandung” (sama-sama agama Abrahamik termasuk juga agama Yahudi) yang sebenarnya bisa hidup berdampingan bila saling menghargai perbedaan tersebut. Saya berharap melalui karya tulis ini siapapun yang membaca menjadi jelas kedudukan Yesus dan Muhammad dalam masing-masing agama. Saya menyadari bahwa pembahasan dari saya ini tidak mungkin betul-betul obyektif, terkait posisi saya sebagai seorang yang beragama Kristen, sehingga saya mengharapkan ada karya tulis-karya tulis lainnya sebagai tanggapan objektif dari sudut pandang Islam atau pun dari agama lainnya.

Muhammad sebagai Rasul dan Nabi (Duplex Munus)
            Pengakuan akan Muhammad sebagai rasul merupakan bagian dalam Kesaksian Iman umat Islam (setelah syahadat bagian pertama), yang berbunyi “bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, asyhadu anna Muhammada(r) rasulullah. (Schumann 2011, 127). Rasul dipahami sebagai seorang utusan atau duta yang diberi tugas oleh sang pengutus untuk menyampaikan kepada yang dialamatkan oleh suatu risala, atau berita tersebut, secara setia dan tulus, dengan tidak mengubah apa pun dalam isinya maupun bentuknya (tulisannya). Muhammad sebagai rasul diutus oleh Allah untuk menyampaikan Firman Allah, yang dalam bentuknya sekarang dikenal sebagai al-Qur’an, yang isinya hal-hal yang perlu diketahui manusia untuk menjalankan kehidupan yang berkenan kepada Allah. Muhammad sebagai rasul juga dipandang oleh umat Islam telah berhasil secara setia dan tulus menyampaikan Firman Allah secara autentik, meskipun ia menyampaikannya dalam bahasa manusia. (Schumann, 125-126).
             Firman Allah yang disampaikan oleh Muhammad, sang rasul Allah tersebut, senantiasa memerlukan interpretasi kontekstual agar pemberitahuannya tidak tertahan di alam abstrak melainkan bisa menjadi pegangan relevan bagi seorang mu’min dalam menjalankan kehidupannya. Bagi umat Islam, contoh dan teladan mengenai cara bagaimana seorang mu’min menjalankan interpretasi yang mengaktualisasikan Firman Allah itu ialah rasul sendiri yang juga menggunakan ijtihad dan tafsiran menurut makna apabila perlu dan tidak terpaku pada tafsiran literalis. Sebagai rasul, Muhammad juga ditugaskan oleh Allah untuk hal tersebut, sehingga tidak ada manusia yang boleh mengingkari putusan Allah itu dan meragukan ketulusan rasul.  Tugas kerasulan Muhammad sangat bersifat religius, Allah sendiri yang menetapkannya (sehingga dinyatakan dalam Kesaksian Iman umat Islam, Syahadat bagian kedua), dan secara umum mirip dengan pemahaman Kristiani mengenai seorang apostolos (rasul). (Schumann, 126-127).
            Selain sebagai rasul, Muhammad juga diakui sebagai nabi. Menurut pemahaman Islam, Muhammad mengikuti jejak para nabi yang ada sebelumnya, yang juga sebagai pemimpin umatnya, khususnya seperti Musa bagi umat Yahudi dan Isa (Yesus) bagi umat Kristen. Tugas Muhammad sebagai nabi, sebagai pemimpin umatnya menjadi nyata setelah hijrah, dari Mekah ke Yathrib, dan di Yathrib berhasil mendirikan madinat an-nabi atau kediaman orang-orang yang mengikuti nabi atau “kota nabi”. Madina selain berarti tempat din berlaku juga merupakan wilayah yang dihuni oleh kelompok penganut salah satu agama tertentu, “agama nabi”. (Schumann, 127).
            Tugas Muhammad sebagai nabi berbeda dengan tugasnya sebagai rasul. Peranan nabi lebih menekankan peranan Muhammad dalam soal kepemimpinan masyarakat dan mengarahkan penyusunan masyarakat serta penetapan nilai-nilai dan kaidah-kaidah kesusilaan masyarakat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam wahyu, selain juga dalam penyebaran ajaran. Sebagai nabi, Muhammad memiliki otoritas utama dalam hal penafsiran dan penerapan anjuran-anjuran wahyu ke dalam kehidupan sosial karena itu ia disebut sebagai pemimpin. (Schumann, 127).
            Perbedaan peran Muhammad sebagai rasul dan nabi terletak pada dimensi sosial dan dimensi religius. Jika peran Muhammad sebagai rasul , penekanannya terdapat pada dimensi religius (sampai ke dalam ibadat, yaitu syahadat) maka sebagai nabi penekanannya adalah pada peranan Muhammad di dalam masyarakat atau di bidang sosial. Kendati sebagai nabi yang ditonjolkan adalah kepemimpinan Muhammad sebagai pemimpin tetapi Muhammad bukanlah pemimpin absolut ibarat raja atau penguasa. Semua keputusan menyangkut hidup bersama di Madinah perlu dirundingkan dulu dalam syura, atau melalui musyawarah. Dalam musyawarah tersebut ada kalanya pendapat Muhammad tidak selalu diterima namun hal itu tidak mengurangi wibawa nabi karena hal seperti itu dianggap biasa dalam musyawarah. (Schumann, 127-128).
Dengan demikian maka Madinah berarti wilayah yang mengakui kepemimpinan Muhammad sebagai nabi dan berbeda dengan ummatu’llah, yang berarti umat yang berbakti kepada Allah, bukan kepada Muhammad. Ada banyak madinah, karena ada banyak nabi, sementara Allah hanya satu, sehingga ummatu’llah hanya ada satu. Peranan Muhammad sebagai rasul tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Sementara itu sebagai nabi dan khususnya sebagai pemimpin Muhammad dipandang sebagai peserta syura dan sebagai primus inter pares, yang pertama di antara yang lain yang setara. (Schumann, 128).
Perbedaan peran Muhammad dalam bidang religius dan dalam bidang politik nampak setelah ia wafat. Setelah Muhammad wafat, yang dipilih oleh kaum muslimin adalah khalifat an-nabi bukan khalifat ar-rasul. Pengurusan hal-hal religius diserahkan kepada para ahli, yakni ulama. Sementara itu, masalah sosial dan politik (termasuk militer) diurus oleh kaum muslimin dengan melanjutkan sistem syura dan dimulai dengan memilih pengganti nabi dengan wahyu sebagai bimbingan (hidayah). Hanya saja kelompok pengikut Ali, sepupu dan menantu Muhammad, berpandangan bahwa pemimpin politis dan sosial harus pula mempunyai wibawa religius, tetapi mereka kalah suara dan lantas menyendiri, menjadi kaum syi’at Ali, partai Ali, yang kemudian akan disebut kaum syi’a. Sementara itu mayoritas umat Islam yang lain bergabung dalam ahl as-sunna wal jama’a yang kemudian akan disebut kaum sunni atau sunna.(Schumann, 129).
Yesus sebagai Nabi, Imam dan Raja (Triplex Munus)
            Dalam pandangan umat Yahudi pada masa Yesus hidup, mereka mendambakan pembebas, seorang Mesias (yang diurapi Allah) yang berasal dari Allah. Pada masa tersebut mereka dijajah oleh kekaisaran romawi, sehingga mereka mendambakan pembebasan dari kekuasaan asing. Menurut mereka akan datang seorang raja keturunan dari Raja Daud yang akan membebaskan mereka dari penjajahan dan kekuasaan asing dan memulihkan kekuasaan dan kedaulatan kerajaan Israel. Selain itu mereka juga mendambakan adanya Mesias yang bercorak keimaman, yang akan memurnikan dan menyucikan bait Allah sehingga kedaulatan Allah dan kehadiran Allah akan kembali dalam kesucian bait Allah (yang sudah dipandang menurun kadar kesuciannya atau kekudusannya karena kekaisaran romawi ikut campur dalam urusan agama, bahkan terkotori oleh darah babi, hewan najis menurut Yahudi). Mesias keimaman menurut mereka berasal dari keturunan Harun dan Lewi. (Schumann 122-123).
            Selain Mesias keimaman dan Mesias politik (raja), mereka juga mendambakan seorang Mesias kenabian, seperti Musa yang membawa nenek moyang mereka keluar dari perbudakan Mesir dengan pertolongan Allah. Mesias kenabian terkait dengan peran nabi yang membawa pesan dari Allah untuk umat, karena telah sekian lama Allah tidak lagi berbicara kepada umat Israel sejak Nabi Maleakhi. Melalui Mesias kenabian umat Israel akan merasa dekat lagi dengan Allah mereka dan “dibela” oleh Allah mereka. Mesias keimaman dan kenabian menurut mereka tingkatannya lebih tinggi dibanding Mesias politik (raja) karena umat Israel memandang penderitaan yang mereka alami sebagai akibat dari dosa mereka sehingga Allah meninggalkan mereka dan memberikan mereka ke tangan musuh-musuh mereka. (Schumann 122-123).
            Pada diri Yesus, menurut umat Yahudi, ketiga fungsi atau peran Mesias ini tidak terpenuhi karena Yesus kalah, dan disalibkan, dan mati, dan Israel tetap “dijajah”, tanah suci mereka tetap dikuasai asing bahkan mereka sekarang tercerai berai, tersebar secara sporadis di berbagai belahan bumi sehingga mereka masih menantikan Mesias sampai sekarang yang menurut mereka akan mengembalikan tanah suci Yerusalem kepada mereka. Sementara menurut umat Kristen, fungsi atau peran Mesias sudah genap dalam diri Yesus Kristus. Menurut umat Kristen Yesus adalah Anak Allah, sehingga ia lebih dari sekedar Nabi dan Imam. Melalui inkarnasi, Allah menjadi Manusia, maka Yesus tidak berdosa, suci dan kudus sehingga ia berhak menyucikan bait Allah (Mesias keimaman) dan berhak mewakili Allah membela Israel sebagai Nabi (Mesias kenabian), bahkan Anak Allah. Menurut umat Kristen juga Yesus adalah anak Daud, berasal dari keturunan Daud sehingga ia juga adalah Raja, hanya saja kerajaannya bukanlah kerajaan duniawi tetapi Kerajaan Allah (karena dia juga Anak Allah), kerajaanNya melampaui dunia, berasal dari surga. Inilah perbedaan dasar sudut pandang Kristen dengan umat Yahudi. Umat Yahudi menganggap Mesias tersebut nyata saat ini di dunia sementara umat Kristen berpandangan bahwa Mesias tersebut akan nyata nanti ketika akhir dunia, Kerajaan Allah datang dan kedaulatan Allah nyata dalam penghakiman melalui Yesus, anakNya yang tunggal.

Muhammad dari Perspektif Kristen
            Secara umum konsep dan definisi rasul dan nabi dalam kekristenan dengan Islam berbeda. Dalam Islam, rasul adalah penyampai pesan, risalah atau berita kepada suatu umat dan wajib menyebarluaskan ajarannya. Sementara itu nabi dalam Islam adalah orang suci yang berkenan dan kudus di hadapan Allah yang memiliki ajaran tertentu juga tapi tidak wajib menyampaikan dan menyebarluaskan ajarannya atau pesannya. Rasul secara otomatis adalah nabi sementara nabi belum tentu rasul. Jumlah nabi lebih banyak dari jumlah rasul dan dari sekian banyak rasul pun hanya ada beberapa rasul yang dipandang utama dalam Islam. Pada pemahaman Islam rasul tingkatannya lebih tinggi dari nabi. Biasanya rasul dikirim untuk satu umat, sementara itu, bagi umat Islam, Muhammad merupakan rasul bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk kaumnya (bangsa Arab), berbeda dengan misalnya Musa yang hanya untuk Israel. Dari perspektif Islam, menurut Surat Al-Baqarah 2 : 285 tegas mengajarkan bahwa “Kami tidak membedakan antara seorang dengan yang lain dari rasul-rasulNya” walaupun dalam saat yang sama (QS Al-Baqarah 2:253) Al-Quran menegaskan bahwa Allah juga yang menganugerahkan kelebihan kepada sebagian rasul atas sebagian yang lain sehingga dikenal ulul’azmi yakni lima rasul yang memiliki komitmen amat tinggi, hati yang sangat teguh dan pengabdian yang sangat luhur yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW. (Phipps 1996, 2).
Dengan segala hormat kepada umat Muslim, bagi umat Kristen, Muhammad bukan rasul, karena rasul dipakai untuk mereka yang mengabarkan Injil tentang Yesus Kristus dan hidup dalam “lingkaran dekat” pengajaran Yesus. Bagi umat Kristen, rasul adalah 12 murid Yesus (Andreas, Yakobus anak Alfeus, Yakobus anak Zebedeus, Yohanes, Filipus, Bartolomeus, Matius, Tomas, Yudas Tadeus, Simon, Petrus, dan Matias yang menggantikan Yudas Iskariot) dan rasul Paulus. Rasul mengabarkan Injil berupa keselamatan dalam karya penebusan (kematian dan kebangkitan) Kristus. Secara definisi tersebut maka karena Muhammad tidak memberitakan Injil keselamatan dalam diri Yesus Kristus maka ia bukan rasul.
Bagi umat Kristen, Muhammad bukan nabi. Dalam sudut pandang Kristen, secara doktrinal, penggenapan wahyu dan janji Allah, yaitu janji sejak jaman Adam dan Hawa mengenai keturunan perempuan yang akan meremukkan kepala ular dan ular dapat meremukkan tumitnya (Kejadian 3:15) sudah digenapi pada diri Yesus. Keturunan perempuan digenapi pada diri Yesus yang adalah anak dari perempuan perawan Maria (bukan hasil persetubuhan Maria dengan Yusuf, namun berasal dari Allah). Ular merupakan perlambang dosa, sehingga kebangkitan Yesus berarti meremukkan kepala ular (mematahkan kuasa dosa) dan kematian Yesus berarti ular (dosa) hanya dapat meremukkan tumit (tidak mematikan tetapi hanya berkuasa sementara, tidak permanen karena kasih Allah dalam Kristus lebih berkuasa dari kuasa dosa karena Yesus dibangkitkan Allah). Konsekuensi dari doktrin tersebut adalah tidak ada lagi nabi setelah Yesus. Bahkan bagi umat Kristen Yesus lebih dari sekedar nabi, ia adalah Anak Allah dalam konsep Allah Trinitas. (Ambrie 1970, 6).
            Maka dalam pandangan Kristen, Muhammad bukan nabi dan juga bukan rasul, sebab Allah telah genap mewahyukan pesannya dalam diri Yesus. Setelah Yesus, Allah tetap berbicara namun dalam diri Roh Kudus yang telah “dihembuskan” kepada diri manusia sehingga kebenaran Allah tidak lagi memerlukan perantaraan para nabi. Konsekuensinya bagi umat Kristen, setelah Yesus tidak akan ada lagi nabi, sehingga Muhammad tidak diakui sebagai nabi dalam iman Kristen. Demikianlah sudut pandang umat Kristen mengenai Muhammad yang sering menjadi pokok pertikaian dengan umat Islam. (Ambrie 1970, 6).
Yesus dari Sudut Pandang Islam
            Al-Quran dengan jelas menolak bahwa Yesus disalib dan menyatakan bahwa dia dibawa ke langit (QS 4:157-158). Inilah salah satu “fakta” yang memisahkan Kristen dan Islam. (Phipps 1996, 279). Pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan kisah penyaliban dan kebangkitan Kristus dalam Injil di Alkitab dan Pengakuan Iman Rasuli umat Kristen, yang mengatakan “Yesus menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati, dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut. Pada hari ketiga, bangkit pula dari antara orang mati”. Bagi umat Islam, Yesus berperan sebagai hakim adil pada akhir zaman, dan akan menghancurkan salib-salib dengki, iri hati, dendam, saling benci, dan cemburu, dan keinginan untuk kaya. (Phipps, 280). Selain itu dalam teologi Islam, Yesus juga disebut al-Mahdi yang akan datang di akhir zaman untuk menumpas kejahatan besar dari Dajjal. (Leirvik 2002, 65).
            Al-Quran menyatakan bahwa Allah tentu tidak akan membiarkan para nabi sejati untuk dihancurkan musuh-musuh mereka. Anggapan tentang penghinaan dan siksaan atas Yesus melalui penelanjangan dan kematian di kayu salib, di sebuah tempat umum terkemuka , tidak dapat diterima dalam Islam. Meskipun demikian beberapa pengecualian diakui, karena beberapa nabi secara lalim dibunuh oleh orang yang durhaka kepada Tuhan (QS 3:112), sebagai contoh Yahya, yang dipenggal oleh Herodes (walau hal ini tidak disebutkan dalam Al-Quran, namun kepalanya diklaim disimpan di Masjid Agung Damaskus). (Phipps, 280-281).  
            Dalam Islam, Yesus dipandang sebagai rasul (dan nabi) bagi bani/bangsa Israel saja dan bukan untuk seluruh umat (Surat Ali Imran:49) (walaupun faktanya Yesus ditolak oleh Israel sebagai rasul dan nabi, dan hanya diterima oleh umat Kristen). (Bakry 1989, 18 & 62). Dengan menekankan peranan Yesus sebagai rasul (nabi) bagi Israel, maka bagi Islam, Yesus bukanlah Tuhan sebagaimana yang diakui oleh umat Kristen dan sekaligus juga menolak Yesus sebagai Anak Allah dalam konsep Trinitas Kristen. (Bakry, 79). Yesus sebagai Tuhan dan Anak Allah ditolak, juga konsep Trinitas Kristen ditolak oleh Islam, karena menurut umat Islam tidak sesuai dengan Tauhid atau Monoteisme Islam, dan menurut Islam konsep tersebut adalah konsep Politeisme dan berarti syirik atau menyekutukan Allah dengan zat atau makhluk atau hal lain di luar diriNya. (Bakry, 115). Demikianlah sudut pandang umat Islam mengenai Yesus (Isa) yang sering menjadi pokok pertikaian dengan umat Kristen.

Sikap terbaik dalam menyikapi perbedaan perspektif masing-masing agama
            Telah dipaparkan di atas peranan Muhammad sebagai rasul dan nabi dalam perspektif Islam serta peranan Yesus sebagai Imam, Nabi dan Raja (selain sebagai Tuhan dan Anak Allah dalam konteks Allah Trinitas yang sudah saya bahas secara tidak langsung karena tidak dalam satu sub topik tersendiri dalam karya tulis ini sebab pembatasan pembahasan karya tulis ini pada aspek Yesus sebagai manusia agar dapat disandingkan dengan Muhammad sebagai manusia) dalam perspektif Kristen. Selain itu juga telah dipaparkan pandangan Islam terhadap ketuhanan Yesus dan juga pandangan Kristen terhadap kenabian Muhammad. Menurut saya perbedaan doktrin tersebutlah yang menjadi dasar pertentangan atau konflik diantara kedua agama tersebut. Umat Kristen tidak bisa menerima Muhammad sebagai nabi sementara umat Islam juga tidak bisa menerima Yesus sebagai Tuhan.
            Secara konseptual kedua agama (Kristen dan Islam) meyakini bahwa Allah mewahyukan pesanNya, ajaranNya, perintah dan laranganNya kepada umatNya. Perbedaannya hanya pada caraNya dalam mewahyukan pesan kepada umatNya. Umat Islam mempertahankan jarak antara yang ilahi dengan yang profan, sehingga wahyu diberitakan Allah melalui para nabi, khususnya dan utamanya Muhammad. Sementara umat Kristen meyakini bahwa Allah sendiri berinkarnasi, sehingga jarak antara yang ilahi dengan yang profan hilang dan yang ilahi terlibat secara tuntas dalam menyampaikan pesan itu sendiri. (Leirvik, 385).
            Dengan konsep wahyu tersebut maka memang menjadi sulit membandingkan Yesus dengan Muhammad. Dalam Kristen, Yesus adalah wahyu itu sendiri yang menjelma menjadi manusia. Sementara itu, dalam Islam, Muhammad SAW adalah manusia biasa yang mendapat wahyu Allah yakni Al-Quran. Oleh Karena itu, Wilfred Cantwell Smith, menempatkan Yesus setara dengan Al-Quran. Konsekuensinya maka bagi umat Islam Al-Quran lah yang bersifat qadim/kekal, sementara bagi umat Kristen, Yesus lah yang diyakini bersifat kekal. (Phipps, 2).
            Dalam dialog antar umat beragama, setiap peserta dituntut untuk memahami mitra dialognya sehingga tercipta interaksi yang positif. Willem Bijlefeld, pakar dialog Islam-Kristen, menyatakan bahwa ketika mendengar dan memahami mitra dialog setiap peserta dialog hendaknya belajar untuk memperkokoh iman yang dianutnya. Misalnya saya sebagai penganut Kristen maka saya semakin diperkokoh imannya ketika mempelajari teks-teks Al-Quran yang berbicara tentang kemuliaan Yesus. Begitu juga sebaliknya, ketika umat Islam mempelajari Isa maka semakin menjadikan Isa sebagai role model atau teladan (karena termasuk lima nabi/rasul utama) selain tentunya dan utamanya Muhammad. (Phipps, 2-3).
            Saran penulis kepada umat Kristen sebagaimana Pdt. Prof. J.S. Aritonang dalam bukunya Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia adalah kita tidak bisa lagi mempertahankan kebanggaan semu extra ecclesiam nulla salus, diluar gereja tidak ada keselamatan. Syndrom anak tunggal sebagai umat satu-satunya yang selamat harus kita tinggalkan. Tugas kita adalah memberitakan Injil keselamatan itu, bukan mengkristenkan orang lain. Pemberitaan Injil dilakukan lewat perbuatan, perkataan dan pemikiran yang membangun kesejahteraan bersama. Selain itu umat Kristen seharusnya tidak lagi arogan dan eksklusif dalam berinteraksi dengan umat Islam. (Aritonang 2015, 606).
            Sementara itu untuk umat Islam, penulis juga mengutip saran dari Pdt. Prof. J.S. Aritonang yang menyarankan agar umat Islam tidak lagi mengedepankan wacana tentang negara Islam atau negara berdasarkan Islam karena hal itu bisa jadi memicu umat Kristen untuk menambah jumlah umat termasuk dengan cara-cara yang menurut umat Islam menyinggung perasaan mereka. Demikian pula kiranya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan agar kiranya umat Islam mempertimbangkan pandangan umat Kristen karena Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan agama tertentu sehingga mencegah timbulnya kesan diskriminasi hukum. (Aritonang 2015, 614).
            Dalam dialog kita juga harus menyadari bahwa tidak mungkin seorang penganut Kristen mengakui Muhammad sebagai nabi karena pengakuan semacam itu akan meruntuhkan fondasi ajaran Kristen yang dianutnya. Demikian pula kita juga tidak mungkin mengharapkan seorang penganut Islam untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan karena pengakuan semacam itu akan meruntuhkan fondasi ajaran Islam yang dianutnya. Meskipun demikian ada baiknya sebagai umat beragama untuk saling mempelajari agama lain karena bila kita tidak mengenal dan memahami maka akan ada kecenderungan untuk memusuhi agama lain sebagaimana pepatah “Manusia cenderung memusuhi (tidak bersimpati) terhadap sesuatu yang tidak dikenalnya”. (Phipps, 3-4).
Mengenal agama lain bisa dimulai dengan berteman dan menjalin relasi yang positif dengan orang yang beragama lain, dalam konteks ini orang yang beragama Islam. Selain itu bisa juga dengan membaca literatur-literatur yang terkait dengan agama Islam. Bila kita tidak mengerti ajaran agama Islam maka kita bisa bertanya kepada orang lain yang kita anggap ahli dalam agama Islam. Demikian pula sebaliknya, bila umat Islam ingin mengenal agama Kristen bisa dengan menjalin relasi positif dengan orang yang beragama Kristen dan mempelajari literatur Kristen. Bila kita tidak mengerti, kita bisa bertanya kepada orang lain yang dianggap ahli dalam agama Kristen.

Refleksi
            Secara pribadi saya tidak merasa asing dengan agama Islam karena keluarga besar dari pihak ibu saya, beberapa di antara mereka beragama Islam. Ketika Lebaran kami mengunjungi mereka dan ketika Natal mereka mengunjungi kami. Hanya saja dalam interaksi-interaksi tersebut saya jarang bahkan tidak pernah menanyakan konsep-konsep Islam dalam pandangan mereka. Saya tertarik dengan Islam justru ketika membaca buku Olaf Schumann, Agama-agama : Kekerasan dan perdamaian. Buku tersebut membuat saya menjadi tertarik karena sebenarnya konflik yang ada di antara kedua agama sering terjadi karena kepentingan politik meskipun memang secara doktrin kedua agama tersebut berbeda. Oleh karena aspek politik sudah dibahas maka saya tertarik untuk membahas aspek doktrin mengenai kedua tokoh utama agama tersebut.
            Saya tertarik membahas Yesus dan Muhammad karena menurut saya pada konsep mengenai kedua tokoh inilah terletak perbedaan doktrin yang mendasar di antara kedua agama. Perbedaan doktrin tersebut berimbas kepada pertentangan dalam aspek praktis penyembahan Allah pada kedua agama. Kalau Yesus disembah sebagai Tuhan dalam konsep Trinitas dalam Kristen maka Muhammad istimewa sebagai rasul Allah dalam Islam karena Al-Quran dan konsep Tauhidnya.
            Melalui pembuatan karya tulis ini, saya sendiri merasakan manfaatnya karena menjadi betul-betul mengerti perbedaan dan juga persamaan (walau tidak secara spesifik dibahas dalam karya tulis karena pembatasan masalah pada perbedaannya dan bukan persamaan) Yesus dengan Muhammad. Kali lain mungkin saya tertarik untuk membahas perbedaan dan persamaan konsep Tauhid dalam Islam dan konsep Trinitas dalam Islam. Kedua konsep tersebut menurut saya juga seringkali menjadi pokok konflik pertentangan dalam ranah doktrin masing-masing agama sehingga perlu menyikapinya dengan bijak bagi masing-masing agama.

Daftar Acuan

Ambrie, Hamran. 1970. Tidak ada nubuat kenabian Muhammad dalam Alkitab. Jakarta :
PBK Sinar Kasih.
Aritonang, Pdt. Prof. Dr. Jan Sihar. 2015. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia.Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Bakry, Prof. DR. KH. Hasbullah. 1989. Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible
            Jakarta :Pustaka Al-Hidayah.
Leirvik, Odbjorn. 2002. Yesus dalam Literatur Islam. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
Phipps, William E. 1996. Muhammad and Jesus : A Comparison of the Prophets and
Their Teachings. New York : The Continuum Publishing Company.
Schumann, Olaf Herbert. 2011. Agama-Agama : Kekerasan dan Perdamaian. 
            Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar