Rabu, 25 Mei 2016



“MANUSIA BARU” MENURUT SURAT EFESUS

(EFESUS 4:17-32)

Pengantar

            Sesuatu benda atau hal yang baru bagi beberapa orang biasanya lebih disukai dibandingkan dengan benda atau hal yang lama. Baju, sepatu, ponsel, rekan kerja, pekerjaan yang baru, biasanya lebih disukai ketika kita sudah bosan dengan yang lama. Selain karena bosan, mungkin barang atau benda tersebut sudah rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi, sehingga kita harus menggantinya dengan hal atau benda yang baru.
            Namun demikian, sebagian orang enggan untuk mengganti sesuatu hal atau benda yang lama dengan hal atau benda yang baru. Biasanya hal itu disebabkan oleh faktor takut kehilangan rasa nyaman. Mereka yang bersikap demikian merasa sudah nyaman terhadap hal atau benda yang lama sehingga enggan untuk menukar kenyamanan tersebut dengan ketidaknyamanan yang terjadi ketika mereka mengganti hal yang lama dengan yang baru. Rasa enggan juga disebabkan oleh rasa malas mereka untuk mempelajari segala sesuatu terkait dengan hal atau benda yang baru. Beberapa orang enggan untuk mengganti baju, sepatu, ponsel, rekan kerja, dan pekerjaan lama biasanya karena malas pula untuk mempelajari dan mengenal lebih dekat hal-hal yang terkait dengan sesuatu yang baru tersebut.
            Demikian pula, ketika konsep lahir kembali, lahir baru dan menjadi “manusia baru” dikaitkan dengan konsep alasan seseorang menerima atau menolak hal baru atau benda baru. Seseorang yang bosan dengan keadaan “manusia lama” maka ia akan berusaha untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang merasa bahwa “manusia lama” sudah rusak, usang, tidak dapat diandalkan maka ia akan berusaha untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang sudah merasa enak dan nyaman dengan “manusia lama” tidak merasa perlu untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang malas mempelajari segala sesuatu terkait “manusia baru” enggan untuk mengganti “manusia lama” menjadi “manusia baru”.
Sebagai umat Kristen, yang adalah pengikut Kristus, maka kita harus melaksanakan perintah Kristus. Salah satu perintah Kristus adalah agar kita lahir kembali, lahir baru di dalam roh dan menjadi “manusia baru” agar kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Hal itu terdapat dalam perikop percakapan Yesus dengan Nikodemus, sebagaimana terdapat dalam Yohanes 3:1—21. Yesus sendiri menjawab pertanyaan Nikodemus pada Yohanes 3:3 “Aku, berkata kepadamu, sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah”. Lebih lanjut dalam Yohanes 3:5—7 Yesus mengatakan bahwa “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali”.
            Berdasarkan perintah tersebut maka jelaslah bahwa sebagai pengikut Kristus kita harus lahir kembali, lahir baru dan menjadi “manusia baru”. Perihal tema “manusia baru” sudah diungkapkan oleh Rasul Paulus secara jelas dalam perikop mengenai “manusia baru” yang terdapat dalam Efesus 4:17—32. Supaya dapat menjadi “manusia baru” maka kita perlu mempelajari dan menggali lebih dalam mengenai maksud Paulus dalam perikop “manusia baru” sebagaimana yang tercatat di dalam Efesus.
           
Latar Belakang Pokok Tulisan

Sebagai pengikut Kristus maka lahir baru, lahir kembali dan menjadi “manusia baru” amat penting bukan karena kita bosan terhadap “manusia lama” kita namun karena “manusia lama” kita telah rusak, usang dan penuh dosa. Seringkali rasa enggan kita untuk menjadi “manusia baru” disebabkan karena kita sudah nyaman terhadap “manusia lama” dan enggan serta malas untuk mempelajari hal-hal terkait “manusia baru”. Makalah ini ditulis dalam rangka mempelajari hal-hal terkait “manusia baru” agar kita dapat keluar dari zona nyaman kita sebagai “manusia lama” dan mengubah diri menjadi “manusia baru” agar serupa dengan Kristus. Perikop yang membahas mengenai “manusia baru” terdapat dalam Efesus 4:17—32. Namun demikian, kita perlu membahas terlebih dahulu latar belakang surat Efesus ini ditulis dan pokok teologisnya untuk dapat melihat secara kesatuan utuh terkait dengan maksud Paulus mengenai “manusia baru” dalam perikop yang terdapat di Efesus, sebab hal tersebut saling berkaitan.
Surat Efesus ditulis untuk jemaat di Efesus. Lokasi tepat kota Efesus tidak diketahui persis namun diperkirakan berada di wilayah Asia Kecil, lokasi yang sama yang diperkirakan terdapat juga jemaat Kolose. Surat Efesus diperkirakan ditulis sekitar tahun 80-90 M. Surat Efesus memakai Kolose sebagai literatur sumber (Schnelle 1998, 301—303).
Surat Efesus merupakan surat yang dipandang ditulis oleh Rasul Paulus, walaupun kemudian pada pertengahan abad ke-18 timbul keraguan bahwa surat ini ditulis oleh Paulus. Keraguan timbul karena dari segi bahasa timbul sejumlah kata-kata yang biasanya digunakan oleh Paulus tetapi tidak ada dalam Surat Efesus, seperti enotes (kesatuan Ef. 4:3,13), kosmokator (kekuatan alam, Ef. 6:12), mesotoikon (tembok pemisah, Ef. 2:14). Keraguan juga timbul ketika daftar jabatan gereja di dalam Efesus 4:11—12 menggambarkan struktur gereja yang telah berubah dibanding dengan gereja pada masa Paulus. Teologi Surat Efesus juga berbeda dalam beberapa pokok tentang teologi Paulus, seperti pada eskatologi, ekklesiologi, kerasulan, dasar gereja dan berhubungan erat dengan Surat Kolose. Maka berdasarkan hal-hal tersebut para ahli tafsir Perjanjian Baru berpendapat bahwa Surat ini adalah karya penerus (murid) Paulus (Hakh 2010, 224—226).
            Surat Efesus ditulis oleh penerus (murid) Paulus dan tidak dipandang sebagai tulisan yang berbentuk penipuan. Tulisan ini tetap mendapat wibawa dalam jemaat, dan tidak dipandang sebagai bentuk penipuan oleh karena pada waktu lalu, pada masa itu, penulis dapat menggunakan nama orang terkenal, atau gurunya sebagai penulis dari hasil karyanya karena mereka berpendirian bahwa mereka bertindak sebagai penerus tradisi, mereka masih berdiri di atas tradisi tersebut. Maka Surat Efesus tetap dipakai dalam jemaat dan memiliki wibawa dalam jemaat. Dari hal tersebut maka tulisan itu dipandang sebagai tradisi yang berasal dari Paulus (Hakh 2010, 227).
Kita perlu melihat pokok-pokok teologis yang terkait dengan surat Efesus karena pokok teologis berkaitan erat dengan perikop “manusia baru”. Pokok teologis surat Efesus yang pertama adalah mengenai gereja yang esa, gereja yang melampaui segala batas suku, ras dan sebagainya. Pokok teologis surat Efesus yang kedua adalah mengenai kesatuan Yahudi dan non-Yahudi sebagai umat baru oleh Kristus. Pada pokok teologis itulah Paulus menekankan status baru di dalam Kristus, karena Kristus telah menghapuskan tembok batas antara Yahudi dan non-Yahudi dan telah membentuk suatu umat baru atau “manusia baru”. Selain itu dalam pokok teologis yang ketiga surat Efesus menekankan bahwa gereja masih harus terus berjuang menyongsong masa depan yang penuh kemenangan yang telah dijamin oleh Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Hakh 2010, 231—236).
Persoalan penting yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai konsep “manusia baru” yang dimaksud Paulus dalam surat Efesus. Makalah ini akan membahas hal-hal yang terkait dengan “manusia baru”, keadaan “manusia lama”, diperbaharui dalam roh dan pikiran,  “manusia baru” dalam Kristus, hal yang harus dibuang agar menjadi “manusia baru”, hal yang harus dilakukan agar menjadi “manusia baru”, dan hal penting lainnya yang terkait dengan perikop “manusia baru” dalam Efesus 4:17—32 serta refleksi dan penutup.
Uraian Teologis

Sejarah penyelamatan manusia oleh Allah melalui Putra-Nya Yesus Kristus dalam peristiwa kelahiran, kematian, kebangkitan, kenaikan dan penantian akan kedatangannya yang kedua kali pada intinya berfokus kepada kehendak Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Proses tersebut jika ditinjau lebih jauh tidak terlepas dari inisiatif Allah untuk memulihkan hubungan manusia dengan penciptanya yaitu Allah sendiri. Dalam pengajarannya Yesus berkali-kali menegaskan agar kehendak Bapa sajalah yang terjadi dan yang diterapkan di dunia ini, sebagaimana dapat kita lihat dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan olehnya, “Jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga”.
Demikian pula yang terlihat dalam doa Yesus di Taman Getsemani ketika ia berdoa agar cawan penderitaan boleh lepas dan berlalu dari dirinya. Pada akhirnya Yesus memasrahkan dirinya kepada kehendak Bapa dengan mengatakan “tetapi janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki”. Dosa terjadi ketika manusia melakukan perbuatan yang seturut kehendaknya sendiri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kesatuan antara kehendak Allah baik di surga maupun di bumi yang dihadirkan oleh manusia sangat ditekankan Yesus, karena dengan demikian ketika manusia menghadirkan kehendak Allah di dunia maka secara nyata kerajaan Allah terwujud di bumi. Manusia dengan pola pikir memikirkan kehendak Allah dan mewujudkannya di dunia adalah “manusia baru”.
“Manusia baru” bukan berarti baru secara fisik, sebab seiring waktu manusia pasti bertambah tua, secara fisik melemah dan mustahil untuk lahir kembali, masuk ke dalam rahim ibu dan lahir baru menjadi “manusia baru”. “Manusia baru” yang dimaksud bukanlah hanya dalam tindakannya yang baru, menjadi baik, saleh dan tidak lagi berbuat jahat. “Manusia baru” lebih daripada sekedar tidak berbuat jahat dan lebih dari sekedar hal-hal yang tampak dalam perbuatan manusia yang terlihat baik.
“Manusia baru” dalam konteks Paulus hanya dapat terjadi ketika seseorang tidak lagi hidup sama seperti orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia (Efesus 4:17). Mengenal Allah berarti mengenal Yesus sebagai Putra-Nya dan menjadi “manusia baru” berarti menjadi “manusia baru” di dalam Kristus. Dengan menyatunya manusia dengan Kristus dalam sebuah relasi yang erat maka manusia diangkat dari keegoisan dan hal-hal yang hanya berpusat kepada diri sendiri. Hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah dan juga perselisihan dan hubungan yang rusak antara manusia dengan sesamanya yang lain dapat diselesaikan dan diperdamaikan di dalam Kristus, sang juru damai (Mackay 1953, 124—125).
            Manusia semula makhluk yang dihukum, dan dimurkai oleh Allah, anggota komunitas yang terasing dan tidak terhubung dengan Allah, namun dalam Kristus manusia menjadi “anak-anak Allah”, di dalam anggota komunitas yang disebut gereja. Hal itu berarti penyesuaian total dalam kehidupan manusia dari yang semula hanya untuk memenuhi tujuan pribadi menjadi manusia yang memenuhi tujuan Allah dalam kehidupannya (Mackay 1953, 124).
           
Keadaan “Manusia Lama”

            Sebelum menelaah “manusia baru” kita perlu menelaah keadaan “manusia lama”. Berdasarkan Efesus 4:17—19 “manusia lama” adalah mereka yang tidak mengenal Allah yang pikirannya sia-sia, pengertiannya gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, kebodohan ada di dalam mereka karena kedegilan hati (Yunani: porosis yang berasal dari kata poros yang secara harafiah berarti batu yang lebih keras dari marmer, yang berarti hati mereka begitu keras sehingga tidak ada kekuatan apapun yang dapat membuat hati mereka dapat merasakan sebuah perasaan lagi), perasaan mereka telah tumpul sehingga menyerahkan diri kepada hawa nafsu, dan serakah dalam mengerjakan kecemaran (Barclay 1976, 152).
            Berdasarkan penjelasan dari Efesus maka menjadi jelas bahwa “manusia lama” berada dalam keadaan yang tidak mengenal Allah. Namun demikian syukur kepada Kristus karena dalam surat Efesus diberikan sebuah cara untuk menjadi “manusia baru”. Rahasia untuk menjadi “manusia baru” ada di dalam proses untuk belajar mengenal Kristus (Efesus 4:20). Manusia yang telah mendengar tentang Yesus dan menerima pengajaran Yesus harus menanggalkan “manusia lama” dan dibaharui di dalam roh dan pikirannya dan mengenakan “manusia baru” yang telah diciptakan menurut kehendak Allah dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:21-24).



Dibaharui di dalam Roh dan Pikiran
           
“Manusia lama” (Yunani: palaios antropos) dibaharui di dalam roh dan pikiran sehingga menjadi “manusia baru” (Yunani: kainos antropos). Hal tersebut tercantum dalam Efesus 4:23 yaitu “supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu”. Secara jelas penulis surat Efesus mengatakan bahwa “manusia baru” bukanlah baru dalam wujud fisik yang berubah menjadi bayi kembali dan memulai segala sesuatu dari nol. Tentu saja secara manusiawi fisik pasti menua dan menurun kualitasnya sehingga tidak mungkin kita melawan kodrat dan memaksa masuk kembali ke dalam rahim ibu untuk lahir kembali menjadi “manusia baru”. “Manusia baru” yang dimaksud bukanlah manusia yang melawan kodrat alam.
            Baru berarti tidak lama, sekaligus bukanlah suatu keadaan rekondisi, sebuah usaha untuk memperbaiki atau mengembalikan fungsi sesuatu barang ke fungsinya yang semula. “Manusia baru” bukanlah manusia rekondisi, melainkan manusia yang tidak lagi sama dengan keadaan semula. “Manusia baru” diperbaharui dalam roh dan pikiran. Roh dan pikiran “manusia lama” dapat diperbaharui di dalam Kristus agar menjadi “manusia baru”. 
            Lantas timbul pertanyaan mengapa penulis Efesus menekankan pentingnya diperbaharui dari roh dan pikiran? Ternyata roh dan pikiran adalah sesuatu yang ada di dalam diri manusia. Roh yang baru yang berasal dari Allah dan pikiran yang baru yang senantiasa memikirkan kehendak Allah adalah titik awal dan fondasi dari seorang manusia yang telah lahir kembali menjadi “manusia baru”. Perubahan yang sejati berasal dari dalam, dari yang esensial menuju kepada yang eksistensial, bukan dari eksistensial menuju kepada yang esensial. Dengan kata lain perubahan sejati harus datang dari dalam diri manusia, roh dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah adalah fondasi yang akan menggerakkan kepada perbuatan yang benar, yang seturut kehendak Allah (Mackay 1953, 128).
            Lantas apakah pembaharuan hanya pada aspek roh dan pikiran dan pembaharuan tidak mencakup perbuatan?Apakah perbuatan tidak penting? Penting. Sesungguhnya yang ingin penulis Efesus katakan adalah bahwa ketika seseorang telah diajarkan mengenai Kristus dan mengenal Kristus maka perubahan radikal yang terjadi dalam roh, pikiran dan sikap hidup, cara hidup adalah sebuah keharusan, sebuah perubahan yang komplet (Hendriksen 1967, 213).
“Manusia Baru” di dalam Kristus

            Berdasarkan Efesus 4:20 maka manusia dapat menjadi “manusia baru” (Yunani: kainos antropos) ketika ia belajar mengenal Kristus. Belajar mengenal Kristus berarti memiliki relasi yang intim dengan Kristus. Berada di dalam relasi yang intim di dalam Kristus lebih luas dibandingkan dengan sekedar berada di dalam gereja. Memang gereja adalah tubuh Kristus di dunia, namun relasi manusia di dalam Kristus lebih besar dibandingkan dengan gereja. Hal itu karena Kristus sendiri lebih besar dari gereja. Gereja memang adalah realitas yang tampak dari Kristus di dunia dan pemenuhan spiritualitas akan realitas Allah yang penuh dalam Kristus yang terlihat di dunia, tetapi gereja tidak dapat melepaskan diri dari Kristus dan juga tidak dapat membatasi Kristus dan karya-Nya (Mackay 1953, 125—126).
Spiritualitas manusia berelasi dengan gereja karena gereja berada di dalam Kristus, ketika gereja tidak lagi berada di dalam Kristus (ketika gereja tidak lagi memperhatikan bahkan mengabaikan relasi gereja dengan Kristus) maka spiritualitas manusia harus tetap berada dan terjalin dalam Kristus. Bukan berarti gereja tidak penting hanya saja, ketika gereja tidak lagi menjalin relasi yang intim dan intens dengan Kristus justru di saat itulah kita sebagai individu harus terus senantiasa intens dengan Yesus agar tetap menjadi “manusia baru”. Manusia yang berada dalam Kristus berarti berubah dan dibaharui secara spiritual. Mereka yang telah berada di dalam Kristus bukan hanya secara status  baru namun juga mereka membiarkan diri mereka dimiliki dan membuka diri untuk mempelajari dan mengetahui Kristus (Mackay 1953, 126—127).        
            Mengenakan “manusia baru” berarti juga menanggalkan “manusia lama”. Keduanya sama pentingnya. Dalam beragama seringkali beberapa orang menekankan hanya kepada larangan “jangan” dan melupakan perintah yang harus kita “lakukan”. Keduanya adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dan sebuah titik aktivitas yang simultan, berbarengan. Mereka yang mengatakan “Ya” kepada Yesus Kristus  otomatis mengatakan “Tidak” kepada Setan (Hendriksen 1967, 213).
            Maka dalam Efesus 4:22-24 kita menjadi mengerti bahwa satu-satunya cara manusia sukses secara progresif dalam meninggalkan “manusia lama” dan mengenakan “manusia baru” adalah dibaharui dalam roh dan pikiran. Pembaharuan ini berdasarkan Roh dari Allah yang membaharui roh manusia, pikiran dan sikap juga perbuatan yang sesuai kehendak Allah dalam Yesus Kristus (Hendriksen 1967, 215).
            Maka ketika seseorang berada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama telah berlalu dan yang baru telah datang (2 Korintus 5:17). Koinonia atau persekutuan dalam Kristus menghasilkan sebuah perubahan sebagaimana yang disebutkan Paulus dalam 2 Korintus 5:17. “Manusia lama” telah berlalu dan “manusia baru” telah datang. Pengalaman persekutuan dengan Kristus, tidak bisa tidak harus menghasilkan perubahan dalam kehidupan (Raines 1961, 88—89).

Hal-hal yang Harus Dibuang dari Kehidupan Manusia agar Menjadi “Manusia Baru”

            Setelah diperbaharui dalam roh dan pikiran dan memiliki roh yang berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah di dalam persekutuan dengan Kristus maka agar menjadi “manusia baru” manusia harus menanggalkan “manusia lama”. Dalam Efesus 4:25—31 dijelaskan hal-hal yang harus ditinggalkan agar dapat menjadi “manusia baru”. Paulus menjelaskan bahwa ketika menjadi Kristen, manusia harus menanggalkan kehidupan lamanya dan berikut petunjuk penulis Efesus mengenai hal-hal yang harus ditanggalkan dalam kehidupan Kristen.
Membuang dusta dan berkata benar seorang kepada yang lain. Kebohongan yang diucapkan yaitu berkata-kata tidak jujur dan kebohongan yang tidak diucapkan yaitu tidak memberikan peringatan atau teguran ketika seharusnya memberikan teguran atau peringatan. Kita harus berkata jujur satu sama lain, karena kita adalah satu tubuh dan kita menjadi aman dan selamat ketika kita menyampaikan pesan dan maksud yang benar, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain (Barclay 1976, 154—160).
Apabila marah, jangan sampai berbuat dosa dan memendam amarah sampai matahari terbenam dan jangan beri kesempatan kepada iblis. Ketika kita harus marah maka marahlah karena ada dosa yang terjadi, ada ketidakadilan yang terjadi seperti ketika Yesus marah kepada orang Farisi dan ahli taurat yang karena kekakuan ortodoksi mereka menyebabkan orang lain menderita hal yang tidak perlu (Markus 3:5; Yohanes 2:13-17). Jangan marah lalu lantas karena marah menjadi membunuh, mencuri dan berbuat dosa. Jangan marah berkepanjangan hingga matahari terbenam tetapi redakanlah amarah kita agar ada waktu untuk pengampunan (Barclay 1976, 154—160).
Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi tetapi ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri agar dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan. Pada masa dulu nasehat ini sangat penting karena pencurian merajalela. Penulis Efesus mengatakan ide baru, yaitu bekerjalah supaya bisa membagikan sesuatu kepad mereka yang kekurangan dan bukan bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri (Barclay 1976, 154—160).
Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulut, melainkan gunakanlah perkataan yang membangun supaya mereka yang mendengar beroleh kasih karunia. Umat Kristen harus dikenal dari karakter mereka yang menggunakan perkataan untuk membangun dan bukan menjatuhkan, bukan melebih-lebihkan namun membangun (Barclay 1976, 154—160).
Jangan mendukakan Roh Kudus Allah, karena Roh Allah adalah penuntun dalam kehidupan. Ketika kita bertindak berlawanan dengan petunjuk dan tuntunan Roh Kudus maka kita melukai hati Allah, yang mengirimkan Roh Allah untuk menuntun kita (Barclay 1976, 154—160).
Segala kepahitan (Yunani: pikria) , kegeraman (Yunani: thumos), kemarahan (Yunani: orge), pertikaian (Yunani: krauge), dan fitnah (Yunani: blasphemia) hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.  (Barclay 1976, 154—160). Kepahitan adalah suatu keadaan dimana roh manusia menolak untuk diperdamaikan. Kepahitan tidak boleh ada agar dapat mengampuni dan diampuni. Kegeraman diartikan sebagai keadaan yang cepat marah namun juga cepat surut, sehingga menjadi mudah dihasut. Kemarahan diartikan sebagai keadaan marah yang telah menjadi kebiasaan dan berlangsung lama, jangka panjang. Pertikaian diartikan sebagai nada bicara yang naik dan berteriak ketika bertikai dan beradu pendapat, berselisih pendapat. Fitnah diartikan sebagai kata-kata yang menyerang dan tidak sesuai dengan fakta, yang timbul dari berburuk sangka terhadap seseorang. Semuanya harus ditinggalkan oleh “manusia baru” (Yunani: kainos antropos). 
Demikianlah penjelasan mengenai hal-hal yang harus dibuang dan ditanggalkan dalam “manusia lama” agar menjadi “manusia baru” (Barclay 1976, 154—160).
           
Hal-Hal yang Harus Dilakukan oleh “Manusia Baru”

Pada penutup perikop “manusia baru” dalam Surat Efesus Paulus memberikan sebuah perintah yang harus dilakukan (Efesus 4: 32) selain perintah-perintah yang tidak boleh dilakukan untuk meninggalkan “manusia lama” (Efesus 4: 25—31).  Kalau dalam larangan-larangan tersebut Paulus memberikannya dalam bentuk negasi maka dalam nasehat yang harus dilakukan Paulus memberikannya dalam bentuk narasi positif (Hendriksen 1967, 223).
Pertama, “dan bersikap baiklah satu sama lain, lemah lembut yang berasal dari hati”. Hal itu dapat dibandingkan dan sejalan dengan Kolose 3:12,13 “kenakanlah belas kasihan, kerendahan hati, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran”. Kebaikan adalah semangat yang disampaikan yang memancar dari kebaikan hati. Kebaikan adalah lawan dari kebencian atau keburukan/kejahatan sebagaimana disebutkan dalam Efesus 4:31. Allah sendiri adalah baik dan kita diberikan nasehat agar menjadi seperti Allah dalam hal ini (Roma 2:4; Lukas 6:35). Kebaikan itu ditandai dengan belas kasihan dan perasaan yang mendalam, kerinduan akan kasih sayang yang sangat terasa seperti yang terdapat dalam Yesus Kristus (Hendriksen 1967, 223).
            Kedua, Paulus menambahkan hendaklah kamu saling mengampuni satu dengan yang lain, sebagaimana Allah dalam Yesus Kristus mengampuni kamu. Mengampuni disini berarti  membebaskan, murah hati, sepenuh hati, spontan dan penuh semangat. Terlebih lagi semua penderitaan kita karena kehendak buruk dari orang lain tidak pernah bisa dibandingkan dengan hal yang terjadi pada Yesus, yaitu penderitaan diludahi, difitnah, dimahkotai duri, disalibkan semua karena dosa kita yang ditimpakan kepada Yesus. Namun demikian, Yesus telah memaafkan itu semua, dan dia telah memberikan contoh teladan kepada kita. Kita dimotivasi oleh Yesus untuk berlatih memaafkan dan mengampuni orang lain yang bersalah kepada kita. Mengampuni berarti mengasihi, karena mengampuni berarti manifestasi dari kasih. Kasih adalah motivasi kita mengampuni sebagaimana Kristus yang disalibkan dan mengampuni karena motivasi kasihnya kepada manusia (Hendriksen 1967, 223—224).

Menjadi “Manusia Baru” adalah Sebuah Proses yang Penuh Perjuangan

            Perangkat auto-pilot dalam pesawat terbang modern adalah sebuah perangkat yang canggih, menarik dan memudahkan. Persis ketika tujuan sudah ditetapkan dan di setting dalam perangkat auto-pilot dan perangkat tersebut diaktifkan maka seketika itu juga pilot dapat duduk rileks dan beristirahat karena pesawat pasti tidak akan salah arah dan akan menuju lokasi yang akan dituju (Raines 1961, 47—49).
            Kebanyakan orang Kristen berpikiran persis seperti cara kerja auto-pilot. Mereka berpikir bahwa ketika kita masuk Kristen maka otomatis kita akan menjadi seperti Kristus, berada di dalam Kristus tanpa harus berjuang untuk menjadi “manusia baru”, sempurna dan serupa seperti Kristus. Tidak ada yang otomatis dalam kehidupan Kristen. Ketika kita memutuskan untuk menerima Kristus, setelah itu dalam kehidupan sehari-hari kita akan terus berjuang untuk melawan dosa dan melawan setiap keinginan daging dalam “manusia lama”. Menerima Kristus hanyalah awal dari sebuah perubahan menuju “manusia baru. Berada di dalam persekutuan dengan Kristus berarti kita diharapkan untuk bertumbuh menuju kedewasaan agar menjadi “manusia baru” (Raines 1961, 47—49).
            Menerima Kristus bukanlah hanya sebuah simbol. Menerima Kristus adalah sebuah pengalaman bertumbuh. Membutuhkan proses dan waktu yang panjang untuk bertahan dan bertumbuh di dalam Kristus, bukan hanya dalam waktu semalam lalu dapat begitu saja menjadi “manusia baru”. Koinonia atau persekutuan dalam dan dengan Kristus adalah sebuah proses yang bertumbuh menjadi “manusia baru”. Menerima Kristus membutuhkan kedisiplinan untuk dapat menjadi “manusia baru” (Raines 1961, 47—55).
            Menerima Kristus bukan berarti hanya memikirkan mengenai surga yang akan kita terima di masa mendatang. Paulus memang mengatakan bahwa penderitaan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan kita terima nantinya dalam surga atau Kerajaan Allah. Namun demikian, kita perlu berjuang di dalam dunia ini untuk menghadirkan Kerajaan Allah, dengan demikian kehendak Allah perlu dinyatakan dan diwujudkan juga di dalam dunia sebab doa Bapa Kami sendiri mengatakan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Menghadirkan Kerajaan Allah dan mewujudkan kehendak Allah di dunia bukanlah pekerjaan yang mudah. Berjuang dan berusaha agar dapat menjadi “manusia baru” adalah salah satu bentuk perjuangan yang terkait dengan mewujudkan Kerajaan Allah dan kehendak Allah di dunia (Erickson 1992, 500—501).







Refleksi Teologis

            Agama adalah jalan atau cara hidup. Kita musti menemukan jalan yang benar. Agama dan pemujaan tidak sama. Kita harus membedakan hal-hal yang mematikan kesadaran penuh kita dengan hal-hal yang justru membuat kita sadar. Pemujaan belaka akan membunuh kesadaran sementara agama yang sejati menumbuhkan kesadaran itu (Kagawa 1931, 30).
            Ketika kesadaran muncul secara penuh maka agama sejati datang dari dalam jiwa melalui kekuatan alam dan kekuatan dari Allah. Ketika kesadaran itu hidup maka seluruh hal akan bertransformasi, termasuk kehidupan yang di dalamnya juga terdapat roh dan pikiran (Kagawa 1931, 31).
            Kekristenan memunculkan kesadaran penuh, bahwa keadaan lama, “manusia lama” penuh dengan dosa. Dosa adalah rusaknya hubungan manusia dengan sesama manusia terlebih rusaknya hubungan manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah rusak ketika kehendak Allah tidak dilakukan oleh manusia. Kehendak Allah yang utama yaitu kasih, dan kasih diwujudkan dalam kasih kepada sesama dan kepada Allah.
Yesus Kristus melalui kelahiran, kematian dan kebangkitannya memulihkan hubungan manusia dengan Allah. Umat Kristen, yang adalah pengikut Kristus, di dalam persekutuan dengan Kristus ikut pulih dan diperbaiki relasinya dengan Allah. Relasi tersebut telah pulih namun harus dipertahankan dengan tetap melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya kita memuja Kristus yang telah memulihkan kita.
Pemujaan kita kepada Kristus bukanlah pemujaan belaka dan semu. Pemujaan kita kepada Kristus haruslah menumbuhkan kesadaran penuh. Kesadaran penuh bahwa ketika kita berada di dalam Kristus maka “manusia baru” harus datang dan “manusia lama” harus berlalu demikian dalam 2 Korintus 5:17 dan hal itu bukanlah otomatis namun harus diperjuangkan dan diusahakan.
“Manusia baru” bukan berarti baru secara fisik. “Manusia baru” bukan berarti masuk kembali ke dalam rahim ibu, lalu lahir kembali menjadi bayi. “Manusia baru” adalah manusia yang diperbaharui di dalam roh dan pikiran. “Manusia baru” memiliki roh yang berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah yang akan tercermin dalam perbuatannya yang seturut kehendak Allah. Semua hal ini terdapat dalam Efesus 4:17—32.
            Perubahan dari “manusia lama” menjadi “manusia baru” harus terlebih dahulu terjadi di dalam diri manusia yaitu pada roh dan pikiran, dan bukanlah hanya pada perbuatan. Perbuatan bisa berubah menjadi baik namun bila tidak disertai roh dan pikiran yang sudah berubah maka perbuatan itu akan sia-sia. Perbuatan belaka yang tidak disertai roh dan pikiran yang seturut kehendak Allah hanya akan menghasilkan kemunafikan yaitu hati, roh dan pikiran yang jahat namun mengeluarkan perbuatan yang baik hanya demi dilihat orang lain.
Dalam Efesus 4:17—32 dijelaskan keadaan “manusia lama”, hal-hal yang harus dibuang oleh “manusia baru” dan hal-hal yang harus dilakukan oleh “manusia baru”. Semua hal ini tidak dapat dicapai hanya dalam waktu semalam. “Manusia baru” adalah sebuah proses yang berkesinambungan dan penuh perjuangan dan membutuhkan kedisiplinan. “Manusia baru” adalah manusia yang penuh dengan kasih yang berasal dari Allah dan memancarkannya kepada sesama.
            Sebagai refleksi pribadi, penulis sendiri mengalami perjuangan sebagai umat Kristen. Ketika menerima Kristus dan di sidi pada tahun 2003, semenjak itu sampai sekarang ini begitu banyak pergumulan yang terjadi dan membuat penulis jatuh bangun berjuang untuk menjadi “manusia baru”. Penulis sendiri tidak bisa mengklaim bahwa penulis telah menjadi “manusia baru”. Menurut penulis “manusia baru” bukanlah sebuah keadaan ajeg dan dapat dicapai dan dipertahankan dengan begitu mudah tanpa perjuangan yang berat. Untuk mencapai apalagi mempertahankan amatlah sulit dan susah sehingga membuat penulis berpikir apakah ada manusia yang betul-betul telah menjadi “manusia baru” dan menyamai Kristus? Menurut penulis, manusia tidak akan pernah bisa menyamai Kristus. Kita hanya bisa meneladani dalam perjuangan yang keras agar dapat serupa dengan Kristus. Menjadi “manusia baru” betul-betul membutuhkan perjuangan dan disiplin dan terutama bermula dari roh dan pikiran.

Penutup

            Demikianlah pemaparan dalam makalah ini mengenai “manusia baru”. Umat Kristen harus menjadi “manusia baru” karena Kristus yang telah memerintahkannya. Melalui penjelasan di atas telah jelas bahwa “manusia baru” harus dimulai bukan dari perbuatan namun dari roh dan pikiran yang diperbaharui di dalam persekutuan dengan Kristus dan roh itu berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah yang terpancar dalam perbuatan yang seturut dengan kehendak Allah.
            Menjadi “manusia baru” tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ada hal-hal yang terdapat pada “manusia lama” yang harus dibuang dan hal-hal yang harus dilakukan oleh “manusia baru”. Menjadi “manusia baru” adalah proses berkesinambungan dan perjuangan dan membutuhkan disiplin yang keras agar mencapai tahap tersebut dan mempertahankannya.

Daftar Acuan

Barclay, William. 1976. The letters to the galatians and ephesians (revised edition).
Philadelphia: The Westminster Press.
Erickson, Millard J. (Ed.). 1992. Readings in christian theology volume 3: the new life.
Michigan : Baker Book House.
Hakh, Pdt. Dr. Samuel Benyamin. 2010. Perjanjian baru : sejarah, pengantar dan pokok-
pokok teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi.
Hendriksen, William. 1967. New testament commentary: exposition of ephesians.
Michigan: Baker Book House.
Kagawa, Toyohiko. 1931. New life through god. New York : Fleming H. Revell Company.
Mackay, John A. 1953. God’s order: The ephesian letter and this present time. London:
Nisbet & Co., LTD.
Raines, Robert. A. 1961. New life in the church. New York: Harper & Row Publishers.
Schnelle, Udo. 1998. The history and theology of the new testament writings. London :

SCM Press Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar