“MANUSIA BARU” MENURUT
SURAT EFESUS
(EFESUS 4:17-32)
Pengantar
Sesuatu benda
atau hal yang baru bagi beberapa orang biasanya lebih disukai dibandingkan
dengan benda atau hal yang lama. Baju, sepatu, ponsel, rekan kerja, pekerjaan
yang baru, biasanya lebih disukai ketika kita sudah bosan dengan yang lama. Selain
karena bosan, mungkin barang atau benda tersebut sudah rusak parah dan tidak
bisa diperbaiki lagi, sehingga kita harus menggantinya dengan hal atau benda
yang baru.
Namun demikian, sebagian orang
enggan untuk mengganti sesuatu hal atau benda yang lama dengan hal atau benda yang
baru. Biasanya hal itu disebabkan oleh faktor takut kehilangan rasa nyaman.
Mereka yang bersikap demikian merasa sudah nyaman terhadap hal atau benda yang
lama sehingga enggan untuk menukar kenyamanan tersebut dengan ketidaknyamanan
yang terjadi ketika mereka mengganti hal yang lama dengan yang baru. Rasa
enggan juga disebabkan oleh rasa malas mereka untuk mempelajari segala sesuatu
terkait dengan hal atau benda yang baru. Beberapa orang enggan untuk mengganti
baju, sepatu, ponsel, rekan kerja, dan pekerjaan lama biasanya karena malas
pula untuk mempelajari dan mengenal lebih dekat hal-hal yang terkait dengan
sesuatu yang baru tersebut.
Demikian pula, ketika konsep lahir
kembali, lahir baru dan menjadi “manusia baru” dikaitkan dengan konsep alasan
seseorang menerima atau menolak hal baru atau benda baru. Seseorang yang bosan
dengan keadaan “manusia lama” maka ia akan berusaha untuk menjadi “manusia
baru”. Seseorang yang merasa bahwa “manusia lama” sudah rusak, usang, tidak
dapat diandalkan maka ia akan berusaha untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang
yang sudah merasa enak dan nyaman dengan “manusia lama” tidak merasa perlu
untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang malas mempelajari segala sesuatu
terkait “manusia baru” enggan untuk mengganti “manusia lama” menjadi “manusia
baru”.
Sebagai
umat Kristen, yang adalah pengikut Kristus, maka kita harus melaksanakan
perintah Kristus. Salah satu perintah Kristus adalah agar kita lahir kembali,
lahir baru di dalam roh dan menjadi “manusia baru” agar kita dapat masuk ke
dalam Kerajaan Allah. Hal itu terdapat dalam perikop percakapan Yesus dengan
Nikodemus, sebagaimana terdapat dalam Yohanes 3:1—21. Yesus sendiri menjawab
pertanyaan Nikodemus pada Yohanes 3:3 “Aku, berkata kepadamu, sesungguhnya jika
seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah”. Lebih
lanjut dalam Yohanes 3:5—7 Yesus mengatakan bahwa “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat
masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging,
dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku
berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali”.
Berdasarkan perintah tersebut maka
jelaslah bahwa sebagai pengikut Kristus kita harus lahir kembali, lahir baru
dan menjadi “manusia baru”. Perihal tema “manusia baru” sudah diungkapkan oleh
Rasul Paulus secara jelas dalam perikop mengenai “manusia baru” yang terdapat
dalam Efesus 4:17—32. Supaya dapat menjadi “manusia baru” maka kita perlu
mempelajari dan menggali lebih dalam mengenai maksud Paulus dalam perikop “manusia
baru” sebagaimana yang tercatat di dalam Efesus.
Latar Belakang Pokok
Tulisan
Sebagai
pengikut Kristus maka lahir baru, lahir kembali dan menjadi “manusia baru” amat
penting bukan karena kita bosan terhadap “manusia lama” kita namun karena “manusia
lama” kita telah rusak, usang dan penuh dosa. Seringkali rasa enggan kita untuk
menjadi “manusia baru” disebabkan karena kita sudah nyaman terhadap “manusia
lama” dan enggan serta malas untuk mempelajari hal-hal terkait “manusia baru”.
Makalah ini ditulis dalam rangka mempelajari hal-hal terkait “manusia baru”
agar kita dapat keluar dari zona nyaman kita sebagai “manusia lama” dan mengubah
diri menjadi “manusia baru” agar serupa dengan Kristus. Perikop yang membahas
mengenai “manusia baru” terdapat dalam Efesus 4:17—32. Namun demikian, kita
perlu membahas terlebih dahulu latar belakang surat Efesus ini ditulis dan
pokok teologisnya untuk dapat melihat secara kesatuan utuh terkait dengan
maksud Paulus mengenai “manusia baru” dalam perikop yang terdapat di Efesus,
sebab hal tersebut saling berkaitan.
Surat
Efesus ditulis untuk jemaat di Efesus. Lokasi tepat kota Efesus tidak diketahui
persis namun diperkirakan berada di wilayah Asia Kecil, lokasi yang sama yang diperkirakan
terdapat juga jemaat Kolose. Surat Efesus diperkirakan ditulis sekitar tahun
80-90 M. Surat Efesus memakai Kolose sebagai literatur sumber (Schnelle 1998,
301—303).
Surat
Efesus merupakan surat yang dipandang ditulis oleh Rasul Paulus, walaupun
kemudian pada pertengahan abad ke-18 timbul keraguan bahwa surat ini ditulis
oleh Paulus. Keraguan timbul karena dari segi bahasa timbul sejumlah kata-kata
yang biasanya digunakan oleh Paulus tetapi tidak ada dalam Surat Efesus,
seperti enotes (kesatuan Ef. 4:3,13),
kosmokator (kekuatan alam, Ef. 6:12),
mesotoikon (tembok pemisah, Ef.
2:14). Keraguan juga timbul ketika daftar jabatan gereja di dalam Efesus
4:11—12 menggambarkan struktur gereja yang telah berubah dibanding dengan
gereja pada masa Paulus. Teologi Surat Efesus juga berbeda dalam beberapa pokok
tentang teologi Paulus, seperti pada eskatologi,
ekklesiologi, kerasulan, dasar gereja dan berhubungan erat dengan Surat Kolose.
Maka berdasarkan hal-hal tersebut para ahli tafsir Perjanjian Baru berpendapat
bahwa Surat ini adalah karya penerus (murid) Paulus (Hakh 2010, 224—226).
Surat Efesus ditulis oleh penerus
(murid) Paulus dan tidak dipandang sebagai tulisan yang berbentuk penipuan.
Tulisan ini tetap mendapat wibawa dalam jemaat, dan tidak dipandang sebagai
bentuk penipuan oleh karena pada waktu lalu, pada masa itu, penulis dapat
menggunakan nama orang terkenal, atau gurunya sebagai penulis dari hasil
karyanya karena mereka berpendirian bahwa mereka bertindak sebagai penerus
tradisi, mereka masih berdiri di atas tradisi tersebut. Maka Surat Efesus tetap
dipakai dalam jemaat dan memiliki wibawa dalam jemaat. Dari hal tersebut maka
tulisan itu dipandang sebagai tradisi yang berasal dari Paulus (Hakh 2010,
227).
Kita
perlu melihat pokok-pokok teologis yang terkait dengan surat Efesus karena pokok
teologis berkaitan erat dengan perikop “manusia baru”. Pokok teologis surat
Efesus yang pertama adalah mengenai gereja yang esa, gereja yang melampaui
segala batas suku, ras dan sebagainya. Pokok teologis surat Efesus yang kedua
adalah mengenai kesatuan Yahudi dan non-Yahudi sebagai umat baru oleh Kristus.
Pada pokok teologis itulah Paulus menekankan status baru di dalam Kristus, karena
Kristus telah menghapuskan tembok batas antara Yahudi dan non-Yahudi dan telah
membentuk suatu umat baru atau “manusia baru”. Selain itu dalam pokok teologis
yang ketiga surat Efesus menekankan bahwa gereja masih harus terus berjuang
menyongsong masa depan yang penuh kemenangan yang telah dijamin oleh Kristus
melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Hakh 2010, 231—236).
Persoalan
penting yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai konsep “manusia
baru” yang dimaksud Paulus dalam surat Efesus. Makalah ini akan membahas hal-hal
yang terkait dengan “manusia baru”, keadaan “manusia lama”, diperbaharui dalam
roh dan pikiran, “manusia baru” dalam
Kristus, hal yang harus dibuang agar menjadi “manusia baru”, hal yang harus
dilakukan agar menjadi “manusia baru”, dan hal penting lainnya yang terkait
dengan perikop “manusia baru” dalam Efesus 4:17—32 serta refleksi dan penutup.
Uraian Teologis
Sejarah
penyelamatan manusia oleh Allah melalui Putra-Nya Yesus Kristus dalam peristiwa
kelahiran, kematian, kebangkitan, kenaikan dan penantian akan kedatangannya
yang kedua kali pada intinya berfokus kepada kehendak Allah Bapa untuk
menyelamatkan manusia. Proses tersebut jika ditinjau lebih jauh tidak terlepas
dari inisiatif Allah untuk memulihkan hubungan manusia dengan penciptanya yaitu
Allah sendiri. Dalam pengajarannya Yesus berkali-kali menegaskan agar kehendak
Bapa sajalah yang terjadi dan yang diterapkan di dunia ini, sebagaimana dapat
kita lihat dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan olehnya, “Jadilah kehendakMu di
bumi seperti di surga”.
Demikian
pula yang terlihat dalam doa Yesus di Taman Getsemani ketika ia berdoa agar
cawan penderitaan boleh lepas dan berlalu dari dirinya. Pada akhirnya Yesus
memasrahkan dirinya kepada kehendak Bapa dengan mengatakan “tetapi janganlah
apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki”. Dosa terjadi
ketika manusia melakukan perbuatan yang seturut kehendaknya sendiri yang tidak
sesuai dengan kehendak Allah.
Kesatuan
antara kehendak Allah baik di surga maupun di bumi yang dihadirkan oleh manusia
sangat ditekankan Yesus, karena dengan demikian ketika manusia menghadirkan
kehendak Allah di dunia maka secara nyata kerajaan Allah terwujud di bumi.
Manusia dengan pola pikir memikirkan kehendak Allah dan mewujudkannya di dunia
adalah “manusia baru”.
“Manusia
baru” bukan berarti baru secara fisik, sebab seiring waktu manusia pasti
bertambah tua, secara fisik melemah dan mustahil untuk lahir kembali, masuk ke
dalam rahim ibu dan lahir baru menjadi “manusia baru”. “Manusia baru” yang
dimaksud bukanlah hanya dalam tindakannya yang baru, menjadi baik, saleh dan
tidak lagi berbuat jahat. “Manusia baru” lebih daripada sekedar tidak berbuat
jahat dan lebih dari sekedar hal-hal yang tampak dalam perbuatan manusia yang
terlihat baik.
“Manusia
baru” dalam konteks Paulus hanya dapat terjadi ketika seseorang tidak lagi
hidup sama seperti orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang
sia-sia (Efesus 4:17). Mengenal Allah berarti mengenal Yesus sebagai Putra-Nya
dan menjadi “manusia baru” berarti menjadi “manusia baru” di dalam Kristus.
Dengan menyatunya manusia dengan Kristus dalam sebuah relasi yang erat maka
manusia diangkat dari keegoisan dan hal-hal yang hanya berpusat kepada diri
sendiri. Hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah dan juga perselisihan
dan hubungan yang rusak antara manusia dengan sesamanya yang lain dapat
diselesaikan dan diperdamaikan di dalam Kristus, sang juru damai (Mackay 1953,
124—125).
Manusia semula makhluk yang dihukum,
dan dimurkai oleh Allah, anggota komunitas yang terasing dan tidak terhubung
dengan Allah, namun dalam Kristus manusia menjadi “anak-anak Allah”, di dalam
anggota komunitas yang disebut gereja. Hal itu berarti penyesuaian total dalam
kehidupan manusia dari yang semula hanya untuk memenuhi tujuan pribadi menjadi manusia
yang memenuhi tujuan Allah dalam kehidupannya (Mackay 1953, 124).
Keadaan “Manusia Lama”
Sebelum menelaah “manusia baru” kita
perlu menelaah keadaan “manusia lama”. Berdasarkan Efesus 4:17—19 “manusia lama”
adalah mereka yang tidak mengenal Allah yang pikirannya sia-sia, pengertiannya
gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, kebodohan ada di dalam mereka
karena kedegilan hati (Yunani: porosis
yang berasal dari kata poros yang
secara harafiah berarti batu yang lebih keras dari marmer, yang berarti hati
mereka begitu keras sehingga tidak ada kekuatan apapun yang dapat membuat hati
mereka dapat merasakan sebuah perasaan lagi), perasaan mereka telah tumpul
sehingga menyerahkan diri kepada hawa nafsu, dan serakah dalam mengerjakan
kecemaran (Barclay 1976, 152).
Berdasarkan penjelasan dari Efesus
maka menjadi jelas bahwa “manusia lama” berada dalam keadaan yang tidak
mengenal Allah. Namun demikian syukur kepada Kristus karena dalam surat Efesus
diberikan sebuah cara untuk menjadi “manusia baru”. Rahasia untuk menjadi
“manusia baru” ada di dalam proses untuk belajar mengenal Kristus (Efesus
4:20). Manusia yang telah mendengar tentang Yesus dan menerima pengajaran Yesus
harus menanggalkan “manusia lama” dan dibaharui di dalam roh dan pikirannya dan
mengenakan “manusia baru” yang telah diciptakan menurut kehendak Allah dalam
kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:21-24).
Dibaharui di dalam Roh
dan Pikiran
“Manusia
lama” (Yunani: palaios antropos) dibaharui
di dalam roh dan pikiran sehingga menjadi “manusia baru” (Yunani: kainos antropos). Hal tersebut tercantum
dalam Efesus 4:23 yaitu “supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu”.
Secara jelas penulis surat Efesus mengatakan bahwa “manusia baru” bukanlah baru
dalam wujud fisik yang berubah menjadi bayi kembali dan memulai segala sesuatu
dari nol. Tentu saja secara manusiawi fisik pasti menua dan menurun kualitasnya
sehingga tidak mungkin kita melawan kodrat dan memaksa masuk kembali ke dalam
rahim ibu untuk lahir kembali menjadi “manusia baru”. “Manusia baru” yang
dimaksud bukanlah manusia yang melawan kodrat alam.
Baru berarti tidak lama, sekaligus
bukanlah suatu keadaan rekondisi, sebuah usaha untuk memperbaiki atau
mengembalikan fungsi sesuatu barang ke fungsinya yang semula. “Manusia baru”
bukanlah manusia rekondisi, melainkan manusia yang tidak lagi sama dengan
keadaan semula. “Manusia baru” diperbaharui dalam roh dan pikiran. Roh dan
pikiran “manusia lama” dapat diperbaharui di dalam Kristus agar menjadi
“manusia baru”.
Lantas timbul pertanyaan mengapa
penulis Efesus menekankan pentingnya diperbaharui dari roh dan pikiran?
Ternyata roh dan pikiran adalah sesuatu yang ada di dalam diri manusia. Roh
yang baru yang berasal dari Allah dan pikiran yang baru yang senantiasa
memikirkan kehendak Allah adalah titik awal dan fondasi dari seorang manusia
yang telah lahir kembali menjadi “manusia baru”. Perubahan yang sejati berasal
dari dalam, dari yang esensial menuju kepada yang eksistensial, bukan dari eksistensial
menuju kepada yang esensial. Dengan kata lain perubahan sejati harus datang
dari dalam diri manusia, roh dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan
kehendak Allah adalah fondasi yang akan menggerakkan kepada perbuatan yang
benar, yang seturut kehendak Allah (Mackay 1953, 128).
Lantas apakah pembaharuan hanya pada
aspek roh dan pikiran dan pembaharuan tidak mencakup perbuatan?Apakah perbuatan
tidak penting? Penting. Sesungguhnya yang ingin penulis Efesus katakan adalah
bahwa ketika seseorang telah diajarkan mengenai Kristus dan mengenal Kristus
maka perubahan radikal yang terjadi dalam roh, pikiran dan sikap hidup, cara
hidup adalah sebuah keharusan, sebuah perubahan yang komplet (Hendriksen 1967,
213).
“Manusia Baru” di dalam
Kristus
Berdasarkan Efesus 4:20 maka manusia
dapat menjadi “manusia baru” (Yunani: kainos
antropos) ketika ia belajar mengenal Kristus. Belajar mengenal Kristus
berarti memiliki relasi yang intim dengan Kristus. Berada di dalam relasi yang
intim di dalam Kristus lebih luas dibandingkan dengan sekedar berada di dalam
gereja. Memang gereja adalah tubuh Kristus di dunia, namun relasi manusia di
dalam Kristus lebih besar dibandingkan dengan gereja. Hal itu karena Kristus
sendiri lebih besar dari gereja. Gereja memang adalah realitas yang tampak dari
Kristus di dunia dan pemenuhan spiritualitas akan realitas Allah yang penuh
dalam Kristus yang terlihat di dunia, tetapi gereja tidak dapat melepaskan diri
dari Kristus dan juga tidak dapat membatasi Kristus dan karya-Nya (Mackay 1953,
125—126).
Spiritualitas
manusia berelasi dengan gereja karena gereja berada di dalam Kristus, ketika
gereja tidak lagi berada di dalam Kristus (ketika gereja tidak lagi
memperhatikan bahkan mengabaikan relasi gereja dengan Kristus) maka spiritualitas
manusia harus tetap berada dan terjalin dalam Kristus. Bukan berarti gereja
tidak penting hanya saja, ketika gereja tidak lagi menjalin relasi yang intim
dan intens dengan Kristus justru di saat itulah kita sebagai individu harus
terus senantiasa intens dengan Yesus agar tetap menjadi “manusia baru”. Manusia
yang berada dalam Kristus berarti berubah dan dibaharui secara spiritual.
Mereka yang telah berada di dalam Kristus bukan hanya secara status baru namun juga mereka membiarkan diri mereka
dimiliki dan membuka diri untuk mempelajari dan mengetahui Kristus (Mackay
1953, 126—127).
Mengenakan “manusia baru” berarti
juga menanggalkan “manusia lama”. Keduanya sama pentingnya. Dalam beragama
seringkali beberapa orang menekankan hanya kepada larangan “jangan” dan
melupakan perintah yang harus kita “lakukan”. Keduanya adalah aktivitas yang
tidak dapat dipisahkan dan sebuah titik aktivitas yang simultan, berbarengan.
Mereka yang mengatakan “Ya” kepada Yesus Kristus otomatis mengatakan “Tidak” kepada Setan
(Hendriksen 1967, 213).
Maka dalam Efesus 4:22-24 kita
menjadi mengerti bahwa satu-satunya cara manusia sukses secara progresif dalam
meninggalkan “manusia lama” dan mengenakan “manusia baru” adalah dibaharui
dalam roh dan pikiran. Pembaharuan ini berdasarkan Roh dari Allah yang
membaharui roh manusia, pikiran dan sikap juga perbuatan yang sesuai kehendak
Allah dalam Yesus Kristus (Hendriksen 1967, 215).
Maka ketika
seseorang berada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama telah
berlalu dan yang baru telah datang (2 Korintus 5:17). Koinonia atau persekutuan dalam Kristus menghasilkan sebuah
perubahan sebagaimana yang disebutkan Paulus dalam 2 Korintus 5:17. “Manusia
lama” telah berlalu dan “manusia baru” telah datang. Pengalaman persekutuan dengan
Kristus, tidak bisa tidak harus menghasilkan perubahan dalam kehidupan (Raines
1961, 88—89).
Hal-hal yang Harus Dibuang
dari Kehidupan Manusia agar Menjadi “Manusia Baru”
Setelah diperbaharui dalam roh dan
pikiran dan memiliki roh yang berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa
memikirkan kehendak Allah di dalam persekutuan dengan Kristus maka agar menjadi
“manusia baru” manusia harus menanggalkan “manusia lama”. Dalam Efesus 4:25—31
dijelaskan hal-hal yang harus ditinggalkan agar dapat menjadi “manusia baru”.
Paulus menjelaskan bahwa ketika menjadi Kristen, manusia harus menanggalkan
kehidupan lamanya dan berikut petunjuk penulis Efesus mengenai hal-hal yang
harus ditanggalkan dalam kehidupan Kristen.
Membuang
dusta dan berkata benar seorang kepada yang lain. Kebohongan yang diucapkan
yaitu berkata-kata tidak jujur dan kebohongan yang tidak diucapkan yaitu tidak
memberikan peringatan atau teguran ketika seharusnya memberikan teguran atau
peringatan. Kita harus berkata jujur satu sama lain, karena kita adalah satu
tubuh dan kita menjadi aman dan selamat ketika kita menyampaikan pesan dan
maksud yang benar, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain (Barclay
1976, 154—160).
Apabila
marah, jangan sampai berbuat dosa dan memendam amarah sampai matahari terbenam
dan jangan beri kesempatan kepada iblis. Ketika kita harus marah maka marahlah
karena ada dosa yang terjadi, ada ketidakadilan yang terjadi seperti ketika
Yesus marah kepada orang Farisi dan ahli taurat yang karena kekakuan ortodoksi
mereka menyebabkan orang lain menderita hal yang tidak perlu (Markus 3:5;
Yohanes 2:13-17). Jangan marah lalu lantas karena marah menjadi membunuh,
mencuri dan berbuat dosa. Jangan marah berkepanjangan hingga matahari terbenam
tetapi redakanlah amarah kita agar ada waktu untuk pengampunan (Barclay 1976,
154—160).
Orang
yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi tetapi ia bekerja keras dan melakukan
pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri agar dapat membagikan sesuatu
kepada orang yang berkekurangan. Pada masa dulu nasehat ini sangat penting
karena pencurian merajalela. Penulis Efesus mengatakan ide baru, yaitu
bekerjalah supaya bisa membagikan sesuatu kepad mereka yang kekurangan dan
bukan bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri (Barclay 1976, 154—160).
Jangan
ada perkataan kotor keluar dari mulut, melainkan gunakanlah perkataan yang
membangun supaya mereka yang mendengar beroleh kasih karunia. Umat Kristen
harus dikenal dari karakter mereka yang menggunakan perkataan untuk membangun
dan bukan menjatuhkan, bukan melebih-lebihkan namun membangun (Barclay 1976,
154—160).
Jangan
mendukakan Roh Kudus Allah, karena Roh Allah adalah penuntun dalam kehidupan.
Ketika kita bertindak berlawanan dengan petunjuk dan tuntunan Roh Kudus maka
kita melukai hati Allah, yang mengirimkan Roh Allah untuk menuntun kita
(Barclay 1976, 154—160).
Segala
kepahitan (Yunani: pikria) ,
kegeraman (Yunani: thumos), kemarahan
(Yunani: orge), pertikaian (Yunani: krauge), dan fitnah (Yunani: blasphemia) hendaklah dibuang dari
antara kamu, demikian pula segala kejahatan. (Barclay 1976, 154—160). Kepahitan adalah
suatu keadaan dimana roh manusia menolak untuk diperdamaikan. Kepahitan tidak
boleh ada agar dapat mengampuni dan diampuni. Kegeraman diartikan sebagai
keadaan yang cepat marah namun juga cepat surut, sehingga menjadi mudah
dihasut. Kemarahan diartikan sebagai keadaan marah yang telah menjadi kebiasaan
dan berlangsung lama, jangka panjang. Pertikaian diartikan sebagai nada bicara
yang naik dan berteriak ketika bertikai dan beradu pendapat, berselisih
pendapat. Fitnah diartikan sebagai kata-kata yang menyerang dan tidak sesuai
dengan fakta, yang timbul dari berburuk sangka terhadap seseorang. Semuanya
harus ditinggalkan oleh “manusia baru” (Yunani: kainos antropos).
Demikianlah
penjelasan mengenai hal-hal yang harus dibuang dan ditanggalkan dalam “manusia
lama” agar menjadi “manusia baru” (Barclay 1976, 154—160).
Hal-Hal yang Harus
Dilakukan oleh “Manusia Baru”
Pada
penutup perikop “manusia baru” dalam Surat Efesus Paulus memberikan sebuah
perintah yang harus dilakukan (Efesus 4: 32) selain perintah-perintah yang
tidak boleh dilakukan untuk meninggalkan “manusia lama” (Efesus 4: 25—31). Kalau dalam larangan-larangan tersebut Paulus
memberikannya dalam bentuk negasi maka dalam nasehat yang harus dilakukan
Paulus memberikannya dalam bentuk narasi positif (Hendriksen 1967, 223).
Pertama,
“dan bersikap baiklah satu sama lain, lemah lembut yang berasal dari hati”. Hal
itu dapat dibandingkan dan sejalan dengan Kolose 3:12,13 “kenakanlah belas
kasihan, kerendahan hati, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan
kesabaran”. Kebaikan adalah semangat yang disampaikan yang memancar dari
kebaikan hati. Kebaikan adalah lawan dari kebencian atau keburukan/kejahatan
sebagaimana disebutkan dalam Efesus 4:31. Allah sendiri adalah baik dan kita
diberikan nasehat agar menjadi seperti Allah dalam hal ini (Roma 2:4; Lukas
6:35). Kebaikan itu ditandai dengan belas kasihan dan perasaan yang mendalam,
kerinduan akan kasih sayang yang sangat terasa seperti yang terdapat dalam
Yesus Kristus (Hendriksen 1967, 223).
Kedua, Paulus menambahkan hendaklah
kamu saling mengampuni satu dengan yang lain, sebagaimana Allah dalam Yesus
Kristus mengampuni kamu. Mengampuni disini berarti membebaskan, murah hati, sepenuh hati,
spontan dan penuh semangat. Terlebih lagi semua penderitaan kita karena
kehendak buruk dari orang lain tidak pernah bisa dibandingkan dengan hal yang
terjadi pada Yesus, yaitu penderitaan diludahi, difitnah, dimahkotai duri,
disalibkan semua karena dosa kita yang ditimpakan kepada Yesus. Namun demikian,
Yesus telah memaafkan itu semua, dan dia telah memberikan contoh teladan kepada
kita. Kita dimotivasi oleh Yesus untuk berlatih memaafkan dan mengampuni orang
lain yang bersalah kepada kita. Mengampuni berarti mengasihi, karena mengampuni
berarti manifestasi dari kasih. Kasih adalah motivasi kita mengampuni
sebagaimana Kristus yang disalibkan dan mengampuni karena motivasi kasihnya
kepada manusia (Hendriksen 1967, 223—224).
Menjadi “Manusia Baru”
adalah Sebuah Proses yang Penuh Perjuangan
Perangkat auto-pilot dalam pesawat terbang modern adalah sebuah perangkat
yang canggih, menarik dan memudahkan. Persis ketika tujuan sudah ditetapkan dan
di setting dalam perangkat auto-pilot dan perangkat tersebut
diaktifkan maka seketika itu juga pilot dapat duduk rileks dan beristirahat
karena pesawat pasti tidak akan salah arah dan akan menuju lokasi yang akan
dituju (Raines 1961, 47—49).
Kebanyakan orang Kristen berpikiran
persis seperti cara kerja auto-pilot. Mereka berpikir bahwa ketika kita masuk
Kristen maka otomatis kita akan menjadi seperti Kristus, berada di dalam
Kristus tanpa harus berjuang untuk menjadi “manusia baru”, sempurna dan serupa
seperti Kristus. Tidak ada yang otomatis dalam kehidupan Kristen. Ketika kita
memutuskan untuk menerima Kristus, setelah itu dalam kehidupan sehari-hari kita
akan terus berjuang untuk melawan dosa dan melawan setiap keinginan daging
dalam “manusia lama”. Menerima Kristus hanyalah awal dari sebuah perubahan menuju
“manusia baru. Berada di dalam persekutuan dengan Kristus berarti kita
diharapkan untuk bertumbuh menuju kedewasaan agar menjadi “manusia baru”
(Raines 1961, 47—49).
Menerima Kristus bukanlah hanya
sebuah simbol. Menerima Kristus adalah sebuah pengalaman bertumbuh. Membutuhkan
proses dan waktu yang panjang untuk bertahan dan bertumbuh di dalam Kristus,
bukan hanya dalam waktu semalam lalu dapat begitu saja menjadi “manusia baru”. Koinonia atau persekutuan dalam dan
dengan Kristus adalah sebuah proses yang bertumbuh menjadi “manusia baru”.
Menerima Kristus membutuhkan kedisiplinan untuk dapat menjadi “manusia baru” (Raines
1961, 47—55).
Menerima Kristus bukan berarti hanya
memikirkan mengenai surga yang akan kita terima di masa mendatang. Paulus
memang mengatakan bahwa penderitaan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan
kemuliaan yang akan kita terima nantinya dalam surga atau Kerajaan Allah. Namun
demikian, kita perlu berjuang di dalam dunia ini untuk menghadirkan Kerajaan
Allah, dengan demikian kehendak Allah perlu dinyatakan dan diwujudkan juga di
dalam dunia sebab doa Bapa Kami sendiri mengatakan “jadilah kehendak-Mu di bumi
seperti di surga. Menghadirkan Kerajaan Allah dan mewujudkan kehendak Allah di
dunia bukanlah pekerjaan yang mudah. Berjuang dan berusaha agar dapat menjadi
“manusia baru” adalah salah satu bentuk perjuangan yang terkait dengan
mewujudkan Kerajaan Allah dan kehendak Allah di dunia (Erickson 1992, 500—501).
Refleksi Teologis
Agama adalah jalan atau cara hidup.
Kita musti menemukan jalan yang benar. Agama dan pemujaan tidak sama. Kita
harus membedakan hal-hal yang mematikan kesadaran penuh kita dengan hal-hal yang
justru membuat kita sadar. Pemujaan belaka akan membunuh kesadaran sementara
agama yang sejati menumbuhkan kesadaran itu (Kagawa 1931, 30).
Ketika kesadaran muncul secara penuh
maka agama sejati datang dari dalam jiwa melalui kekuatan alam dan kekuatan
dari Allah. Ketika kesadaran itu hidup maka seluruh hal akan bertransformasi,
termasuk kehidupan yang di dalamnya juga terdapat roh dan pikiran (Kagawa 1931,
31).
Kekristenan memunculkan kesadaran
penuh, bahwa keadaan lama, “manusia lama” penuh dengan dosa. Dosa adalah
rusaknya hubungan manusia dengan sesama manusia terlebih rusaknya hubungan
manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah rusak ketika kehendak Allah
tidak dilakukan oleh manusia. Kehendak Allah yang utama yaitu kasih, dan kasih
diwujudkan dalam kasih kepada sesama dan kepada Allah.
Yesus
Kristus melalui kelahiran, kematian dan kebangkitannya memulihkan hubungan
manusia dengan Allah. Umat Kristen, yang adalah pengikut Kristus, di dalam
persekutuan dengan Kristus ikut pulih dan diperbaiki relasinya dengan Allah.
Relasi tersebut telah pulih namun harus dipertahankan dengan tetap melaksanakan
kehendak Allah dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya kita memuja Kristus
yang telah memulihkan kita.
Pemujaan
kita kepada Kristus bukanlah pemujaan belaka dan semu. Pemujaan kita kepada
Kristus haruslah menumbuhkan kesadaran penuh. Kesadaran penuh bahwa ketika kita
berada di dalam Kristus maka “manusia baru” harus datang dan “manusia lama”
harus berlalu demikian dalam 2 Korintus 5:17 dan hal itu bukanlah otomatis
namun harus diperjuangkan dan diusahakan.
“Manusia
baru” bukan berarti baru secara fisik. “Manusia baru” bukan berarti masuk
kembali ke dalam rahim ibu, lalu lahir kembali menjadi bayi. “Manusia baru”
adalah manusia yang diperbaharui di dalam roh dan pikiran. “Manusia baru”
memiliki roh yang berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak
Allah yang akan tercermin dalam perbuatannya yang seturut kehendak Allah. Semua
hal ini terdapat dalam Efesus 4:17—32.
Perubahan dari
“manusia lama” menjadi “manusia baru” harus terlebih dahulu terjadi di dalam
diri manusia yaitu pada roh dan pikiran, dan bukanlah hanya pada perbuatan.
Perbuatan bisa berubah menjadi baik namun bila tidak disertai roh dan pikiran
yang sudah berubah maka perbuatan itu akan sia-sia. Perbuatan belaka yang tidak
disertai roh dan pikiran yang seturut kehendak Allah hanya akan menghasilkan
kemunafikan yaitu hati, roh dan pikiran yang jahat namun mengeluarkan perbuatan
yang baik hanya demi dilihat orang lain.
Dalam
Efesus 4:17—32 dijelaskan keadaan “manusia lama”, hal-hal yang harus dibuang
oleh “manusia baru” dan hal-hal yang harus dilakukan oleh “manusia baru”. Semua
hal ini tidak dapat dicapai hanya dalam waktu semalam. “Manusia baru” adalah
sebuah proses yang berkesinambungan dan penuh perjuangan dan membutuhkan
kedisiplinan. “Manusia baru” adalah manusia yang penuh dengan kasih yang
berasal dari Allah dan memancarkannya kepada sesama.
Sebagai refleksi
pribadi, penulis sendiri mengalami perjuangan sebagai umat Kristen. Ketika
menerima Kristus dan di sidi pada tahun 2003, semenjak itu sampai sekarang ini
begitu banyak pergumulan yang terjadi dan membuat penulis jatuh bangun berjuang
untuk menjadi “manusia baru”. Penulis sendiri tidak bisa mengklaim bahwa
penulis telah menjadi “manusia baru”. Menurut penulis “manusia baru” bukanlah
sebuah keadaan ajeg dan dapat dicapai dan dipertahankan dengan begitu mudah
tanpa perjuangan yang berat. Untuk mencapai apalagi mempertahankan amatlah
sulit dan susah sehingga membuat penulis berpikir apakah ada manusia yang
betul-betul telah menjadi “manusia baru” dan menyamai Kristus? Menurut penulis,
manusia tidak akan pernah bisa menyamai Kristus. Kita hanya bisa meneladani
dalam perjuangan yang keras agar dapat serupa dengan Kristus. Menjadi “manusia
baru” betul-betul membutuhkan perjuangan dan disiplin dan terutama bermula dari
roh dan pikiran.
Penutup
Demikianlah pemaparan dalam makalah
ini mengenai “manusia baru”. Umat Kristen harus menjadi “manusia baru” karena
Kristus yang telah memerintahkannya. Melalui penjelasan di atas telah jelas
bahwa “manusia baru” harus dimulai bukan dari perbuatan namun dari roh dan
pikiran yang diperbaharui di dalam persekutuan dengan Kristus dan roh itu
berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah yang
terpancar dalam perbuatan yang seturut dengan kehendak Allah.
Menjadi “manusia baru” tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan, ada hal-hal yang terdapat pada “manusia
lama” yang harus dibuang dan hal-hal yang harus dilakukan oleh “manusia baru”.
Menjadi “manusia baru” adalah proses berkesinambungan dan perjuangan dan
membutuhkan disiplin yang keras agar mencapai tahap tersebut dan
mempertahankannya.
Daftar
Acuan
Barclay, William. 1976. The letters to the galatians and ephesians
(revised edition).
Philadelphia:
The Westminster Press.
Erickson, Millard J. (Ed.). 1992. Readings in christian theology volume 3: the
new life.
Michigan : Baker
Book House.
Hakh, Pdt. Dr. Samuel Benyamin.
2010. Perjanjian baru : sejarah, pengantar
dan pokok-
pokok
teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi.
Hendriksen, William. 1967. New testament commentary: exposition of ephesians.
Michigan: Baker
Book House.
Kagawa, Toyohiko. 1931. New life through god. New York : Fleming
H. Revell Company.
Mackay, John A. 1953. God’s order: The ephesian letter and this
present time. London:
Nisbet &
Co., LTD.
Raines, Robert. A. 1961. New life in the church. New York: Harper
& Row Publishers.
Schnelle, Udo. 1998. The history and theology of the new
testament writings. London :
SCM Press Ltd.