Jumat, 27 Mei 2016


Yesus bangkit atau dibangkitkan?: Mengenal kuasa kebangkitan Kristus
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Yesus bangkit atau tidak?dan kalau Yesus bangkit maka apakah Yesus bangkit (membangkitkan diriNya sendiri) atau dibangkitkan?Pertanyaan-pertanyaan kritis semacam ini paling tidak pernah mengusik benak seseorang, baik umat Kristen atau non-Kristen. Pertanyaan ini bukan hanya milik mereka yang berkecimpung pada ranah teologis, tetapi juga milik mereka yang merupakan jemaat awam, bukan hanya pertanyaan yang digumuli para Pendeta tetapi juga Jemaat. Artikel ini akan mencoba membahas mengenai apakah Yesus bangkit atau dibangkitkan dalam rangka mengenal kuasa Kristus.
Posisi teologis dan iman penulis pada makalah ini jelas, bahwa Yesus bangkit, oleh karena itu pertanyaan pertama pada kalimat pembuka tidak kita kupas lebih dalam tetapi justru menjadi titik berangkat kita dalam pembahasan artikel ini. Yesus bangkit, apakah Ia bangkit atau dibangkitkan?Menurut penulis, jawabannya justru terletak pada pemahaman kita mengenai doktrin Trinitas.

Trinitas
Allah Trinitas adalah Allah Bapa, Putra, dan Roh kudus. Mengenai hubungan di antara ketiganya (Bapa, Putra dan Roh Kudus) saya mencoba untuk membahasakan hubungan mereka seperti pandangan para Bapa gereja yang dijuluki “Bapa Kappadokia” yaitu “satu substansi (substance) dalam tiga person (hypostaseis)”. Sang Anak dan Roh Kudus, kedudukan mereka bukanlah subordinat dari sang Bapa. Ketiganya memiliki satu nature (Allah) namun dalam tiga persons yang berbeda. Konsep person disini bukan berarti tiga makhluk, bukan pula berarti terdapat tiga Allah, melainkan satu Allah tapi tiga karakteristik dan peran yang berbeda (cobalah memahaminya dalam konsep universalitas dan partikularitas).
Kita teringat kepada Allah Bapa, ketika kita melihat karakteristik dan perannya sebagai dasar, asal muasal, pencipta segala sesuatu. Kita teringat pada Sang Anak ketika kita melihat karakteristiknya dan perannya sebagai Juruselamat dalam karya penyelamatan Allah bagi manusia, Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Kita teringat pada Roh Kudus, ketika kita mengingat peran dan karakteristiknya sebagai penolong kita memahami karya penyelamatan Allah dalam Kristus, penolong dalam kehidupan, pemelihara kehidupan dan penghibur dalam kehidupan. Ketika kita mengingat Allah Bapa, secara otomatis kita melihat dan mengingat Sang Anak dan Roh Kudus. Ketika kita mengingat Sang Anak, kita mengingat Bapa dan Roh Kudus. Demikian pula ketika kita mengingat Roh Kudus kita mengingat Bapa dan Sang Anak. Ketiganya tak terpisahkan.

Yesus bangkit atau dibangkitkan?
                Yesus bangkit atau dibangkitkan?Kalau posisi teologis kita, posisi iman kita, berpijak pada iman yang menyatakan bahwa Yesus bangkit maka persoalan apakah bangkit atau dibangkitkan sebenarnya hanya membuat kita terjebak pada polarisasi atau dikotomi bahwa Yesus itu bangkit sendiri atau dibangkitkan oleh kuasa lain di luar dirinya. Kalau kita terjebak pada polarisasi atau dikotomi ini maka kita menjadi mengecilkan kuasa Yesus (bila kita hanya berpandangan bahwa Yesus dibangkitkan) dan juga melupakan doktrin Trinitas (bila kita hanya berpandangan bahwa Yesus membangkitkan dirinya sendiri), sebuah doktrin yang justru dipegang teguh umat Kristen sejak masa gereja perdana.
                Yesus membangkitkan diriNya sendiri?Ya! Jelas karena Ia adalah Tuhan dan memiliki kuasa untuk membangkitkan diriNYa sendiri. Pernyataan bahwa Yesus bangkit berkaitan dengan perananNya sebagai Anak Allah, dalam doktrin Trinitas. Yesus berkali-kali menegaskan bahwa Anak Manusia, akan menderita, mati dan kemudian akan bangkit (Markus 8:31, Markus 9:9, Markus 9:31, Lukas 24:7). Kuasa ini dijelaskan Yesus sendiri bahwa, tidak ada seorang pun yang mengambil nyawa Yesus melainkan Yesus memberikannya menurut kehendakNya sendiri. Ia berkuasa memberikan dan mengambilnya kembali, itulah tugas yang diberikan Bapa kepadaNya (Yohanes 10:17-18).
                Yesus dibangkitkan?Ya! Hal ini banyak kita jumpai dalam pembahasan di Alkitab (Matius 16:21, Matius 17:9, Lukas 9:22, Kisah Para Rasul 2:32). Lalu siapa yang membangkitkannya? Allah Bapa (Kisah Para Rasul 4:10, 10:40, 13:37). Frase “Allah membangkitkan” atau “Kristus dibangkitkan”, ingin menunjukkan kuasa Allah Bapa dalam kaitan sebuah karya penyelamatan. Lalu apa peran Roh Kudus?Roh Kudus, dalam karya penyelamatan, berperan penting dalam memberikan pencerahan, menyingkapkan rahasia misteri ilahi ini, kepada manusia untuk dapat mengerti makna karya penyelamatan yang dilakukan dalam sinergi Allah Trinitas. Dalam pada itu, hal ini menunjukkan bahwa dalam karya penyelamatan justru ada sinergi diantara ketiga persons yang terkandung di dalam Trinitas.
                Maka kesimpulan saya berdasarkan penelusuran kita di dalam Alkitab dan tradisi gereja (Trinitas) adalah bahwa Yesus bangkit dan dibangkitkan! “Kristus dibangkitkan” atau pun “Kristus bangkit”, keduanya adalah benar kalau kita memahaminya dalam kerangka berpikir Allah Trinitas. Keduanya benar, karena menunjukkan dan menekankan peran pribadi ilahi yang berbeda.

Implikasinya dan kuasa kebangkitan Kristus
                Setelah analisa dan pembahasan kita di atas, maka kita mengerti sekarang bahwa kedua pernyataan, “Yesus dibangkitkan” maupun “Kristus bangkit”, tidak lagi perlu dan penting untuk diperdebatkan dan dipertentangkan karena keduanya benar dan menunjukkan peran pribadi ilahi yang berbeda. Ortodoksi atau ajaran yang lurus dan benar memang penting, maka itu saya berusaha, dalam tulisan ini untuk menggali ortodoksi tersebut dari Alkitab dan tradisi, doktrin gereja. Ortodoksi tersebut telah kita mengerti dan kita pahami bahwa Yesus bangkit dan dibangkitkan!
                Akan tetapi, kita jangan melupakan aspek ortopraksis atau perbuatan yang baik, benar, tepat dan sesuai dengan ortodoksi yang kita terima. Setelah kita mengerti ortodoksi maka hal kemudian yang tidak kalah penting adalah apa implikasinya dalam perbuatan kita? Hal yang perlu saya tekankan di sini adalah kebangkitan Kristus (baik itu Yesus dibangkitkan dan Yesus bangkit, karena keduanya adalah benar) menginspirasi, menggerakkan para murid untuk menjadi saksi kebangkitan Kristus!

Kuasa kebangkitan Kristus telah menggerakkan para murid untuk bergerak mewartakan kabar bahagia tersebut ke seluruh dunia. Justru di sinilah letak kuasa kebangkitan Kristus itu karena mampu mengubah kesedihan para murid akibat matinya Yesus menjadi bahagia dan sukacita karena bangkitnya Kristus. Pada konteks kita saat ini, mari kita mengalami kuasa kebangkitan Kristus dan menjadi saksi kebangkitan Kristus, menjadi garam dan terang di sekitar kita, melalui panggilan kita masing-masing, di mana pun kita ditempatkan! Selamat Paskah, Kristus telah bangkit! Haleluya! (YRH)


Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno dan teladan Tuhan Yesus serta Relevansinya dengan Konteks Saat Ini : Menceritakan Firman Allah turun temurun
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Pendahuluan
                Jika kita rajin mengikuti perkembangan berita, baik melalui surat kabar maupun televisi, kita akan menjumpai fenomena yang memprihatinkan dalam dunia anak-anak maupun remaja. Beberapa di antara mereka sudah terlibat dalam perilaku kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, pelaku kekerasan terhadap teman sebaya, bahkan berujung pembunuhan. Ketika mencermati berita-berita tersebut, timbul pertanyaan,”bagaimana cara orang tua mereka mendidik anak-anak maupun remaja tersebut?”.
Pertanyaan tersebut sangat wajar mengingat pendidikan pertama dalam diri manusia diperoleh melalui didikan dan pengajaran dari orang tua kandung maupun orang di sekitar mereka yang lebih tua. Tentunya, dalam konteks ini kita melihat pentingnya pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar anak-anak tidak terjerumus dalam perbuatan kriminal maupun perbuatan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kalau demikian, kita tentu perlu mengetahui, pola dan perkembangan pendidikan kepada anak-anak, khususnya pengajaran mengenai agama. Melalui artikel ini, penulis akan membahas mengenai pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus serta relevansinya dengan konteks saat ini sebagai pola yang bisa diaplikasikan yang berguna sebagai “benteng” atau pertahanan awal bagi anak dan remaja agar tidak terjerumus dalam tindakan kriminal dan tindakan lain yang tidak sesuai ajaran agama.

Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno
                Untuk mengetahui pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus, sumber utama kita adalah Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Abraham, Ishak dan Yakub, nenek moyang  Israel, adalah guru bagi seluruh keluarganya. Mereka bukan saja imam, perantara antara Allah dengan umat, tetapi juga adalah guru yang mengajarkan perbuatan-perbuatan Allah yang mulia dan juga janji Allah yang membawa berkat bagi Israel turun-temurun. (Homrighausen 1955, 2).
                Allah telah memilih dan memanggil Abraham dengan konsekuensi bahwa Abraham harus menyembah Allah dan menaati segala perintahNya. Janji tersebut diteruskan dan diajarkan oleh Abraham kepada Ishak. Ishak meneruskan pengajaran tersebut kepada Yakub. Yakub menanamkan janji itu kepada anak-anaknya, termasuk Yusuf. Terbukti ketika Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya ke Mesir,ia tetap menyimpan pengajaran-pengajaran tersebut (a.l. berani menolak rayuan istri Potifar) sekalipun ia di negeri asing. (Homrighausen 1955, 3).
                Pada masa perbudakan Israel di Mesir, Allah memilih Musa untuk membebaskan umatNya sekaligus menjadi guru dan pemberi hukum-hukum bagi mereka. Fungsi inilah yang merupakan tugas Musa yang terpenting, karena Israel sedang bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan istimewa. Musa mendidik dan memberi dasar pengajaran agar dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya. (Homrighausen 1955, 3).
                Pendidikan agama di masa Israel kuno juga diselenggarakan oleh imam-imam dalam Bait Suci. Mereka menerangkan dan memelihara Taurat Allah. Selain itu, tiap-tiap keturunan orang Israel, meskipun hanya rakyat biasa, juga menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan tersebut kepada keturunan yang berikut. Pada hari raya Paskah, bapa-bapa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa itu. (Homrighausen 1955, 4).

Teladan Tuhan Yesus
                Tuhan Yesus, selain Penebus dan Pembebas, adalah Guru Yang Agung. KeahlianNya dipuji sehingga menyebabkan Dia disebut sebagai “Rabbi”, gelar kehormatan sebagai seorang pengajar dalam soal ilmu ketuhanan. Yesus mengajar di berbagai tempat: a.l. di bukit, dari dalam perahu, di rumah sederhana, di rumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama, di depan masyarakat biasa. Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Yesus juga mengajar tidak terikat pada waktu tertentu. Ia mengajar siang-malam. Tiap keadaan digunakanNya untuk memberitakan Firman Allah. (Homrighausen 1955, 5-6).
                Cara mengajar Yesus juga istimewa. Tuhan Yesus tidak memaksakan suatu ajaran dan menyuruh orang banyak mempercayai hal tersebut begitu saja tanpa berpikir ulang. Yesus justru menolong mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang telah dijelaskanNya. (Homrighausen 1955, 6).
                Tuhan Yesus mengajar dengan memakai beragam metode. Yesus mengajar a.l. dengan cara bercerita, lewat perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, melalui percakapan, dan metode-metode lainnya. Tetapi, tidak hanya dengan perkataan, Yesus juga mengajarkan dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksudkanNya. Sebagai contoh, Yesus membasuh kaki murid-muridNya, ketika ia mengajar mereka supaya rendah hati. Pengajaran Yesus sendiri sempurna ketika menunjukkan ketaatanNya kepada Bapa, dan mengorbankan diriNya sendiri di kayu salib di Golgota untuk keselamatan manusia yang berdosa.

Relevansi dengan Konteks Saat Ini
                Melalui pemaparan sebelumnya kita telah melihat bahwa pendidikan agama pada masa Israel kuno adalah tanggung jawab orang tua. Orang tua lah yang mengajarkan dan memperkenalkan anak-anak mereka kepada Allah dan mengajarkan segala ketetapanNya. Karena itu, sangat mengherankan dan sangat disayangkan jika ada orang tua yang hanya menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut kepada gereja, melalui sekolah minggu. Gereja hanyalah mitra, rekan sekerja orang tua dalam memperkenalkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Orang tua, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjalankan peran sebagai guru dalam keluarganya dan mengajarkan didikan agama kepada anak-anaknya agar mereka bertumbuh menjadi pribadi dewasa yang istimewa.
Setiap orang tua Kristen, harus menyampaikan pengajaran agama Kristen kepada keturunan yang berikut. Caranya bisa dengan metode bercerita. Orang tua bisa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi anak-anak mereka. Cerita tersebut bisa disampaikan pada waktu kumpul keluarga atau pada waktu refreshing bersama dengan keluarga. Cara paling  efektif tentu dengan menyepakati waktu tertentu sebagai jadwal untuk ibadah bersama sebagai keluarga (sering disebut juga mezbah keluarga, yang berisi pembacaan Alkitab, renungan bersama dan doa bersama sebagai sebuah keluarga).
                Memang seiring dengan perkembangan jaman dan juga tuntutan pekerjaan, orang tua pada masa modern ini sangat sedikit memiliki waktu untuk dapat intens dengan anak-anaknya. Hal tersebut juga membuat orang tua, sedikit banyak, melalaikan fungsi utamanya dalam mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anak. Namun demikian, kita bisa menggunakan berbagai metode kreatif dalam menjalankan fungsi ini.
Sebagai contoh kita dapat memantau anak-anak dengan memanfaatkan media komunikasi (a.l. ponsel), dan dalam percakapan di ponsel kita dapat memantau juga kehidupan doa dan relasi mereka dengan Tuhan (baik melalui pertanyaan atau sharing). Intinya kita harus meneladan Yesus yang tidak membutuhkan sekolah dan gedung untuk menyampaikan pengajaran firman Allah. Kita juga tidak harus terpatok pada suatu waktu tertentu untuk melakukan fungsi ini.
                Sebagai orang tua, dalam mendidik kita juga harus meneladani Tuhan Yesus dengan tidak memaksakan suatu ajaran dan memaksa anak kita untuk menerima begitu saja tanpa berpikir ulang. Kita justru harus merangsang mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang telah kita jelaskan. Tentunya dengan arahan-arahan yang benar. Misalnya ketika kita menjelaskan bahwa mencuri itu berdosa, maka kita juga harus menjelaskan efek buruk dari mencuri.
                Orang tua tidak hanya mengajar dengan perkataan, Orang tua juga harus mengajarkan kepada anak-anak dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksud dalam pengajarannya. Menurut beberapa ahli, cara mendidik anak yang paling efektif adalah dengan memberikan teladan kepada anak melalui tindakan yang dilakukan. Misalnya ketika kita mengajarkan untuk berdoa kepada Tuhan, maka anak-anak juga akan meneladani cara kita berdoa. Kata-kata yang kita pakai untuk berdoa biasanya akan ditiru oleh anak-anak kita. Karena itu sebagai orang tua, kita harus hati-hati dalam bertindak, jangan sampai perbuatan buruk kita ditiru oleh anak-anak kita. (YRH).

Daftar Acuan
Homrighausen, Elmer G. dan I.H. Enklaar. 1955. Pendidikan Agama Kristen.

Jakarta : BPK Gunung Mulia.

PENDALAMAN ALKITAB
MEMPERTUHANKAN KRISTUS
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Ayat Alkitab : Lukas 9:57-62

Observasi

Sebagai umat Kristen kita adalah anggota gereja. Menjadi anggota gereja tidak sama dengan menjadi anggota perkumpulan olahraga, politik, arisan dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Menjadi anggota perkumpulan duniawi mungkin cukup dengan membayar sejumlah uang sebagai tanda keikutsertaan kita dalam perkumpulan tersebut. Sebagai  anggota gereja selain persembahan materi (persembahan bulanan, mingguan) kita dituntut untuk mempersembahkan kehidupan kita. Menjadi pengikut Kristus berarti harus siap dengan segala konsekuensinya dalam mengikut Tuhan kita, Yesus Kristus. Menjadi pengikut Kristus memiliki konsekuensi tersendiri. Apa saja konsekuensi itu?Dapat kita lihat dalam perikop “Hal Mengikut Yesus” dalam Lukas 9:57-62.
Yesus berkata kepada orang pertama (Luk 9:58) bahwa konsekuensi mengikut Kristus adalah bahkan Yesus sendiri tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang sementara Yesus tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Liang dan sarang adalah tempat tinggal, tempat berlindung milik serigala dan burung, juga hewan-hewan liar lainnya. Kita dapat melihat sebuah kenyataan yang cukup bertolak belakang karena hewan liar memiliki tempat tinggal, sementara Yesus tidak. Ini bukan berarti umat Kristen tidak boleh memiliki rumah. Tentu bukan itu maksudnya. Kita tetap berhak memiliki kecukupan sandang, pangan dan papan. Namun Yesus ingin menekankan bahwa umat Kristen tidak boleh bergantung sepenuhnya kepada hal-hal duniawi. Ketika kita tertuju pada hal-hal yang duniawi seperti sandang, pangan, papan (bahkan gadget sebagai tema besar Tabernakel kali ini) maka perhatian kita teralihkan dari tujuan hidup sesungguhnya yaitu memuliakan Allah ataupun memperTuhankan Kristus.
Yesus berkata pula kepada orang yang kedua (Luk 9:60) “Biarlah orang mati menguburkan orang mati, tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana”. Bagi sebagian orang perkataan ini terdengar kejam. Orang kedua seakan dilarang oleh Yesus untuk menguburkan ayahnya. Namun demikian kita dapat menafsirkannya bahwa orang ini hanya sekedar menunda ajakan Yesus untuk mengikut Dia (ayat 59). Konsekuensi yang kedua dalam mengikut Yesus adalah bahwa kita tidak boleh menunda-nunda. Kita tidak boleh kehilangan momen-momen berharga dalam kehidupan kita yang seharusnya dapat kita maknai dengan rasa syukur kepada Allah hanya karena kita menundanya karena perhatian kita teralihkan oleh perkara duniawi lainnya. Misalnya, alih-alih kita beribadah dan mendengarkan Firman Tuhan dalam khotbah Pendeta saat kebaktian minggu, kita malah teralihkan oleh dering ponsel kita dan asyik keluar masuk ruang ibadah karena menerima telepon penting terkait pekerjaan. Ketika ini terjadi maka kita kehilangan momen penting yaitu suasana khidmat ketika bertemu Allah karena kita teralihkan oleh pekerjaan kita. Padahal pekerjaan kita telah menyita waktu kita yang berharga dari hari senin-sabtu, dan bahkan kurang karena hari minggu, hari sabat, kita pakai untuk bekerja juga. Bila itu terjadi, lagi-lagi kita tidak menempatkan Allah dalam posisinya sebagai pemilik kehidupan kita, karena kita menunda waktu untuk bertemu denganNya dalam sebuah waktu khusus yang khidmat. Itulah sebabnya lebih baik ketika dalam waktu ibadah kita menonaktifkan ponsel kita agar fokus pada Allah selama ibadah. Jangan menunda-nunda waktu yang seharusnya menjadi milik Allah.
Konsekuensi ketiga, dalam Lukas 9: 62 Yesus mengatakan bahwa “Setiap orang yang siap untuk membajak tapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah”. Mungkin saat ini kita sudah menjadi pengikut Kristus. Tetapi jika kita terus menoleh ke belakang, mengingat masa lalu, maka kita tetap tidak layak untuk masuk Kerajaan Allah. Makna sesungguhnya dari menoleh ke belakang adalah terus menerus mengingat masa lalu kita, kesuksesan atau bahkan kegagalan di masa lalu kita. Manusia yang seringkali mengingat-ingat masa lalunya adalah manusia yang egois karena seakan dunia terpusat pada dirinya dan orang lain tidak mendapatkan tempat dalam hati dan pikirannya. Seseorang yang sudah menjadi pengikut Kristus tidak akan egois dan apatis dengan hanya terus menerus melihat kesuksesan diri sendiri atau juga kegagalan diri sendiri namun senantiasa fokus kepada masa kini dan masa depan dengan cara berbuat, menolong sesama dan aktif mengadakan perubahan yang tentunya seturut firman Allah.
 

Penerapan Pribadi
Sebagai bahan refleksi kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.     Apakah sejauh ini dalam kita mengikut Kristus seringkali perhatian kita tidak fokus kepada tujuan hidup kita sesungguhnya yaitu memuliakan Allah ataupun memperTuhankan Kristus?Hal-hal apa yang menyebabkan perhatian kita teralihkan (sandang, pangan, papan, atau hal-hal lain)?
2.     Apakah dalam mengikut Kristus kita sering menunda-nunda waktu untuk bertemu Kristus dalam ibadah kita, saat teduh pribadi kita?Hal-hal apa yang menyebabkan kita sering menunda ibadah ataupun saat teduh kita?
3.     Apakah dalam mengikut Kristus kita seringkali egois dan apatis, menengok ke masa lalu kita, kesuksesan dan ambisi diri kita dan tidak memperhatikan sesama, tidak fokus kepada masa kini dan terlebih masa depan (kedatangan Kristus)?Hal apa yang menyebabkan kita sering egois dan apatis, menengok masa lalu dan tidak memperhatikan sesama, masa kini dan masa depan?

Kalau kita sudah dapat mengevaluasi dan merefleksikan pengalaman kita dalam mengikut Kristus maka kita harus membuat langkah-langkah perbaikan dalam diri kita dengan meninggalkan kebiasaan lama kita dan menjadi manusia baru dalam roh dan pikiran kita agar seturut dengan kehendak Kristus.

Aplikasi
Kita dapat membuat proyek ketaatan seperti:
-       Saat teduh pribadi
-       Menonaktifkan ponsel saat ibadah, ataupun saat kita bersaat teduh
-       Memprioritaskan menyelesaikan tanggung jawab kepanitiaan atau pekerjaan ketimbang menundanya untuk selfie saat pekerjaan tersebut belum selesai.
-       Tidak menunda-nunda pekerjaan kita, berbuat agar lebih baik, karena dalam bekerja juga kita berjumpa dengan Allah.(Tentunya pada hari kerja, bukan hari sabat).

Mulailah dengan hal yang terkecil karena setiap perubahan sekecil apapun jika perubahan itu ke arah yang lebih baik akan membawa dampak positif dalam kehidupan rohani kita. Setiap perubahan membutuhkan komitmen dan konsisten, harus berkesinambungan agar menjadi kemuliaan bagi Allah


© YRH




MEMPERTUHANKAN GADGET
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Gadget, adalah  alat teknologi yang memiliki tujuan dan fungsi praktis yang dibuat lebih canggih dibandingkan dengan teknologi yang diciptakan sebelumnya. Sebagai contoh ponsel diciptakan untuk menggantikan atau melengkapi kelemahan-kelemahan yang ada pada telepon rumah. Laptop/notebook diciptakan untuk melengkapi atau menggantikan kelemahan-kelemahan yang ada pada komputer/PC.
Pada era modern ini gadget telah  menjadi sebuah kebutuhan manusia. Manusia menjadi tergantung sepenuhnya kepada teknologi. Padahal teknologi adalah alat untuk membantu manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh ketika bangun pagi, tanpa disadari, kita menjadi lebih peduli dengan ponsel kita. Secara refleks alih-alih berdoa pada Tuhan dan saat teduh kita malah cek status kita di medsos ataupun hal lainnya. Contoh lainnya, ketika saya berkumpul dengan teman-teman pada sebuah reuni, tanpa disadari ada saatnya ketika semua sibuk dengan ponsel masing-masing. Padahal acara reuni itu dibuat dengan tujuan untuk mendekatkan relasi kami karena telah lama dan jarang bertemu. Alih-alih mendekatkan yang jauh teknologi malah menjauhkan kami yang dekat.
Gadget pada hakikatnya adalah bagian dari kebudayaan manusia. Kebudayaan menurut KBBI adalah hasil kegiatan dan penciptaan manusia yang melibatkan akal budi manusia. Gadget diciptakan menggunakan akal budi manusia agar memudahkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Penyalahgunaan gadget
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita adanya prostitusi online. Salahkah gadgetnya?Saya pikir tidak. Man behind the gun. Ketika melihat relasi antara manusia dengan teknologi (dalam hal ini gadget) saya menjadi teringat sebuah diskusi antara saya dengan rekan saya mengenai siapakah yang bersalah jika terjadi penyalahgunaan fungsi dari teknologi. Kami berdiskusi mengenai manfaat senjata api. Pada akhirnya kami berkesimpulan bahwa senjata api di tangan orang yang berwenang (militer) menyebabkan timbulnya keadilan dan perlindungan (dengan mengesampingkan ekses-ekses militer yang bisa juga melakukan penyalahgunaan senjata). Sementara senjata api di tangan penjahat maka akan menimbulkan bahaya dan ketidakadilan.
Maka gadget tidak bisa dipersalahkan, ketika terjadi penyalahgunaan fungsi dalam penggunaan gadget. Manusia lah yang jelas-jelas dengan sengaja menyalahgunakan gadget. Ponsel yang fungsinya adalah baik, yaitu sebagai sarana komunikasi malah menjadi sarana untuk mempermudah prostitusi dengan cara online.

Etika Kristen mengenai barang menurut Augustinus
Selain penyalahgunaan gadget, hal yang tidak kurang harus dibahas adalah kecenderungan beberapa orang untuk gonta-ganti gadget. Hal ini seperti trend, ketika muncul teknologi yang lebih canggih, maka seseorang cenderung  untuk mengganti gadgetnya yang lama dengan yang baru yang lebih canggih.
Hal ini bila ditinjau lebih jauh akibat pengaruh dari pengaruh materialisme dan konsumerisme. Tujuan hidup dan orientasi hidup dari manusia yang berpandangan demikian telah teralihkan dari tujuan hidup yang sesungguhnya yaitu kebahagiaan berada dalam cinta kasih Allah. Terhadap hal-hal yang demikian Augustinus Bapa Gereja pernah mengatakan bahwa pemuasan segala kebutuhan akan harta benda tidak akan pernah membuat manusia dapat mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia justru berada dalam Allah sendiri, maka kita harus mengarahkan cinta kita, cinta sejati kita kepada Allah agar kita dapat menemukan pedoman bagi tindakan kita.
Namun demikian dalam kenyataannya, manusia sering kali jatuh ke dalam cinta diri karena kecenderungannya jatuh kepada salah dalam memilih barang-barang keperluan. Menurut Augustinus segala sesuatu hanya boleh kita pakai sejauh membantu kita mencapai tujuan kita diciptakan, yakni kebahagiaan dalam Allah yang kita nikmati hanya demi diri Allah sendiri. Augustinus tidak memandang remeh barang-barang material, ia melihat itu semua sebagai sarana yang dapat dan harus dipakai untuk membantu manusia mencapai tujuan akhir hidupnya.Bila kita menikmati barang-barang duniawi niscaya kita akan melenceng dari tujuan hidup kita yaitu memuliakan Allah (Tjahjadi 2004).

Mempertuhankan gadget
Sebagai umat Kristen, tentunya kita harus berbeda dengan agama lain dalam menyikapi pola hubungan kita dengan kebudayaan, dalam hal ini konteks kita adalah gadget. Kita tidak boleh tergantung pada gadget dan tidak boleh juga menutup mata dan sama sekali tidak menggunakan gadget.
Menurut J. Verkuyl, sikap umat Kristen adalah umat Kristen harus berpandangan bahwa Injil akan menguduskan kebudayaan, menyucikan kebudayaan dengan rahmat Allah. Hal ini bukan berarti bahwa kebudayaan kotor ataupun penuh dosa namun Injil dan kebudayaan bertransformasi (Verkuyl 1989).
Demikian pula Richard H. Niebuhr dalam pandangan kelimanya mengenai pola atau model hubungan gereja dengan budaya, dalam hal ini saya menggunakannya dalam konteks gadget. Pola ini yang merupakan terbaik dalam pandangan Niebuhr adalah bahwa Kristus pembaharu kebudayaan. Pandangan ini menyatakan bahwa  Kristus dengan umat Kristen harus membawa perubahan dan menjadi pembaharu dalam kebudayaan, mentransformasi, memberikan pemaknaan baru dalam kebudayaan. (Niebuhr 1995).
Umat Kristen harus bertransformasi dengan kebudayaan, dalam hal ini bertransformasi dengan gadget. Kita tidak boleh tergantung dengan gadget, malahan kita harus memanfaatkan gadget dalam konteks dan kerangka memuliakan Allah sebagai tujuan hidup.
Dengan cara apa?saya berusaha memberikan contoh, walaupun mungkin contoh ini tidak sempurna. Sekarang ini terdapat aplikasi Alkitab yang dapat kita gunakan di ponsel kita untuk memudahkan kita dalam membaca Alkitab. Tentu saja kita perlu dan tetap harus menggunakan Alkitab dalam bentuk buku, karena itu adalah kitab suci dan bukan ponsel suci, namun rasanya tidak salah untuk menggunakan aplikasi ini dengan wajar dan seperlunya.
Belakangan ini juga terdapat aplikasi saat teduh yang dapat kita pakai di ponsel kita. Tentunya ini memudahkan kita untuk dapat bersaat teduh dimana saja tanpa repot, terutama jika kita adalah orang yang bermobilitas tinggi sebagai tuntutan pekerjaan. Masih banyak contoh yang lain, mungkin saja contoh yang saya berikan tidak sempurna namun realitanya kita tidak boleh menutup mata pentingya penggunaan teknologi dalam kehidupan rohani kita.

Bagaimana kata Alkitab tentang teknologi?
Paulus dalam 1 Korintus 6 : 12 mengatakan bahwa “segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Saya rasa konteks ini dapat kita pakai dalam kaitan relasi kita, umat Kristen dengan teknologi dalam hal ini konteksnya adalah gadget.
Umat Kristen tidak dilarang untuk mempergunakan gadget, hanya saja pergunakanlah dengan memberdayagunakan gadget dalam kerangka berpikir yang optimal yaitu menggunakannya dalam memenuhi tujuan hidup yaitu memuliakan Allah.

Daftar Acuan
Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan Intelektual: Konfrontasi
dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern. Jakarta : Kanisius.
Niebuhr, H. Richard. (1995). Kristus dan kebudayaan. Jakarta : Petra Jaya.
Verkuyl, DR. J. (1989). Etika Kristen dan Kebudayaan. Jakarta : BPK Gunung
       Mulia.


© YRH


Kronos, Aion dan Kairos atau free will (kehendak bebas dalam menentukan pilihan)

… ho de aneksetastos bios ou biotos anthropoi…
Suatu kehidupan yang tidak dikaji bukanlah kehidupan yang patut dijalani bagi seorang manusia (Sokrates)

Detik berganti detik, jam berganti jam, hari berganti hari, dan tahun berganti tahun. Tahun 2015 sudah lewat, berganti dengan tahun 2016 yang kita jalani. Pernahkah terpikir untuk berhenti sejenak, melakukan refleksi dan merenungkan kehidupan yang telah kita lalui? Sudah layakkah hidup kita, ketika kita sendiri mengkaji dan meneliti hidup kita? Meminjam istilah Sokrates, kalau kita sendiri merasa hidup kita tidak layak diteliti oleh diri kita sendiri maka pasti ada yang salah dalam diri kita.
Meneliti hidup atau berefleksi seringkali dikaitkan dengan melihat pencapaian-pencapaian kita, kesuksesan kita. Itu tidak salah, tapi sejatinya merenungkan kehidupan lebih dari sekedar mengingat-ingat pencapaian-pencapaian dan kesuksesan belaka. Kegagalan, hinaan dan cercaan yang kita alami dalam hidup malahan seringkali menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita ketika merenungkan dan merefleksikan kehidupan kita.
Salah satu hal yang berkaitan dengan merefleksikan dan merenungkan kehidupan adalah mengevaluasi pemanfaatan waktu yang kita miliki. Saya mengajak kita untuk mencermati dengan baik waktu yang kita pergunakan dalam hidup kita. Sudahkah kita menggunakan waktu tersebut dengan layak, bermanfaat, efisien dan efektif?atau kah karena kita merasa diberikan kehendak bebas (free will) maka kita bisa dengan sebebas-bebasnya menggunakan waktu kita dan menyalahgunakannya?
Konsep waktu dalam Alkitab
Penulis Perjanjian Baru menggunakan 3 kata dalam bahasa Yunani Kuno (Koine) untuk menggambarkan waktu di dalam tulisan mereka. Ketiga kata tersebut adalah :
1. Kronos (Κρόνος)
Kronos digunakan untuk menunjukkan waktu yang biasa, yang selalu ada. Kronos mengacu pada "urutan waktu". Dari kata inilah istilah kronologi berasal. Kronos juga menunjukan jangka waktu tertentu, baik waktu yang singkat (sekejap mata, Luk 4:5) maupun waktu yang lama (Luk 8:27; 20:9). Kata Kronos dalam bahasa Yunani dipakai berhubungan dengan jam, bulan, dan tahun.
2. Aion (αἰῶν)
Aion dipakai untuk menunjukan waktu yang sangat lama, atau waktu yang tanpa batas, kekekalan. Aion dipakai ketika berbicara tentang penciptaan dan juga berhubungan dengan waktu kedatangan Kristus kembali, sifatnya pasti tapi tidak tertentu waktunya kapan sebab tidak ada manusia yang mengetahui kapan terjadinya. Aion seringkali diterjemahkan juga sebagai kata yang menunjukkan dunia ini dan dunia yang akan datang, dan menunjukkan waktu yang tanpa batas (Matius 12:32 dan Efesus 1:21).
3. Kairos (καιρός)
Kairos digunakan ketika berbicara tentang periode tertentu, yang jika sudah lewat atau terlewat, tidak akan kembali lagi (Roma 5:6). Kairos berarti ukuran waktu, waktu tetap dan pasti, periode waktu yang terbatas, keadaan, hal-hal dan kejadian. Kairos sering digunakan ketika berbicara mengenai waktu yang diberikan Tuhan, yang di dalamnya terdapat kesempatan bagi kita untuk bertindak penuh kasih atau melakukan sesuatu yang penting atau bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama (Roma 13:11; Galatia 6: 10; Efesus 5: 15-16; Kolose 4: 5).
            Ketiga kata tersebut dipakai oleh para penulis Perjanjian Baru untuk menggambarkan waktu. Ketiganya dipakai dalam pengertian bahwa waktu adalah milik Tuhan dan diberikan kepada manusia sebagai anugerah sehingga kita harus memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan dengan sebaik-baiknya (Galatia 6:10). Sebab jika sudah “tertutup” tidak ada yang dapat “membuka” dan jika sudah “dibuka”, tidak ada yang dapat “menutup” selain dari Tuhan saja (Wahyu 3:7).
            Harus kita akui, sebagai manusia yang berdosa kita seringkali lalai dalam mengelola dan menggunakan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita seringkali menganggap kita bebas, sebebas-bebasnya karena Allah telah memberikan kehendak bebas kepada kita, termasuk kehendak bebas untuk menggunakan waktu milik kita. Padahal Allah memberikan kepada manusia kehendak bebas (free will) agar manusia memiliki ruang untuk berkembang (sebagaimana menurut Agustinus, Bapa Gereja). Dalam free will tersebut, manusia diharapkan oleh Allah untuk menggunakannya untuk tetap taat kepada Allah termasuk menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk kemuliaan Allah. Dosa terjadi ketika manusia, dengan free will nya, tidak mau taat kepada kehendak Allah, termasuk menggunakan dan memanfaatkan waktu dengan sembrono.
Leo Tolstoy (1828  – 1910) ,sastrawan Rusia, ahli filsafat moral mempunyai pertanyaan yang bisa kita renungkan bersama: “Kapan waktu terbaik untuk melakukan setiap hal?” Jawaban Tolstoy atas pertanyaan tersebut ialah: “Ingatlah bahwa hanya ada satu waktu yang penting dan waktu itu adalah “saat ini”. Saat ini merupakan satu-satunya waktu yang dapat kita kendalikan.” Waktu sekarang ini adalah waktu yang sangat berharga dan penting. Waktu yang lewat tidak dapat kita koreksi. Sedangkan masa yang akan datang masih ada di depan dan kita belum memasukinya. Maka saat ini juga berbuat baiklah sesuai perintah Tuhan, apa pun jabatan, posisi, kedudukan dan peranan kita!
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan perbuatan tidak etis dari pimpinan dewan kita yang terhormat, yang meminta saham dari aset rakyat Papua demi kepentingan pribadi, sebuah tindakan yang berbuntut pada sidang etika oleh majelis kehormatan dewan. Kita semua mengetahui hasil akhirnya, yang berbuntut dia mengundurkan diri dari jabatannya. Waktu tidak dapat diulang kembali dan sejarah mencatat perbuatan sang anggota dewan yang tidak mungkin dilupakan oleh rakyat sampai kapan pun.

Pelajaran penting yang bisa kita ambil adalah agar kita jangan sampai seperti wakil rakyat tersebut yang sewaktu diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menjabat malah menyalahgunakan kekuasannya. Pada akhirnya kesempatan sang anggota dewan untuk berbuat baik bagi masyarakat banyak dicabut oleh Tuhan. Pelajaran juga bagi kita bahwa jabatan (apa pun jabatan kita, dan di mana pun kita menjabat, baik di luar gereja maupun di dalam gereja) adalah amanah Tuhan yang patut dijaga, jangan sampai seperti anggota dewan tersebut. Pada waktu-Nya (waktu Tuhan) kita akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita, maka pergunakanlah waktumu untuk kemuliaan Tuhan! (YRH 2016).

Rabu, 25 Mei 2016



“MANUSIA BARU” MENURUT SURAT EFESUS

(EFESUS 4:17-32)

Pengantar

            Sesuatu benda atau hal yang baru bagi beberapa orang biasanya lebih disukai dibandingkan dengan benda atau hal yang lama. Baju, sepatu, ponsel, rekan kerja, pekerjaan yang baru, biasanya lebih disukai ketika kita sudah bosan dengan yang lama. Selain karena bosan, mungkin barang atau benda tersebut sudah rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi, sehingga kita harus menggantinya dengan hal atau benda yang baru.
            Namun demikian, sebagian orang enggan untuk mengganti sesuatu hal atau benda yang lama dengan hal atau benda yang baru. Biasanya hal itu disebabkan oleh faktor takut kehilangan rasa nyaman. Mereka yang bersikap demikian merasa sudah nyaman terhadap hal atau benda yang lama sehingga enggan untuk menukar kenyamanan tersebut dengan ketidaknyamanan yang terjadi ketika mereka mengganti hal yang lama dengan yang baru. Rasa enggan juga disebabkan oleh rasa malas mereka untuk mempelajari segala sesuatu terkait dengan hal atau benda yang baru. Beberapa orang enggan untuk mengganti baju, sepatu, ponsel, rekan kerja, dan pekerjaan lama biasanya karena malas pula untuk mempelajari dan mengenal lebih dekat hal-hal yang terkait dengan sesuatu yang baru tersebut.
            Demikian pula, ketika konsep lahir kembali, lahir baru dan menjadi “manusia baru” dikaitkan dengan konsep alasan seseorang menerima atau menolak hal baru atau benda baru. Seseorang yang bosan dengan keadaan “manusia lama” maka ia akan berusaha untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang merasa bahwa “manusia lama” sudah rusak, usang, tidak dapat diandalkan maka ia akan berusaha untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang sudah merasa enak dan nyaman dengan “manusia lama” tidak merasa perlu untuk menjadi “manusia baru”. Seseorang yang malas mempelajari segala sesuatu terkait “manusia baru” enggan untuk mengganti “manusia lama” menjadi “manusia baru”.
Sebagai umat Kristen, yang adalah pengikut Kristus, maka kita harus melaksanakan perintah Kristus. Salah satu perintah Kristus adalah agar kita lahir kembali, lahir baru di dalam roh dan menjadi “manusia baru” agar kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Hal itu terdapat dalam perikop percakapan Yesus dengan Nikodemus, sebagaimana terdapat dalam Yohanes 3:1—21. Yesus sendiri menjawab pertanyaan Nikodemus pada Yohanes 3:3 “Aku, berkata kepadamu, sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah”. Lebih lanjut dalam Yohanes 3:5—7 Yesus mengatakan bahwa “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali”.
            Berdasarkan perintah tersebut maka jelaslah bahwa sebagai pengikut Kristus kita harus lahir kembali, lahir baru dan menjadi “manusia baru”. Perihal tema “manusia baru” sudah diungkapkan oleh Rasul Paulus secara jelas dalam perikop mengenai “manusia baru” yang terdapat dalam Efesus 4:17—32. Supaya dapat menjadi “manusia baru” maka kita perlu mempelajari dan menggali lebih dalam mengenai maksud Paulus dalam perikop “manusia baru” sebagaimana yang tercatat di dalam Efesus.
           
Latar Belakang Pokok Tulisan

Sebagai pengikut Kristus maka lahir baru, lahir kembali dan menjadi “manusia baru” amat penting bukan karena kita bosan terhadap “manusia lama” kita namun karena “manusia lama” kita telah rusak, usang dan penuh dosa. Seringkali rasa enggan kita untuk menjadi “manusia baru” disebabkan karena kita sudah nyaman terhadap “manusia lama” dan enggan serta malas untuk mempelajari hal-hal terkait “manusia baru”. Makalah ini ditulis dalam rangka mempelajari hal-hal terkait “manusia baru” agar kita dapat keluar dari zona nyaman kita sebagai “manusia lama” dan mengubah diri menjadi “manusia baru” agar serupa dengan Kristus. Perikop yang membahas mengenai “manusia baru” terdapat dalam Efesus 4:17—32. Namun demikian, kita perlu membahas terlebih dahulu latar belakang surat Efesus ini ditulis dan pokok teologisnya untuk dapat melihat secara kesatuan utuh terkait dengan maksud Paulus mengenai “manusia baru” dalam perikop yang terdapat di Efesus, sebab hal tersebut saling berkaitan.
Surat Efesus ditulis untuk jemaat di Efesus. Lokasi tepat kota Efesus tidak diketahui persis namun diperkirakan berada di wilayah Asia Kecil, lokasi yang sama yang diperkirakan terdapat juga jemaat Kolose. Surat Efesus diperkirakan ditulis sekitar tahun 80-90 M. Surat Efesus memakai Kolose sebagai literatur sumber (Schnelle 1998, 301—303).
Surat Efesus merupakan surat yang dipandang ditulis oleh Rasul Paulus, walaupun kemudian pada pertengahan abad ke-18 timbul keraguan bahwa surat ini ditulis oleh Paulus. Keraguan timbul karena dari segi bahasa timbul sejumlah kata-kata yang biasanya digunakan oleh Paulus tetapi tidak ada dalam Surat Efesus, seperti enotes (kesatuan Ef. 4:3,13), kosmokator (kekuatan alam, Ef. 6:12), mesotoikon (tembok pemisah, Ef. 2:14). Keraguan juga timbul ketika daftar jabatan gereja di dalam Efesus 4:11—12 menggambarkan struktur gereja yang telah berubah dibanding dengan gereja pada masa Paulus. Teologi Surat Efesus juga berbeda dalam beberapa pokok tentang teologi Paulus, seperti pada eskatologi, ekklesiologi, kerasulan, dasar gereja dan berhubungan erat dengan Surat Kolose. Maka berdasarkan hal-hal tersebut para ahli tafsir Perjanjian Baru berpendapat bahwa Surat ini adalah karya penerus (murid) Paulus (Hakh 2010, 224—226).
            Surat Efesus ditulis oleh penerus (murid) Paulus dan tidak dipandang sebagai tulisan yang berbentuk penipuan. Tulisan ini tetap mendapat wibawa dalam jemaat, dan tidak dipandang sebagai bentuk penipuan oleh karena pada waktu lalu, pada masa itu, penulis dapat menggunakan nama orang terkenal, atau gurunya sebagai penulis dari hasil karyanya karena mereka berpendirian bahwa mereka bertindak sebagai penerus tradisi, mereka masih berdiri di atas tradisi tersebut. Maka Surat Efesus tetap dipakai dalam jemaat dan memiliki wibawa dalam jemaat. Dari hal tersebut maka tulisan itu dipandang sebagai tradisi yang berasal dari Paulus (Hakh 2010, 227).
Kita perlu melihat pokok-pokok teologis yang terkait dengan surat Efesus karena pokok teologis berkaitan erat dengan perikop “manusia baru”. Pokok teologis surat Efesus yang pertama adalah mengenai gereja yang esa, gereja yang melampaui segala batas suku, ras dan sebagainya. Pokok teologis surat Efesus yang kedua adalah mengenai kesatuan Yahudi dan non-Yahudi sebagai umat baru oleh Kristus. Pada pokok teologis itulah Paulus menekankan status baru di dalam Kristus, karena Kristus telah menghapuskan tembok batas antara Yahudi dan non-Yahudi dan telah membentuk suatu umat baru atau “manusia baru”. Selain itu dalam pokok teologis yang ketiga surat Efesus menekankan bahwa gereja masih harus terus berjuang menyongsong masa depan yang penuh kemenangan yang telah dijamin oleh Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Hakh 2010, 231—236).
Persoalan penting yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai konsep “manusia baru” yang dimaksud Paulus dalam surat Efesus. Makalah ini akan membahas hal-hal yang terkait dengan “manusia baru”, keadaan “manusia lama”, diperbaharui dalam roh dan pikiran,  “manusia baru” dalam Kristus, hal yang harus dibuang agar menjadi “manusia baru”, hal yang harus dilakukan agar menjadi “manusia baru”, dan hal penting lainnya yang terkait dengan perikop “manusia baru” dalam Efesus 4:17—32 serta refleksi dan penutup.
Uraian Teologis

Sejarah penyelamatan manusia oleh Allah melalui Putra-Nya Yesus Kristus dalam peristiwa kelahiran, kematian, kebangkitan, kenaikan dan penantian akan kedatangannya yang kedua kali pada intinya berfokus kepada kehendak Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Proses tersebut jika ditinjau lebih jauh tidak terlepas dari inisiatif Allah untuk memulihkan hubungan manusia dengan penciptanya yaitu Allah sendiri. Dalam pengajarannya Yesus berkali-kali menegaskan agar kehendak Bapa sajalah yang terjadi dan yang diterapkan di dunia ini, sebagaimana dapat kita lihat dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan olehnya, “Jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga”.
Demikian pula yang terlihat dalam doa Yesus di Taman Getsemani ketika ia berdoa agar cawan penderitaan boleh lepas dan berlalu dari dirinya. Pada akhirnya Yesus memasrahkan dirinya kepada kehendak Bapa dengan mengatakan “tetapi janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki”. Dosa terjadi ketika manusia melakukan perbuatan yang seturut kehendaknya sendiri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kesatuan antara kehendak Allah baik di surga maupun di bumi yang dihadirkan oleh manusia sangat ditekankan Yesus, karena dengan demikian ketika manusia menghadirkan kehendak Allah di dunia maka secara nyata kerajaan Allah terwujud di bumi. Manusia dengan pola pikir memikirkan kehendak Allah dan mewujudkannya di dunia adalah “manusia baru”.
“Manusia baru” bukan berarti baru secara fisik, sebab seiring waktu manusia pasti bertambah tua, secara fisik melemah dan mustahil untuk lahir kembali, masuk ke dalam rahim ibu dan lahir baru menjadi “manusia baru”. “Manusia baru” yang dimaksud bukanlah hanya dalam tindakannya yang baru, menjadi baik, saleh dan tidak lagi berbuat jahat. “Manusia baru” lebih daripada sekedar tidak berbuat jahat dan lebih dari sekedar hal-hal yang tampak dalam perbuatan manusia yang terlihat baik.
“Manusia baru” dalam konteks Paulus hanya dapat terjadi ketika seseorang tidak lagi hidup sama seperti orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia (Efesus 4:17). Mengenal Allah berarti mengenal Yesus sebagai Putra-Nya dan menjadi “manusia baru” berarti menjadi “manusia baru” di dalam Kristus. Dengan menyatunya manusia dengan Kristus dalam sebuah relasi yang erat maka manusia diangkat dari keegoisan dan hal-hal yang hanya berpusat kepada diri sendiri. Hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah dan juga perselisihan dan hubungan yang rusak antara manusia dengan sesamanya yang lain dapat diselesaikan dan diperdamaikan di dalam Kristus, sang juru damai (Mackay 1953, 124—125).
            Manusia semula makhluk yang dihukum, dan dimurkai oleh Allah, anggota komunitas yang terasing dan tidak terhubung dengan Allah, namun dalam Kristus manusia menjadi “anak-anak Allah”, di dalam anggota komunitas yang disebut gereja. Hal itu berarti penyesuaian total dalam kehidupan manusia dari yang semula hanya untuk memenuhi tujuan pribadi menjadi manusia yang memenuhi tujuan Allah dalam kehidupannya (Mackay 1953, 124).
           
Keadaan “Manusia Lama”

            Sebelum menelaah “manusia baru” kita perlu menelaah keadaan “manusia lama”. Berdasarkan Efesus 4:17—19 “manusia lama” adalah mereka yang tidak mengenal Allah yang pikirannya sia-sia, pengertiannya gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, kebodohan ada di dalam mereka karena kedegilan hati (Yunani: porosis yang berasal dari kata poros yang secara harafiah berarti batu yang lebih keras dari marmer, yang berarti hati mereka begitu keras sehingga tidak ada kekuatan apapun yang dapat membuat hati mereka dapat merasakan sebuah perasaan lagi), perasaan mereka telah tumpul sehingga menyerahkan diri kepada hawa nafsu, dan serakah dalam mengerjakan kecemaran (Barclay 1976, 152).
            Berdasarkan penjelasan dari Efesus maka menjadi jelas bahwa “manusia lama” berada dalam keadaan yang tidak mengenal Allah. Namun demikian syukur kepada Kristus karena dalam surat Efesus diberikan sebuah cara untuk menjadi “manusia baru”. Rahasia untuk menjadi “manusia baru” ada di dalam proses untuk belajar mengenal Kristus (Efesus 4:20). Manusia yang telah mendengar tentang Yesus dan menerima pengajaran Yesus harus menanggalkan “manusia lama” dan dibaharui di dalam roh dan pikirannya dan mengenakan “manusia baru” yang telah diciptakan menurut kehendak Allah dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:21-24).



Dibaharui di dalam Roh dan Pikiran
           
“Manusia lama” (Yunani: palaios antropos) dibaharui di dalam roh dan pikiran sehingga menjadi “manusia baru” (Yunani: kainos antropos). Hal tersebut tercantum dalam Efesus 4:23 yaitu “supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu”. Secara jelas penulis surat Efesus mengatakan bahwa “manusia baru” bukanlah baru dalam wujud fisik yang berubah menjadi bayi kembali dan memulai segala sesuatu dari nol. Tentu saja secara manusiawi fisik pasti menua dan menurun kualitasnya sehingga tidak mungkin kita melawan kodrat dan memaksa masuk kembali ke dalam rahim ibu untuk lahir kembali menjadi “manusia baru”. “Manusia baru” yang dimaksud bukanlah manusia yang melawan kodrat alam.
            Baru berarti tidak lama, sekaligus bukanlah suatu keadaan rekondisi, sebuah usaha untuk memperbaiki atau mengembalikan fungsi sesuatu barang ke fungsinya yang semula. “Manusia baru” bukanlah manusia rekondisi, melainkan manusia yang tidak lagi sama dengan keadaan semula. “Manusia baru” diperbaharui dalam roh dan pikiran. Roh dan pikiran “manusia lama” dapat diperbaharui di dalam Kristus agar menjadi “manusia baru”. 
            Lantas timbul pertanyaan mengapa penulis Efesus menekankan pentingnya diperbaharui dari roh dan pikiran? Ternyata roh dan pikiran adalah sesuatu yang ada di dalam diri manusia. Roh yang baru yang berasal dari Allah dan pikiran yang baru yang senantiasa memikirkan kehendak Allah adalah titik awal dan fondasi dari seorang manusia yang telah lahir kembali menjadi “manusia baru”. Perubahan yang sejati berasal dari dalam, dari yang esensial menuju kepada yang eksistensial, bukan dari eksistensial menuju kepada yang esensial. Dengan kata lain perubahan sejati harus datang dari dalam diri manusia, roh dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah adalah fondasi yang akan menggerakkan kepada perbuatan yang benar, yang seturut kehendak Allah (Mackay 1953, 128).
            Lantas apakah pembaharuan hanya pada aspek roh dan pikiran dan pembaharuan tidak mencakup perbuatan?Apakah perbuatan tidak penting? Penting. Sesungguhnya yang ingin penulis Efesus katakan adalah bahwa ketika seseorang telah diajarkan mengenai Kristus dan mengenal Kristus maka perubahan radikal yang terjadi dalam roh, pikiran dan sikap hidup, cara hidup adalah sebuah keharusan, sebuah perubahan yang komplet (Hendriksen 1967, 213).
“Manusia Baru” di dalam Kristus

            Berdasarkan Efesus 4:20 maka manusia dapat menjadi “manusia baru” (Yunani: kainos antropos) ketika ia belajar mengenal Kristus. Belajar mengenal Kristus berarti memiliki relasi yang intim dengan Kristus. Berada di dalam relasi yang intim di dalam Kristus lebih luas dibandingkan dengan sekedar berada di dalam gereja. Memang gereja adalah tubuh Kristus di dunia, namun relasi manusia di dalam Kristus lebih besar dibandingkan dengan gereja. Hal itu karena Kristus sendiri lebih besar dari gereja. Gereja memang adalah realitas yang tampak dari Kristus di dunia dan pemenuhan spiritualitas akan realitas Allah yang penuh dalam Kristus yang terlihat di dunia, tetapi gereja tidak dapat melepaskan diri dari Kristus dan juga tidak dapat membatasi Kristus dan karya-Nya (Mackay 1953, 125—126).
Spiritualitas manusia berelasi dengan gereja karena gereja berada di dalam Kristus, ketika gereja tidak lagi berada di dalam Kristus (ketika gereja tidak lagi memperhatikan bahkan mengabaikan relasi gereja dengan Kristus) maka spiritualitas manusia harus tetap berada dan terjalin dalam Kristus. Bukan berarti gereja tidak penting hanya saja, ketika gereja tidak lagi menjalin relasi yang intim dan intens dengan Kristus justru di saat itulah kita sebagai individu harus terus senantiasa intens dengan Yesus agar tetap menjadi “manusia baru”. Manusia yang berada dalam Kristus berarti berubah dan dibaharui secara spiritual. Mereka yang telah berada di dalam Kristus bukan hanya secara status  baru namun juga mereka membiarkan diri mereka dimiliki dan membuka diri untuk mempelajari dan mengetahui Kristus (Mackay 1953, 126—127).        
            Mengenakan “manusia baru” berarti juga menanggalkan “manusia lama”. Keduanya sama pentingnya. Dalam beragama seringkali beberapa orang menekankan hanya kepada larangan “jangan” dan melupakan perintah yang harus kita “lakukan”. Keduanya adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dan sebuah titik aktivitas yang simultan, berbarengan. Mereka yang mengatakan “Ya” kepada Yesus Kristus  otomatis mengatakan “Tidak” kepada Setan (Hendriksen 1967, 213).
            Maka dalam Efesus 4:22-24 kita menjadi mengerti bahwa satu-satunya cara manusia sukses secara progresif dalam meninggalkan “manusia lama” dan mengenakan “manusia baru” adalah dibaharui dalam roh dan pikiran. Pembaharuan ini berdasarkan Roh dari Allah yang membaharui roh manusia, pikiran dan sikap juga perbuatan yang sesuai kehendak Allah dalam Yesus Kristus (Hendriksen 1967, 215).
            Maka ketika seseorang berada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama telah berlalu dan yang baru telah datang (2 Korintus 5:17). Koinonia atau persekutuan dalam Kristus menghasilkan sebuah perubahan sebagaimana yang disebutkan Paulus dalam 2 Korintus 5:17. “Manusia lama” telah berlalu dan “manusia baru” telah datang. Pengalaman persekutuan dengan Kristus, tidak bisa tidak harus menghasilkan perubahan dalam kehidupan (Raines 1961, 88—89).

Hal-hal yang Harus Dibuang dari Kehidupan Manusia agar Menjadi “Manusia Baru”

            Setelah diperbaharui dalam roh dan pikiran dan memiliki roh yang berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah di dalam persekutuan dengan Kristus maka agar menjadi “manusia baru” manusia harus menanggalkan “manusia lama”. Dalam Efesus 4:25—31 dijelaskan hal-hal yang harus ditinggalkan agar dapat menjadi “manusia baru”. Paulus menjelaskan bahwa ketika menjadi Kristen, manusia harus menanggalkan kehidupan lamanya dan berikut petunjuk penulis Efesus mengenai hal-hal yang harus ditanggalkan dalam kehidupan Kristen.
Membuang dusta dan berkata benar seorang kepada yang lain. Kebohongan yang diucapkan yaitu berkata-kata tidak jujur dan kebohongan yang tidak diucapkan yaitu tidak memberikan peringatan atau teguran ketika seharusnya memberikan teguran atau peringatan. Kita harus berkata jujur satu sama lain, karena kita adalah satu tubuh dan kita menjadi aman dan selamat ketika kita menyampaikan pesan dan maksud yang benar, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain (Barclay 1976, 154—160).
Apabila marah, jangan sampai berbuat dosa dan memendam amarah sampai matahari terbenam dan jangan beri kesempatan kepada iblis. Ketika kita harus marah maka marahlah karena ada dosa yang terjadi, ada ketidakadilan yang terjadi seperti ketika Yesus marah kepada orang Farisi dan ahli taurat yang karena kekakuan ortodoksi mereka menyebabkan orang lain menderita hal yang tidak perlu (Markus 3:5; Yohanes 2:13-17). Jangan marah lalu lantas karena marah menjadi membunuh, mencuri dan berbuat dosa. Jangan marah berkepanjangan hingga matahari terbenam tetapi redakanlah amarah kita agar ada waktu untuk pengampunan (Barclay 1976, 154—160).
Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi tetapi ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri agar dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan. Pada masa dulu nasehat ini sangat penting karena pencurian merajalela. Penulis Efesus mengatakan ide baru, yaitu bekerjalah supaya bisa membagikan sesuatu kepad mereka yang kekurangan dan bukan bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri (Barclay 1976, 154—160).
Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulut, melainkan gunakanlah perkataan yang membangun supaya mereka yang mendengar beroleh kasih karunia. Umat Kristen harus dikenal dari karakter mereka yang menggunakan perkataan untuk membangun dan bukan menjatuhkan, bukan melebih-lebihkan namun membangun (Barclay 1976, 154—160).
Jangan mendukakan Roh Kudus Allah, karena Roh Allah adalah penuntun dalam kehidupan. Ketika kita bertindak berlawanan dengan petunjuk dan tuntunan Roh Kudus maka kita melukai hati Allah, yang mengirimkan Roh Allah untuk menuntun kita (Barclay 1976, 154—160).
Segala kepahitan (Yunani: pikria) , kegeraman (Yunani: thumos), kemarahan (Yunani: orge), pertikaian (Yunani: krauge), dan fitnah (Yunani: blasphemia) hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.  (Barclay 1976, 154—160). Kepahitan adalah suatu keadaan dimana roh manusia menolak untuk diperdamaikan. Kepahitan tidak boleh ada agar dapat mengampuni dan diampuni. Kegeraman diartikan sebagai keadaan yang cepat marah namun juga cepat surut, sehingga menjadi mudah dihasut. Kemarahan diartikan sebagai keadaan marah yang telah menjadi kebiasaan dan berlangsung lama, jangka panjang. Pertikaian diartikan sebagai nada bicara yang naik dan berteriak ketika bertikai dan beradu pendapat, berselisih pendapat. Fitnah diartikan sebagai kata-kata yang menyerang dan tidak sesuai dengan fakta, yang timbul dari berburuk sangka terhadap seseorang. Semuanya harus ditinggalkan oleh “manusia baru” (Yunani: kainos antropos). 
Demikianlah penjelasan mengenai hal-hal yang harus dibuang dan ditanggalkan dalam “manusia lama” agar menjadi “manusia baru” (Barclay 1976, 154—160).
           
Hal-Hal yang Harus Dilakukan oleh “Manusia Baru”

Pada penutup perikop “manusia baru” dalam Surat Efesus Paulus memberikan sebuah perintah yang harus dilakukan (Efesus 4: 32) selain perintah-perintah yang tidak boleh dilakukan untuk meninggalkan “manusia lama” (Efesus 4: 25—31).  Kalau dalam larangan-larangan tersebut Paulus memberikannya dalam bentuk negasi maka dalam nasehat yang harus dilakukan Paulus memberikannya dalam bentuk narasi positif (Hendriksen 1967, 223).
Pertama, “dan bersikap baiklah satu sama lain, lemah lembut yang berasal dari hati”. Hal itu dapat dibandingkan dan sejalan dengan Kolose 3:12,13 “kenakanlah belas kasihan, kerendahan hati, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran”. Kebaikan adalah semangat yang disampaikan yang memancar dari kebaikan hati. Kebaikan adalah lawan dari kebencian atau keburukan/kejahatan sebagaimana disebutkan dalam Efesus 4:31. Allah sendiri adalah baik dan kita diberikan nasehat agar menjadi seperti Allah dalam hal ini (Roma 2:4; Lukas 6:35). Kebaikan itu ditandai dengan belas kasihan dan perasaan yang mendalam, kerinduan akan kasih sayang yang sangat terasa seperti yang terdapat dalam Yesus Kristus (Hendriksen 1967, 223).
            Kedua, Paulus menambahkan hendaklah kamu saling mengampuni satu dengan yang lain, sebagaimana Allah dalam Yesus Kristus mengampuni kamu. Mengampuni disini berarti  membebaskan, murah hati, sepenuh hati, spontan dan penuh semangat. Terlebih lagi semua penderitaan kita karena kehendak buruk dari orang lain tidak pernah bisa dibandingkan dengan hal yang terjadi pada Yesus, yaitu penderitaan diludahi, difitnah, dimahkotai duri, disalibkan semua karena dosa kita yang ditimpakan kepada Yesus. Namun demikian, Yesus telah memaafkan itu semua, dan dia telah memberikan contoh teladan kepada kita. Kita dimotivasi oleh Yesus untuk berlatih memaafkan dan mengampuni orang lain yang bersalah kepada kita. Mengampuni berarti mengasihi, karena mengampuni berarti manifestasi dari kasih. Kasih adalah motivasi kita mengampuni sebagaimana Kristus yang disalibkan dan mengampuni karena motivasi kasihnya kepada manusia (Hendriksen 1967, 223—224).

Menjadi “Manusia Baru” adalah Sebuah Proses yang Penuh Perjuangan

            Perangkat auto-pilot dalam pesawat terbang modern adalah sebuah perangkat yang canggih, menarik dan memudahkan. Persis ketika tujuan sudah ditetapkan dan di setting dalam perangkat auto-pilot dan perangkat tersebut diaktifkan maka seketika itu juga pilot dapat duduk rileks dan beristirahat karena pesawat pasti tidak akan salah arah dan akan menuju lokasi yang akan dituju (Raines 1961, 47—49).
            Kebanyakan orang Kristen berpikiran persis seperti cara kerja auto-pilot. Mereka berpikir bahwa ketika kita masuk Kristen maka otomatis kita akan menjadi seperti Kristus, berada di dalam Kristus tanpa harus berjuang untuk menjadi “manusia baru”, sempurna dan serupa seperti Kristus. Tidak ada yang otomatis dalam kehidupan Kristen. Ketika kita memutuskan untuk menerima Kristus, setelah itu dalam kehidupan sehari-hari kita akan terus berjuang untuk melawan dosa dan melawan setiap keinginan daging dalam “manusia lama”. Menerima Kristus hanyalah awal dari sebuah perubahan menuju “manusia baru. Berada di dalam persekutuan dengan Kristus berarti kita diharapkan untuk bertumbuh menuju kedewasaan agar menjadi “manusia baru” (Raines 1961, 47—49).
            Menerima Kristus bukanlah hanya sebuah simbol. Menerima Kristus adalah sebuah pengalaman bertumbuh. Membutuhkan proses dan waktu yang panjang untuk bertahan dan bertumbuh di dalam Kristus, bukan hanya dalam waktu semalam lalu dapat begitu saja menjadi “manusia baru”. Koinonia atau persekutuan dalam dan dengan Kristus adalah sebuah proses yang bertumbuh menjadi “manusia baru”. Menerima Kristus membutuhkan kedisiplinan untuk dapat menjadi “manusia baru” (Raines 1961, 47—55).
            Menerima Kristus bukan berarti hanya memikirkan mengenai surga yang akan kita terima di masa mendatang. Paulus memang mengatakan bahwa penderitaan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan kita terima nantinya dalam surga atau Kerajaan Allah. Namun demikian, kita perlu berjuang di dalam dunia ini untuk menghadirkan Kerajaan Allah, dengan demikian kehendak Allah perlu dinyatakan dan diwujudkan juga di dalam dunia sebab doa Bapa Kami sendiri mengatakan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Menghadirkan Kerajaan Allah dan mewujudkan kehendak Allah di dunia bukanlah pekerjaan yang mudah. Berjuang dan berusaha agar dapat menjadi “manusia baru” adalah salah satu bentuk perjuangan yang terkait dengan mewujudkan Kerajaan Allah dan kehendak Allah di dunia (Erickson 1992, 500—501).







Refleksi Teologis

            Agama adalah jalan atau cara hidup. Kita musti menemukan jalan yang benar. Agama dan pemujaan tidak sama. Kita harus membedakan hal-hal yang mematikan kesadaran penuh kita dengan hal-hal yang justru membuat kita sadar. Pemujaan belaka akan membunuh kesadaran sementara agama yang sejati menumbuhkan kesadaran itu (Kagawa 1931, 30).
            Ketika kesadaran muncul secara penuh maka agama sejati datang dari dalam jiwa melalui kekuatan alam dan kekuatan dari Allah. Ketika kesadaran itu hidup maka seluruh hal akan bertransformasi, termasuk kehidupan yang di dalamnya juga terdapat roh dan pikiran (Kagawa 1931, 31).
            Kekristenan memunculkan kesadaran penuh, bahwa keadaan lama, “manusia lama” penuh dengan dosa. Dosa adalah rusaknya hubungan manusia dengan sesama manusia terlebih rusaknya hubungan manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah rusak ketika kehendak Allah tidak dilakukan oleh manusia. Kehendak Allah yang utama yaitu kasih, dan kasih diwujudkan dalam kasih kepada sesama dan kepada Allah.
Yesus Kristus melalui kelahiran, kematian dan kebangkitannya memulihkan hubungan manusia dengan Allah. Umat Kristen, yang adalah pengikut Kristus, di dalam persekutuan dengan Kristus ikut pulih dan diperbaiki relasinya dengan Allah. Relasi tersebut telah pulih namun harus dipertahankan dengan tetap melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya kita memuja Kristus yang telah memulihkan kita.
Pemujaan kita kepada Kristus bukanlah pemujaan belaka dan semu. Pemujaan kita kepada Kristus haruslah menumbuhkan kesadaran penuh. Kesadaran penuh bahwa ketika kita berada di dalam Kristus maka “manusia baru” harus datang dan “manusia lama” harus berlalu demikian dalam 2 Korintus 5:17 dan hal itu bukanlah otomatis namun harus diperjuangkan dan diusahakan.
“Manusia baru” bukan berarti baru secara fisik. “Manusia baru” bukan berarti masuk kembali ke dalam rahim ibu, lalu lahir kembali menjadi bayi. “Manusia baru” adalah manusia yang diperbaharui di dalam roh dan pikiran. “Manusia baru” memiliki roh yang berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah yang akan tercermin dalam perbuatannya yang seturut kehendak Allah. Semua hal ini terdapat dalam Efesus 4:17—32.
            Perubahan dari “manusia lama” menjadi “manusia baru” harus terlebih dahulu terjadi di dalam diri manusia yaitu pada roh dan pikiran, dan bukanlah hanya pada perbuatan. Perbuatan bisa berubah menjadi baik namun bila tidak disertai roh dan pikiran yang sudah berubah maka perbuatan itu akan sia-sia. Perbuatan belaka yang tidak disertai roh dan pikiran yang seturut kehendak Allah hanya akan menghasilkan kemunafikan yaitu hati, roh dan pikiran yang jahat namun mengeluarkan perbuatan yang baik hanya demi dilihat orang lain.
Dalam Efesus 4:17—32 dijelaskan keadaan “manusia lama”, hal-hal yang harus dibuang oleh “manusia baru” dan hal-hal yang harus dilakukan oleh “manusia baru”. Semua hal ini tidak dapat dicapai hanya dalam waktu semalam. “Manusia baru” adalah sebuah proses yang berkesinambungan dan penuh perjuangan dan membutuhkan kedisiplinan. “Manusia baru” adalah manusia yang penuh dengan kasih yang berasal dari Allah dan memancarkannya kepada sesama.
            Sebagai refleksi pribadi, penulis sendiri mengalami perjuangan sebagai umat Kristen. Ketika menerima Kristus dan di sidi pada tahun 2003, semenjak itu sampai sekarang ini begitu banyak pergumulan yang terjadi dan membuat penulis jatuh bangun berjuang untuk menjadi “manusia baru”. Penulis sendiri tidak bisa mengklaim bahwa penulis telah menjadi “manusia baru”. Menurut penulis “manusia baru” bukanlah sebuah keadaan ajeg dan dapat dicapai dan dipertahankan dengan begitu mudah tanpa perjuangan yang berat. Untuk mencapai apalagi mempertahankan amatlah sulit dan susah sehingga membuat penulis berpikir apakah ada manusia yang betul-betul telah menjadi “manusia baru” dan menyamai Kristus? Menurut penulis, manusia tidak akan pernah bisa menyamai Kristus. Kita hanya bisa meneladani dalam perjuangan yang keras agar dapat serupa dengan Kristus. Menjadi “manusia baru” betul-betul membutuhkan perjuangan dan disiplin dan terutama bermula dari roh dan pikiran.

Penutup

            Demikianlah pemaparan dalam makalah ini mengenai “manusia baru”. Umat Kristen harus menjadi “manusia baru” karena Kristus yang telah memerintahkannya. Melalui penjelasan di atas telah jelas bahwa “manusia baru” harus dimulai bukan dari perbuatan namun dari roh dan pikiran yang diperbaharui di dalam persekutuan dengan Kristus dan roh itu berasal dari Allah dan pikiran yang senantiasa memikirkan kehendak Allah yang terpancar dalam perbuatan yang seturut dengan kehendak Allah.
            Menjadi “manusia baru” tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ada hal-hal yang terdapat pada “manusia lama” yang harus dibuang dan hal-hal yang harus dilakukan oleh “manusia baru”. Menjadi “manusia baru” adalah proses berkesinambungan dan perjuangan dan membutuhkan disiplin yang keras agar mencapai tahap tersebut dan mempertahankannya.

Daftar Acuan

Barclay, William. 1976. The letters to the galatians and ephesians (revised edition).
Philadelphia: The Westminster Press.
Erickson, Millard J. (Ed.). 1992. Readings in christian theology volume 3: the new life.
Michigan : Baker Book House.
Hakh, Pdt. Dr. Samuel Benyamin. 2010. Perjanjian baru : sejarah, pengantar dan pokok-
pokok teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi.
Hendriksen, William. 1967. New testament commentary: exposition of ephesians.
Michigan: Baker Book House.
Kagawa, Toyohiko. 1931. New life through god. New York : Fleming H. Revell Company.
Mackay, John A. 1953. God’s order: The ephesian letter and this present time. London:
Nisbet & Co., LTD.
Raines, Robert. A. 1961. New life in the church. New York: Harper & Row Publishers.
Schnelle, Udo. 1998. The history and theology of the new testament writings. London :

SCM Press Ltd.