Minggu, 06 November 2016

Etika Kristen dalam Perjanjian Lama - Hospitalitas dan keadilan terhadap para pengungsi berdasarkan tafsiran atas Keluaran 22:21

            Keprihatinan saya timbul ketika mencermati bahwa beberapa negara di dunia masih sering mengalami konflik bersenjata. Sebut saja konflik Israel-Palestina, masalah terorisme ISIS di Irak dan Suriah, masalah di Afganistan, Somalia, Rohingya dan konflik bersenjata di negara lainnya. Konflik-konflik bersenjata tersebut menimbulkan permasalahan lanjutan berupa timbulnya gelombang pengungsi yang mencari perlindungan di negara tujuan karena negara asal mereka, tanah air mereka, tidak lagi kondusif untuk ditinggali (Bantuan hukum website 2016).
Indonesia termasuk negara transit yang seringkali dilewati para pengungsi, baik dari Afganistan, Irak, Sri Lanka, Somalia dan juga pengungsi asal Rohingya. Kapal para pengungsi tersebut sering juga ditolak masuk wilayah teritorial Indonesia oleh aparat keamanan Indonesia (Bantuan hukum website 2016). Penolakan tersebut menurut saya amat disayangkan dan seharusnya tidak perlu terjadi bila ditinjau dari segi alasan kemanusiaan apalagi negara Indonesia amat menjunjung tinggi kemanusiaan ditinjau dari sila kedua Pancasila, yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
            Selain alasan kemanusiaan, sebagai orang Kristen, keberpihakan saya kepada para pengungsi mendapat dukungan alasan alkitabiah karena dalam Etika Kristen di Perjanjian Lama juga berbicara tentang keharusan dari Allah untuk menunjukkan hospitalitas terhadap orang asing. Orang asing dalam arti seluas-luasnya menurut KBBI adalah (1)orang yang tidak dikenal, (2)orang lain, (3)orang dari negara lain. Orang asing dalam arti sempit sesuai konteks adalah para pengungsi yang membutuhkan tempat tinggal baru untuk mereka tinggali karena dipaksa dan terpaksa tercerabut dari tanah kelahiran mereka karena alasan perang. Oleh karena itu, karya tulis ini akan meninjau Keluaran 22:21, sebagai sebuah Etika Kristen dalam Perjanjian Lama terkait hospitalitas dan keadilan terhadap para pengungsi sebagai orang asing. Karya tulis ini juga akan berusaha melihat alasan di balik timbulnya larangan penindasan terhadap orang asing dan keharusan menunjukkan hospitalitas dan keadilan kepada mereka dilihat dari kacamata keadilan Allah dalam pemeliharaan dan penebusan Allah.

Tafsiran Keluaran 22:21 sebagai Etika Kristen keharusan melakukan hospitalitas dan keadilan terhadap orang asing
וְגֵר לֹא־תֹונֶה וְלֹא תִלְחָצֶנּוּ כִּי־גֵרִים הֱיִיתֶם בְּאֶרֶץ מִצְרָיִם
“Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”
            Keluaran 23:9 yang berbunyi, “orang asing janganlah kamu tekan, karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”, merupakan pengulangan perintah larangan menganiaya pendatang baru/orang asing yang terdapat pada Keluaran 22:21. Pengulangan perintah ini juga dapat ditemui di dalam Imamat 19:33-34, Ulangan 24:17-18; 27:19. Larangan dalam Keluaran 23:9 ditetapkan dalam konteks untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam proses hukum. Sementara itu, kalimat Keluaran 22:21 berbentuk pernyataan yang lebih ringkas dibanding pengulangan lainnya dalam Keluaran, Imamat dan Ulangan (sebagaimana telah disebut sebelumnya) dan diterapkan tidak hanya dalam konteks hukum tetapi sebagai kepedulian, keadilan dan hospitalitas kepada orang yang tidak mampu (yang didalamnya juga termasuk janda dan anak yatim). Setiap anggota “umat perjanjian” dituntut untuk memiliki belas kasih kepada orang yang kurang beruntung (dalam konteks ini orang asing/pendatang baru, dan saya menafsirkan bahwa termasuk di dalamnya para pengungsi dari negara lain) karena “umat perjanjian” pada masa dahulu di Mesir juga mengalami pengalaman penderitaan yang sama sebagai pendatang di Mesir (Durham 1987, 331). Kita juga mengingat bahwa Israel ketika datang ke Mesir pun sebagai pengungsi, yang datang ketika Yusuf memerintah sebagai tangan kanan Firaun Mesir, dan ketika terjadi kelaparan yang hebat melanda negeri mereka (Kej. 46).
            Para pendatang baru, yang adalah penghuni sementara, maupun turis yang bermaksud menetap untuk waktu yang pendek atau waktu yang dapat diperpanjang dengan tidak dapat ditentukan karena satu dan lain hal, biasanya merupakan orang-orang yang tanpa keluarga dan keahlian. Mereka juga kadang terputus relasinya dengan negara asal mereka dan karena itu rentan untuk diserang maupun mengalami kekerasan dan penganiayaan. Umat Israel tahu persis nasib penderitaan itu, sebagaimana yang mereka alami di Mesir, dan mereka diperintahkan untuk tidak melakukan penganiayaan dan penindasan yang sama dengan yang mereka alami, ketika nantinya mereka memerintah di tanah yang telah diberikan Allah kepada mereka. Perintah ini diberikan sama dengan keharusan umat Israel untuk tidak boleh menindas, mempermalukan dan memperlemah posisi anak yatim dan janda. Allah akan mendengar tangisan dan seruan mereka yang dianiaya dan bahkan membalaskan kepada mereka yang melakukan penindasan sehingga anak dan istri mereka juga menjadi janda dan yatim (Kel. 22:24) (Durham 1987, 328).
            Ger (Ibr.) yang digunakan dalam ayat ini, di dalam Kitab suci bahasa Ibrani dibedakan dari nokri (Ibr.). Ger digunakan untuk menunjuk kepada non-Israel yang tinggal di Israel secara permanen. Nokri menunjuk kepada mereka yang hanya temporer berada di Israel misalnya turis, atau karena misi dagang. Oleh karena itu saya memakai ayat ini karena menurut saya pengungsi terpaksa tidak lagi memiliki keterhubungan dengan tanah kelahiran, negara asal mereka. Mereka bukan seperti nokri yang hanya karena misi dagang berada di Israel atau karena mereka bertujuan untuk secara temporer tinggal di Israel seperti turis. Nasib mereka terkatung-katung dan tidak jelas apakah bisa kembali atau tidak ke tanah kelahiran mereka. Menurut saya para pengungsi ini tergolong calon Ger. Oleh karena itu menurut etika Kristen mereka harus tetap diperlakukan adil dan kita harus menunjukkan hospitalitas kepada mereka. Para ahli menduga bahwa terdapat sejumlah besar orang asing yang tinggal di Israel ketika Hukum Taurat mulai dibentuk. Versi Imamat 19:34 dan Ulangan 10:19 menunjukkan bahwa Hukum Taurat itu dilaksanakan harus melampaui teks, karena itu umat Israel harus menunjukkan kasih dan kemurahan hatinya kepada orang asing (Hamilton 2011, 350-351).
Kitab Keluaran secara garis besar mengungkapkan karya pembebasan Allah atas perbudakan yang dialami oleh Israel ketika di Mesir. Keluaran 22:21 merupakan bagian yang dinamakan oleh para ahli sebagai bagian Perjanjian Khusus antara Allah dengan Israel di Gunung Sinai (Pasal 19-24). Bentuknya merupakan kasuistik karena menyertakan kondisi dari suatu pernyataan dan juga konsekuensi hukuman bila dilanggar. “Kitab Perjanjian” (Kel. 20:22-23:19) ini berfungsi sebagai penjelasan ilustratif terhadap bagaimana “Kesepuluh Firman Allah” diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di Israel kuno (Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley 2013, 46-49).
            Bagi banyak teolog pembebasan dan teolog pos-kolonial, karya pembebasan Allah terhadap budak (Israel) yang hidup tertindas di Mesir ini merupakan cerminan dinamis Allah yang juga menginginkan umat-Nya (seluruh manusia) secara umum bebas dari penindasan dalam bentuk apapun juga. Walaupun ada juga yang berargumen bahwa karya Allah itu khusus pada Israel, tapi saya cenderung mendukung pandangan bahwa Allah berpihak dan berkarya untuk membebaskan manusia yang menderita, yang tercermin dalam pembebasan partikuler atas Israel, yang berlaku juga bagi manusia umum secara keseluruhan. Pembebasan itu termasuk di dalamnya adalah pembebasan bagi para pengungsi yang harus ditolong untuk bebas dari keadaan terkatung-katung tanpa bantuan dan kejelasan nasib mereka. Dengan demikian hukum Israel ini, dapat digunakan pula sebagai sumber etika Kristen dalam semangat dan motivasi untuk menunjukkan hospitalitas, keadilan dan kemurahan hati kepada orang asing yang termasuk di dalamnya adalah orang asing dalam konteks pengungsi korban perang di negara mereka yang mencari perlindungan ke negara lain (Kel. 22:21) (Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley 2013, 47).
                                               
Konsep Keadilan Allah dalam pemeliharaan Allah
            Allah menyatakan diri-Nya melalui apa yang dilakukan-Nya. Sifat Allah yang adil dan keadilan-Nya yang dilaksanakan, khususnya demi orang yang lemah dan tertindas, erat kaitannya dengan pemeliharaan-Nya atas alam semesta. Motivasi utama untuk keadilan sosial di Israel adalah kesetaraan kedudukan setiap orang sebagai umat Allah. Israel juga sadar bahwa manusia harus bertanggung jawab kepada Allah mengenai sesamanya. Hal ini didasarkan atas kemanusiaan yang sama, yang diciptakan Allah (Wright 2012, 139-140).
            Kebenaran Allah yang menyelamatkan, mencakup pula ancaman penghukuman-Nya yang adil atas umat-Nya sendiri, dan secara lebih luas atas seluruh dunia menurut pemeliharaan-Nya yang benar. Dengan demikian peristiwa yang mencerminkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing, dalam hal ini para pengungsi, memiliki nilai teologis maupun etis karena kita memandangnya termasuk di dalam lingkungan kekuasaan Allah, dalam pemeliharaan-Nya. Allah yang kita layani menuntut pertanggungjawaban semua orang kepada-Nya atas perlakuan mereka terhadap sesamanya (Wright 2012, 144).
            Kita lantas bertanya adakah kasus dalam Perjanjian Lama yang menjadi bukti bahwa Allah menginginkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing?adakah penghukuman Allah ketika terjadi ketidakadilan dan aniaya (antihospitalitas) terhadap orang asing? Ada. Salah satunya adalah kasus Sodom dan Gomora. Pada Kejadian 19: 1-29, Sodom dan Gomora dimusnahkan. Dalam kacamata Yehezkiel 16:49 maka dijelaskan di ayat tersebut bahwa Sodom dan Gomora berlimpah makanan dan kesenangan hidup tetapi mereka tidak menolong orang sengsara dan miskin. Itulah kesalahan Sodom menurut kacamata Yehezkiel 16, bahwa Allah menghukum mereka karena tidak menunjukkan keadilan dan hospitalitas sebagai wujud pemeliharaan Allah kepada orang sengsara (termasuk di dalamnya orang asing) (Dell 2010, 109).

Kesimpulan dan Refleksi
            Melalui tafsiran atas Keluaran 22:21 kita bisa melihat bahwa Allah memelihara orang asing melalui perintah kepada Israel untuk menunjukkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing, termasuk di dalamnya para pengungsi. Ini menjadi dasar Etika Kristen dalam Perjanjian Lama terkait keharusan untuk menerima dan memperlakukan pengungsi layaknya sesama manusia sebagai wujud keadilan dan hospitalitas. Alkitab pun menunjukkan bahwa Allah bertindak menghukum Sodom dan Gomora (kendati mereka bukan orang Israel) dalam konteks memberikan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing.
            Melihat konteks pada masa ini ketika masih banyak terdapat pengungsi korban perang, korban bencana dan pengungsi dengan alasan lainnya maka keadilan dan hospitalitas kepada mereka tentu harus ditunjukkan kepada mereka dengan itikad baik. Permasalahan lanjutan (seperti biaya, tempat menampung pengungsi dsb.) harus menjadi perhatian juga terlepas dari niat untuk menolong mereka dengan sungguh-sungguh. Semua harus dilakukan dalam rangka mewujudkan kasih kepada Allah melalui mengasihi sesama manusia, termasuk para pengungsi.

Daftar Acuan
Dell, Katharine J. 2010. Ethical and unethical in the old testament : God and Humans in
Dialogue. New York : T&T Clark International.
Durham, John I. 1987. World biblical commentary vol. 3 : exodus. Waco, Texas : Word
Books, Publisher.
Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley. 2013. The old testament and ethics : a book by                        book survey. Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Hamilton, Victor P. 2011. Exodus : an exegetical commentary. Grand Rapids, Michigan : Baker       Academic.
Wright, Christopher J.H. 2012. Hidup sebagai umat Allah : etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK     Gunung Mulia.
Bantuan hukum. Pengungsi rohingya harus diperlakukan secara manusiawi.

Selasa, 18 Oktober 2016

Tinjauan Atas Pentingnya Tanggung Jawab Penatalayanan/Stewardship Dunia Sebagai Upaya Penyadaran dan Pencegahan Musnahnya Hutan di Indonesia

Aku Cinta Alam Indonesia: Berteologi Dengan Alam Untuk Mewujudkan Gaya Hidup Bijaksana
Tinjauan Atas Pentingnya Tanggung Jawab Penatalayanan/Stewardship Dunia Sebagai Upaya Penyadaran dan Pencegahan Musnahnya Hutan di Indonesia

Pendahuluan
            Keresahan dan keprihatinan itu muncul dari kenyataan bahwa di lingkungan rumah saya, sebuah pohon ditebang karena menurut masyarakat sekitar pohon itu mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan. Daun dari pohon tersebut berguguran dan membuat lingkungan sekitar menjadi kotor. Masyarakat sekitar, karena alasan praktis dan tidak mau direpotkan untuk menyapu dan membersihkan daun-daun yang berguguran secara berkala, akhirnya memutuskan menebang pohon tersebut.
            Saya juga mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu, ketika di sekolah saya, sebuah pohon yang besar juga disingkirkan dengan alasan untuk memperluas tempat parkir mobil. Saya kurang tahu persis apakah pohon tersebut ditebang begitu saja, atau dipindahkan. Akan tetapi saya menyayangkan keputusan-keputusan manusia yang dengan mudahnya memindahkan atau menyingkirkan makhluk hidup lainnya demi kepentingannya.
            Tahun 2014-2015 juga menjadi tahun yang memprihatinkan untuk pohon-pohon dan hutan di Indonesia. Pada tahun itu, angka kebakaran hutan, baik yang disebabkan oleh pembakaran hutan dengan sengaja oleh manusia untuk membuka lahan maupun kebakaran hutan yang alami dan tidak disengaja, meningkat drastis. Tahun 2014 angka kebakaran hutan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah sebanyak 44,411.36 Ha. Angka kebakaran hutan tahun 2014 ini naik dari tahun 2013 yang hanya 4,918.74 Ha. Sementara itu, pada tahun 2015 angka kebakaran hutan menunjukkan penurunan yaitu dengan jumlah 11,240.78 Ha (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan website 2016).
            Pembakaran hutan di Indonesia yang disengaja oleh manusia sebagian besar bertujuan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit maupun untuk Hutan Tanaman Industri seperti terlihat dalam kasus pembakaran hutan tahun 2015 (BBC website 2016). Sementara itu, menurut Syaufina (2008), dalam bukunya Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, bahwa kebakaran hutan di Indonesia hampir 99% disebabkan oleh manusia, sisanya murni karena alam. Lagi-lagi keputusan-keputusan egois manusia menyebabkan pohon-pohon dan hutan tersingkir.
Dampak pembakaran hutan ini yang paling merugikan justru bukan dari segi materi. Dampak merugikan terbesar justru dari kenyataan bahwa keberadaan dan keberlangsungan hidup dari makhluk hidup lainnya terganggu. Manusia terkena dampak polusi udara dari asap yang berasal dari pembakaran hutan. Satwa liar kehilangan habitat alamiah mereka dan beberapa satwa dan tumbuhan juga mengalami kepunahan. Emisi karbon dan gas yang berasal dari kebakaran hutan juga memperparah perubahan iklim.
Manusia seringkali bersembunyi dari perilaku merusak alam semacam ini dibalik pendangan bahwa manusia adalah puncak dari rantai makanan. Oleh karena manusia puncak dari rantai makanan, maka makhluk hidup lainnya dipandang hanya sebatas menunjang kehidupan manusia. Pembenaran itu juga diperparah dengan manusia yang berlindung dan membenarkan dirinya dengan pandangan bahwa puncak dari karya penciptaan Allah adalah manusia, karena diberikan rasio, dan tugas untuk berkuasa atas dunia, sehingga dengan demikian makhluk lainnya adalah sebatas penunjang dan pendukung kehidupannya.
            Tampaknya, perilaku manusia ini, mencerminkan bahwa kita lupa akan hakikat kita sebagai imago dei, sebagai gambar dan rupa Allah. Tampaknya kita melupakan bahwa dibalik tujuan Allah menciptakan manusia dan kuasa yang diberikan oleh Allah untuk menguasai bumi terdapat konsekuensi penatalayanan/stewardship yang menuntut manusia mengelola dan bukan merusak alam dan isinya.

Imago Dei dan tujuan manusia diciptakan dalam fungsi penatalayanan/stewardship
Pada mulanya dunia yang dijadikan Allah berciri harmoni dan tatanan. Kekuasaan Allah atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan tapi terus berlangsung dalam dunia. Allah tetap berkarya melalui proses-proses kehidupan agar kelangsungan dunia yang berciri harmoni dan tatanan tetap terpelihara (Karman 2015, 27-35).
Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan manusia pada posisi mitra (Karman 2015, 35). Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan Allah atas dunia dengan jalan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Allah juga berfirman agar manusia memenuhi bumi dan menaklukkannya (Kej 1:28).
 Kata Ibrani selem dan demut yang digunakan untuk menggambarkan penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah berkaitan dengan representasi atau model. Menurut von Rad, istilah “gambar Allah” lebih menunjuk kepada tujuan manusia daripada keberadaan manusia – lebih kepada teleologi daripada ontologi. (Birch 1991, 87). Sehingga dengan demikian tujuan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, adalah sebagai representasi Allah di dunia (dan bukan sebagai Allah) dengan tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya. Pada pembahasan ini, kita akan meninjau lebih dalam tugas menaklukkan bumi yang diberikan kepada manusia.
Perintah untuk menaklukkan dunia (radah), kita temui dalam Kejadian 1:26 yang langsung berkaitan antara manusia sebagai ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dengan tugas dan tanggung jawab untuk berkuasa atas dunia. Kuasa ini diberikan kepada kita karena kita adalah representasi dari Allah. Kuasa tersebut tidak bisa diartikan bahwa manusia mutlak mempunyai hak prerogatif untuk berbuat apa saja yang dikehendaki kepada bumi ini (Birch 1991, 89).
 Kalau terminologi kekuasaan memiliki konotasi aturan dalam memerintah, maka kekuasaan manusia bukanlah kekuasaan absolut tetapi kekuasaan perwalian atau hanya dapat melakukan tindakan penatalayanan atas nama kedaulatan Tuhan Allah sebagai pencipta (Birch 1991, 89). Maka kekuasaan yang diberikan kepada manusia ini mempunyai implikasi moral dan etis. Dalam kasus ini kita tidak bisa sesuka hati kita menebang pohon, membakar hutan, dan membuka lahan hanya karena alasan ekonomi semata dengan didorong pemahaman bahwa manusia berkuasa sepenuhnya atas dunia dan bahwa manusia adalah puncak dari segala ciptaan. Kita tidak berkuasa sepenuhnya atas dunia ini sebab alam semesta dan isinya hanya diwalikan kepada kita. Kekuasaan kita terbatas sebab yang menciptakan dunia adalah Allah dan bukan manusia. Kita hanyalah mitra Allah dalam memelihara dan melakukan penatalayanan atas dunia.
Implikasi dari tugas manusia dalam kerangka penatalayanan alam semesta adalah bahwa manusia bertindak layaknya manajemen dalam perusahaan yang tidak berorientasi profit semata. Layaknya manajemen dalam perusahaan ia berbuat sebaik mungkin agar perusahaan itu dapat beroperasional terus menerus (prinsip going concern). Sebab selama perusahaan itu terus menerus ada, ia berpenghasilan, hidup dan makan dari keuntungan (yang sewajarnya) dari perusahaan itu. Tapi ia menyadari bahwa perusahaan itu bukan miliknya sehingga sewaktu-waktu ia dapat diminta pertanggungjawaban oleh pemilik perusahaan atas pengelolaan perusahaan yang ia lakukan sehingga dengan demikian ia tidak berbuat seenaknya sendiri dalam mengelola perusahaan itu.
Demikian pula dengan tugas manusia dalam penatalayanan alam semesta dan isinya. Manusia berbuat sebaik mungkin agar dunia dan isinya ini dapat berkesinambungan dinikmati hingga generasi selanjutnya (sampai Tuhan menentukan akhir dari dunia ini). Manusia juga perlu menyadari bahwa dunia ini bukan miliknya, tapi milik Allah, sehingga ia tidak berbuat seenaknya sendiri dan siap sedia jika sewaktu-waktu diminta pertanggungjawaban oleh Allah.
Memandang rendah terhadap hewan dan tumbuhan juga turut mendukung pembenaran terhadap tindakan manusia yang menghancurkan alam. Pandangan merendahkan dan menjadikan hewan dan tumbuhan hanya sebagai obyek belaka tidak akan kita temukan pembenarannya di dalam Alkitab, sebab ketika Allah menciptakan isi dunia, ia memandang seluruh ciptaan baik adanya. Dalam kitab Kejadian, Allah berulangkali mengucapkan bahwa ciptaanNya “baik” dan “sangat baik” (1:4;10,12,18,21,25,30) dan ini menegaskan nilai ciptaan lainnya. (Green & Lapsley 2013, 44).
Pandangan merendahkan dan menjadikan hewan dan tumbuhan obyek semata bisa ditelusuri merupakan penyebab atau produk dari pemikiran modern sejak Descartes yang menjadikan manusia dengan rasionya sebagai pusat alam semesta dan melihat makhluk lainnya sebagai obyek semata dari pemikiran manusia (Birch & Vischer 1997, 2). Descartes mengagungkan rasio manusia, sebab menurutnya hanya yang bisa berpikirlah yang bisa dikonfirmasi sebagai yang “ada” di dunia dengan semboyannya, dubito ergo cogito, cogito ergo sum. Hewan dan tumbuhan dianggap tidak bisa berpikir. Hewan menurut Descartes, adalah makhluk automata, bergerak secara otomatis (Birch & Vischer 1997, 2).
Descartes mungkin akan terkejut dengan penelitian belakangan ini yang justru menemukan bahwa tumbuhan memiliki kemampuan seperti berpikir dan mengingat (http://www.greenmedinfo.com/blog/research-reveals-plants-can-think-choose-remember). Mungkin saja dalam penelitian-penelitian ilmu pengetahuan selanjutnya banyak kejutan lainnya yang kita temukan, mengingat masih banyak misteri akan ciptaan Allah yang begitu besar dan tak terselami. Rasa-rasanya Descartes dan para penganutnya perlu berpikir ulang mengenai pandangan mereka mengenai hewan dan tumbuhan.
Dalam kerangka pemikiran penatalayanan/stewardship, kita perlu mengingat bahwa tanggung jawab kita adalah menata (dalam perspektif pemeliharaan) sebagai mitra Allah dalam pemeliharaan semesta. Dalam menata itu, kita perlu memandang dan menghargai keberadaan hewan dan tumbuhan juga sebagai makhluk Allah yang baik adanya. Pekerjaan menata itu kita lakukan sebagai pelayan Allah (ini pemahaman penting perspektif penatalayanan, berasal dari pelayan yang menata, sehingga manusia adalah pelayan Allah yang bertugas merepresentasikan Allah menata alam semesta) sehingga otoritas Allah, yang mengatakan bahwa hewan dan tumbuhan itu baik adanya, perlu kita jadikan perspektif kita juga dalam menata dan memelihara alam semesta. Dengan adanya perspektif ini saya berharap pembakaran hutan tidak akan terjadi lagi, minimal orang Kristen tidak turut ambil bagian dalam kejadian pembakaran hutan di Indonesia.

Kesimpulan
            Tema Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia PERSETIA 2016 adalah “Aku cinta alam Indonesia : Berteologi dengan alam untuk mewujudkan gaya hidup bijaksana”. Saya mengangkat pendalaman tema dari sebuah tinjauan atas pentingnya tanggung jawab penatalayanan/stewardship dunia sebagai upaya penyadaran dan pencegahan musnahnya hutan di Indonesia. Konteks yang menjadi keprihatinan saya adalah pembakaran hutan yang marak terjadi, yang meningkat sejak tahun 2014 hingga sekarang ini.
Permasalahan yang saya angkat adalah adanya pola pikir manusia yang membenarkan tindakan tersebut dengan alasan bahwa manusia adalah puncak segala ciptaan, puncak rantai makanan dan diberikan tugas untuk berkuasa atas bumi sehingga tindakan apapun bisa dibenarkan karena makhluk lainnya termasuk pohon-pohon di hutan, hanya sebagai obyek dan penunjang dari kehidupan manusia semata. Untuk mewujudkan gaya hidup bijaksana berkaitan dengan berteologi dengan alam, kita perlu meluruskan pemahaman yang salah mengenai tugas manusia untuk berkuasa atas bumi. Dari pemahaman yang benar maka akan lahir tindakan dan gaya hidup yang bijaksana berkaitan dengan alam Indonesia.
Manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, diberikan tugas untuk berkuasa atas bumi dan isinya. Tetapi kuasa itu tidak bisa dimengerti sebagai kekuasaan absolut untuk berbuat apa saja yang dikehendaki olehnya termasuk membakar hutan. Manusia adalah representasi Allah, sehingga kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwalian atau kuasa sebatas penatalayanan/stewardship.
Layaknya penatalayanan/stewardship ia tidak bisa sewenang-wenang, karena kepemilikan dunia sesungguhnya ada pada Allah. Manusia perlu mengelola dunia sebaik mungkin agar dunia dan isinya ini dapat berkesinambungan dinikmati hingga generasi selanjutnya. Kita perlu siap sedia jika sewaktu-waktu diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Dalam kerangka pemikiran penatalayanan/stewardship, sebagai pelayan Allah, kita perlu memandang dan menghargai keberadaan hewan dan tumbuhan juga sebagai makhluk Allah yang baik adanya. Perspektif Allah, yang mengatakan bahwa hewan dan tumbuhan itu baik adanya, perlu menjadi perspektif kita juga dalam menata dan memelihara alam semesta.
Pemahaman yang benar tentang tanggung jawab penatalayanan sebagai konsekuensi dari tugas manusia untuk berkuasa atas bumi adalah pandangan penting yang perlu diingatkan oleh gereja kepada jemaatnya. Pemahaman ini dalam narasi karya penciptaan Allah seringkali kita lupakan. Penekanan pada pemahaman tersebut adalah sebuah sikap serius yang tidak perlu dicurigai sebagai paham teologi alam (natural theology) tetapi sebuah peringatan bagi kita semua bahwa bagaimanapun juga dunia ini adalah milik Allah (Karman 2015, 35).

Daftar Acuan
Birch, Bruce C. 1991. Let justice roll down : the old testament ethics, and christian life.
Louisville, Kentucky : Westminster/John Knox Press.
Birch, Charles & Lukas Vischer. 1997. Living with the animals: the community of God’s
creatures. Geneva: WCC Publications.
Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley. 2013. The old testament and ethics : a book by book
survey. Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Karman, Yonky. 2015. Bunga rampai teologi perjanjian lama : dari kanon sampai doa.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Malang : Bayumedia.
n (diakses 10 September 2016).
(diakses 10 September 2016).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rekapitulasi luas kebakaran hutan di

Indonesia tahun 2010-2015. http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran (diakses 10 September 2016).

Senin, 18 Juli 2016

Memilih bagian yang terbaik

HKBP Kayu Tinggi Ibadah umum pagi
Minggu, 17 Juli 2016
Tema : Memilih bagian yang terbaik
Ayat : Lukas 10: 38-42 ; Kejadian 18: 1-10a

Horas. Amang inang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, saya ingin bertanya, bagaimana respon kita ketika mengetahui bahwa Presiden akan menumpang di rumah kita? Tentu kita akan berbenah, beres-beres rumah. Bisa dipastikan bahwa sejak pagi hari kita bersiap untuk menyambut tamu. Pekarangan dibersihkan, disapu. Makanan dan minuman yang terbaik dibuat, disiapkan dan dihidangkan, kalau Presiden ternyata membutuhkan penginapan dan berencana menginap di rumah kita maka kamar kita yang terbaik dibersihkan dan dirapikan. Intinya kita sibuk mempersiapkan diri untuk memberikan yang terbaik bagi tamu kehormatan kita.
Ini yang juga dilakukan oleh Abraham dalam pembacaan Epistel kita dari Kejadian 18:1-10. Abraham menjamu tiga orang tamunya yang adalah Allah dan dua malaikatnya, ia mempersiapkan dirinya, rumahnya untuk menjamu tamu mereka, musafir yang sedang dalam perjalanan. Ini adat istiadat Timur Tengah yang mengharuskan seseorang untuk menunjukkan keramahan terhadap musafir. Musafir atau pengembara yang menempuh perjalanan jauh, harus diperlakukan baik, dan tidak dipersoalkan apakah ia seorang yang tidak dikenal, sahabat, kerabat atau tamu tak diundang, ia harus dijamu sebaik mungkin. Bukankah budaya beberapa suku di Indonesia, termasuk budaya Batak, mengharuskan kita agar menerima tamu dan menjamunya makan dengan baik?
Tradisi keramahtamahan kepada Musafir juga diteruskan oleh Marta kala menjamu Yesus di rumahnya. Yesus dan para muridNya dikatakan sedang dalam perjalanan, dan tiba di sebuah kampung, dan Marta menerima Yesus di rumahnya. Marta sibuk melayani kebutuhan Yesus dan para muridnya. Sementara itu saudaranya Maria, juga berada di situ, tetapi memilih duduk diam dan mendengar perkataan Yesus.
Sampai di sini, belum timbul persoalan. Kedatangan Yesus di rumah Marta, direspon secara berbeda oleh Marta maupun Maria. Yang satu melayani tamu dengan ramah sebagaimana kebiasaan Timur Tengah terhadap Musafir. Sampai pada titik ini juga, Yesus belum berkata apa-apa. Ia tidak mengatakan bahwa Marta hentikan kesibukanmu dan duduk disini, dengarkan aku. Yesus tidak mengatakan agar Marta jangan repot-repot (sebagaimana basa-basi seorang tamu kepada tuan rumah, kan basa-basinya seperti itu, jangan repot-repot, tapi makanan minumannya habis juga) menjamunya. Yesus menyadari dengan jelas bahwa Marta berusaha menunjukkan kasihnya kepada tamu.
Yesus juga tidak mengusik Maria, dengan mengatakan Maria, kau jangan duduk saja, bantu itu saudaramu. Masakan kamu diam saja melihat saudaramu sibuk melayani kami. Yesus belum berkata apa-apa. Yesus membiarkan Marta merespon kehadirannya di rumahnya dan juga membiarkan respon Maria terhadap kehadirannya.
Jemaat terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, ketika kita menerima Yesus dalam kehidupan kita respon kita juga berbeda-beda terhadap kehadiran Yesus, sesuai dengan panggilan kita. Sama seperti ketika respon Marta dan Maria yang berbeda ketika menerima Yesus masuk ke rumahnya. Marta merasa terpanggil untuk melayani kebutuhan Yesus dan para murid, ia terpanggil sebagai tuan rumah yang baik.
Sementara itu Maria merasa terpanggil untuk mendengar Yesus berbicara, ia haus akan ajaran Yesus. Ia terpanggil dan merasa sayang kalau Yesus berbicara tapi tidak ada yang mendengarkan. Bayangkan saja kalau semua jemaat menjadi panitia, sibuk mengatur jalannya perayaan agar berjalan baik, tapi tidak ada yang menjadi jemaat, tidak ada yang duduk diam mendengar firman? atau bagaimana jadinya kalau tidak ada yang menjadi panitia, semua menjadi jemaat? Keduanya sama penting.
Sebenarnya persoalan dalam perikop ini timbul ketika Marta terusik melihat Maria diam saja dan tidak membantunya, Marta mulai mengeluarkan keluhan, sungut-sungut dan mengadu kepada Yesus. Yesus, lihat tuh Maria diam saja, suruh dia dong membantu aku begitu kira-kira katanya.
Ini susah lihat orang senang, senang lihat orang susah. Ada orang yang senang dia terganggu. Merasa bahwa orang itu harus ikut seperti dirinya. Seberapa sering kita demikian?terganggu ketika orang senang, dan senang ketika orang susah?
Yesus, mendengar keluhan Marta. Ia menjawab. Marta engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, padahal hanya satu saja yang perlu yaitu panggilanmu menjamu tamu. Maria telah memilih bagiannya yaitu panggilannya untuk duduk diam yang tidak akan diambil dari padanya.
Marta engkau kuatir dan ragu dengan panggilanmu, padahal satu panggilanmu itu penting. Engkau terusik dengan Maria. Padahal Maria konsisten dan totalitas terhadap panggilannya, responnya terhadap kehadiran diri Yesus.
Jemaat, ada alasan mengapa perikop Maria dan Marta ini persis dituliskan setelah perikop orang Samaria yang murah hati. Penulis Lukas ingin kita membaca perikop Maria dan Marta dengan pemahaman yang sama ketika kita membaca perikop orang Samaria yang murah hati. Pada perikop orang Samaria yang murah hati, orang Samaria dipuji karena menolong orang yang dirampok tanpa sungut-sungut, tanpa mempersoalkan asal usul orang yang ditolongnya. Totalitasnya menolong terlihat karena ia membiayai perawatannya hingga sembuh ini respon yang diminta Yesus ketika seseorang sudah mengundang Yesus masuk ke kehidupannya. Inilah panggilan si Orang Samaria yang murah hati, yaitu terpanggil menolong orang yang dirampok.
Respon Marta yang menjamu Yesus, yang terpanggil menjadi tuan rumah yang baik, bukan masalah. Sejak awal Yesus tidak menegur dan mengatakan jangan repot-repot. Begitu pula respon Maria yang ingin dan terpanggil untuk duduk dekat kaki Yesus dan mendengarkan Yesus. PERSOALAN timbul ketika Marta mengusik respon Maria. Maka Yesus pun menegur. Marta kenapa kau repot. Maria memilih bagiannya, panggilannya, yang terbaik yang bisa dilakukannya, yaitu setia pada responnya terhadap kedatanganku dengan tidak menyuruhmu duduk di kakiku. Kenapa kau usik dia dengan mengatakan bantu kamu. Setialah pada panggilanmu. kerjakan bagianmu. kau sudah memilih yang terbaik. Maka hidupilah dan kerjakanlah. Totalitasmu diperlukan. Inilah bagian terbaik yang tidak akan diambil daripadamu.
Jemaat yang terkasih. Respon kita terhadap kehadiran Yesus dalam hidup kita harus kita tunjukkan dalam panggilan kita dalam hidup sehari-hari. Martin Luther mengatakan bahwa umat Kristen harus merespon kehadiran Yesus dalam hidupnya dengan cara melaksanakan panggilannya di dalam masyarakat sesuai panggilannya masing-masing, seorang demi seorang. Apa panggilan kita? Sebagai ayah?sebagai ibu? Sebagai anak? Sebagai pegawai pemerintah?pegawai swasta?pengusaha?
Terkadang dalam melaksanakan panggilan kita sehari-hari kita sering terusik oleh hal lain di luar panggilan tersebut. Itulah yang Yesus maksud sebagai menyusahkan diri dengan banyak perkara. Misalnya sebagai pekerja kantoran, kita terusik dan iri melihat rekan lain, mungkin, yang naik jabatan lebih cepat dari kita padahal menurut kita dia tidak lebih baik dari kita. Atau sebagai mahasiswa kita terusik dan iri dengan mahasiswa yang lain yang mendapat nilai bagus karena menyontek. Ini membuat kita menjadi bersungut-sungut layaknya Marta. Kita susah lihat orang senang dan senang lihat orang susah. Kita menjadi teralihkan dari panggilan kita yang sesungguhnya yaitu mengerjakan yang terbaik pada pekerjaan kita, pada pendidikan kita, pada peranan kita di dalam keluarga. Kita teralihkan dan terusik oleh hal-hal lain yang membuat kita bersungut-sungut dan lupa memandang Yesus.
Tahun 2016 ini bagi HKBP adalah tahun keluarga. Maka panggilan mendesak bagi kita yang harus dikerjakan tanpa bersungut-sungut di dalam keluarga adalah sebagai ayah yaitu sebagai pemimpin, kepala keluarga, bertanggung jawab memandu arah masa depan keluarga, memberikan teladan kepada anak-anak, mendidik anak bersama dengan istri. Panggilan ini dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa mengeluh, tanpa terusik hal lain di sana-sini. Bulan Juli ini tema besar partangiangan Wijk adalah tentang karakter Kristen seorang Istri. Sebagai istri, bertugas mendampingi suami, membesarkan dan mendidik anak bersama dengan suami. Tugas mulia ini dijalankan tanpa terusik hal lain di sana-sini, tanpa mengeluh. Tanpa memandang rumput tetangga yang sepertinya lebih hijau dari rumput sendiri. Anak, menghormati orang tua, mematuhi nasehat dan teladan dari orang tua, belajar untuk mempersiapkan masa depannya yang kelak akan menjadi ayah atau ibu juga, tanpa mengeluh, tanpa sungut-sungut.
Yesus mengatakan bahwa, kalau kita telah memilih bagian yang terbaik, maka itu tidak akan diambil dari pada kita. Ini berarti sikap sukacita kita dalam merespon Yesus, melalui melaksanakan panggilan kita itulah yang tidak bisa diambil. Kalau kita merespon tanpa sukacita, justru yang terbaik itu sudah hilang seperti Marta yang kehilangan sukacita dalam melayani Tuhan karena bersungut-sungut.
Dengan melaksanakan panggilan kita masing-masing di dalam masyarakat, dengan sukacita kita membawa nilai Kristen, karakter Kristen kepada dunia. Pada saat itulah kita menghadirkan Yesus kembali sehingga Yesus tidak hanya dialami oleh kita tetapi juga oleh orang yang menyaksikan kita, mereka mengalami Kristus dalam diri kita.
Dalam panggilan kita, kita diminta untuk total dan tidak bersungut-sungut. Dalam panggilan kita, kita harus menjadi damai sejahtera bukan malah mendatangkan bencana. Orang Kristen adalah orang yang menjadi solusi, bukan menjadi masalah. Sama seperti Yesus yang datang ke dunia membawa keselamatan, damai sejahtera, bukan membawa malapetaka.

Kiranya melalui Firman hari ini, kita dikuatkan dalam menjalani panggilan hidup kita masing-masing. Tidak lagi terusik dan bersungut-sungut menghadapi hal-hal yang menyusahkan dan menguatirkan kita dalam menjalankan panggilan hidup kita. Ingatlah bahwa kita telah memilih bagian yang terbaik yaitu merespon kehadiran Yesus dalam hidup kita melalui panggilan kita dan hal itu tidak akan diambil dari pada kita. Selamat menjalani panggilan hidup kita masing-masing. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Minggu, 05 Juni 2016

HKBP Kayu Tinggi PHD Ina (Kaum Ibu)
Kamis, 2 Juni 2016
Keluaran 14 : 24-31 (dalam Alkitab bahasa Batak 2 Musa 14 : 24-31)
Tema : Tuhan Memelihara

Horas ma dihita saluhutna.
Jemaat yang dikasihi oleh Yesus Kristus, sudah benarkah pengucapan saya?
Kalau belum, mohon dimaafkan, ini sudah dilatih dari tadi malam, tapi kalau masih salah ya mohon dimaafkan.
Saya baru diajari bahwa, makna dari salam pembuka ini, ternyata maknanya dalam ya inang? Apa artinya? Adakah yang dengan sukarela bersedia menjelaskan artinya salam tersebut kepada saya?
Kalau kemarin, kata rekan saya artinya damai sejahtera untuk kita semua. Kalau begitu maka salam ini maknanya dalam, sebab, salam itu berarti sebuah harapan dan doa yang kita ucapkan, agar orang yang kepadanya kita mengucapkan salam tersebut, sekaligus juga kita yang mengucapkan salam tersebut, berada dalam keadaan damai sejahtera.
Tentu damai sejahtera yang dimaksud adalah damai sejahtera yang berasal dari Allah sebagai wujud nyata bahwa Tuhan memelihara (sebagaimana tema kita malam ini yaitu Tuhan memelihara).
Sebab angka inang ma dihaholongi tuhanta (nah apa artinya ini, ini saya diajari kawan STT Jakarta, sebab banyak orang Batak di sekolah kami). Inang sekalian, sebabnya bahwa, dalam pemeliharaan Tuhan, yang terpenting adalah keadaan damai sejahtera nya. Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan senantiasa memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (filipi 4: 7).
Damai tapi tidak sejahtera tidak lengkap, sebab berarti damai tapi berkekurangan. Sejahtera tanpa ada kedamaian di dalamnya juga tidak lengkap sebab berarti sejahtera tapi penuh rasa khawatir, takut, konflik dan tidak ada damai. Damai dan sejahtera adalah bukti pemeliharaan Allah. Tuhan memelihara.
Pada ayat pembacaan kita, Allah memelihara Israel dengan membelah laut, supaya mereka bisa menyeberang dan lolos dari kejaran Firaun Mesir. Ini mukjizat, yang menunjukkan bukti pemeliharaan Allah. Allah memberi kedamaian dengan meluputkan Israel dari kejaran Firaun Mesir.
Selama perjalanan di gurun 40 tahun menuju Kanaan, Israel juga dipelihara oleh Allah, ditunjukkan jalan. Allah lah sang penunjuk jalan. Melalui apa?tiang awan dan tiang api. Tiang awan waktu siang supaya sejuk, dan tiang api di kala malam, supaya terang dan hangat karena cuaca gurun sangat ekstrem inang, malam dingin sekali, siang panas sekali. Allah memberi keadaan damai. Tapi juga Allah memelihara Israel, memberi mereka makanan dan minuman, lewat roti dan burung puyuh sehingga Israel tetap makan dan sejahtera.
Lalu bagaimana dengan kita?bukankah kita juga punya kesulitan-kesulitan hidup?bukankah kita juga seringkali dikejar-kejar oleh “Firaun” pada masa kini yaitu kekhawatiran-kekhawatiran kita. Inang, berapa harga daging sapi per kg sekarang di pasar?naik menjelang bulan puasa?mahal?berapa harga bawang per kg?mahal.
Bukan itu saja, Berapa banyak kesulitan kita yang lain?kekhawatiran kita terhadap anak-anak, terhadap suami, terhadap keluarga kita? Bagaimana perasaan kita ketika mengetahui berita pemerkosaan atau penganiayaan seksual kepada anak-anak di bawah umur?kesal, sedih, marah, dan menambah kekhawatiran kita. Ini membuat pikiran dan hati kita kadang menjadi tidak damai dan tidak sejahtera. Kesulitan-kesulitan dan kekhawatiran kita seperti membayangi kita di belakang kita dan mengejar kita seperti Firaun yang mengejar bangsa Israel.
Tapi nyatanya, pada saat ini, kita masih berada di sini. Mendengarkan firman Allah, ini bukti juga penyertaan dan pemeliharaan Allah. Kita masih bernapas, masih sehat, anak masih bisa sekolah dan suami atau bahkan kita juga masih bisa bekerja. Pemeliharaan Allah itu nyata dalam hidup kita dan keluarga. Sepatutnya dan sepantasnya kita seperti bangsa Israel yang melihat (pada ayat 31) bahwa betapa besar perbuatan yang dilakukan Tuhan kepada kita, maka sepatutnya juga kita takut kepada Allah, percaya kepadaNya dan melakukan perintahNya.
Inang terkasih dalam Kristus, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Allah menolong Israel melalui Musa yang mengangkat tangan (karena Allah menyuruh Musa demikian) sehingga laut terbelah dan Israel berjalan di antara laut yang terbelah. Ini berarti bahwa Allah juga memelihara lewat sesama umat lainnya. Allah memelihara manusia lewat manusia lainnya.
Itu sebabnya Inang terkasih, jangan kita melalaikan pertemuan ibadah kita, partangiang wilayah, koor kaum ina, dan persekutuan lainnya, karena Allah juga memelihara kita lewat penguatan dari umat beriman lainnya. Dalam pertemuan ibadah tersebut kita saling mengingatkan, saling mendoakan dan menguatkan, mengasihi dalam persekutuan. Maka jangan tinggalkan koor dan persekutuan lainnya.

Nyatanya, sampai sekarang inang terkasih, kita masih bisa berkata horas, ma dihita saluhutna, damai sejahtera bagi kita semua. Sebab apa?sebab Allah masih dan senantiasa memelihara kehidupan kita dan keluarga kita. Jadi masihkah kita ragu dengan pemeliharaan Allah? Jangan ragu, percayalah. Horas. Amin.

Jumat, 27 Mei 2016


Yesus bangkit atau dibangkitkan?: Mengenal kuasa kebangkitan Kristus
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Yesus bangkit atau tidak?dan kalau Yesus bangkit maka apakah Yesus bangkit (membangkitkan diriNya sendiri) atau dibangkitkan?Pertanyaan-pertanyaan kritis semacam ini paling tidak pernah mengusik benak seseorang, baik umat Kristen atau non-Kristen. Pertanyaan ini bukan hanya milik mereka yang berkecimpung pada ranah teologis, tetapi juga milik mereka yang merupakan jemaat awam, bukan hanya pertanyaan yang digumuli para Pendeta tetapi juga Jemaat. Artikel ini akan mencoba membahas mengenai apakah Yesus bangkit atau dibangkitkan dalam rangka mengenal kuasa Kristus.
Posisi teologis dan iman penulis pada makalah ini jelas, bahwa Yesus bangkit, oleh karena itu pertanyaan pertama pada kalimat pembuka tidak kita kupas lebih dalam tetapi justru menjadi titik berangkat kita dalam pembahasan artikel ini. Yesus bangkit, apakah Ia bangkit atau dibangkitkan?Menurut penulis, jawabannya justru terletak pada pemahaman kita mengenai doktrin Trinitas.

Trinitas
Allah Trinitas adalah Allah Bapa, Putra, dan Roh kudus. Mengenai hubungan di antara ketiganya (Bapa, Putra dan Roh Kudus) saya mencoba untuk membahasakan hubungan mereka seperti pandangan para Bapa gereja yang dijuluki “Bapa Kappadokia” yaitu “satu substansi (substance) dalam tiga person (hypostaseis)”. Sang Anak dan Roh Kudus, kedudukan mereka bukanlah subordinat dari sang Bapa. Ketiganya memiliki satu nature (Allah) namun dalam tiga persons yang berbeda. Konsep person disini bukan berarti tiga makhluk, bukan pula berarti terdapat tiga Allah, melainkan satu Allah tapi tiga karakteristik dan peran yang berbeda (cobalah memahaminya dalam konsep universalitas dan partikularitas).
Kita teringat kepada Allah Bapa, ketika kita melihat karakteristik dan perannya sebagai dasar, asal muasal, pencipta segala sesuatu. Kita teringat pada Sang Anak ketika kita melihat karakteristiknya dan perannya sebagai Juruselamat dalam karya penyelamatan Allah bagi manusia, Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Kita teringat pada Roh Kudus, ketika kita mengingat peran dan karakteristiknya sebagai penolong kita memahami karya penyelamatan Allah dalam Kristus, penolong dalam kehidupan, pemelihara kehidupan dan penghibur dalam kehidupan. Ketika kita mengingat Allah Bapa, secara otomatis kita melihat dan mengingat Sang Anak dan Roh Kudus. Ketika kita mengingat Sang Anak, kita mengingat Bapa dan Roh Kudus. Demikian pula ketika kita mengingat Roh Kudus kita mengingat Bapa dan Sang Anak. Ketiganya tak terpisahkan.

Yesus bangkit atau dibangkitkan?
                Yesus bangkit atau dibangkitkan?Kalau posisi teologis kita, posisi iman kita, berpijak pada iman yang menyatakan bahwa Yesus bangkit maka persoalan apakah bangkit atau dibangkitkan sebenarnya hanya membuat kita terjebak pada polarisasi atau dikotomi bahwa Yesus itu bangkit sendiri atau dibangkitkan oleh kuasa lain di luar dirinya. Kalau kita terjebak pada polarisasi atau dikotomi ini maka kita menjadi mengecilkan kuasa Yesus (bila kita hanya berpandangan bahwa Yesus dibangkitkan) dan juga melupakan doktrin Trinitas (bila kita hanya berpandangan bahwa Yesus membangkitkan dirinya sendiri), sebuah doktrin yang justru dipegang teguh umat Kristen sejak masa gereja perdana.
                Yesus membangkitkan diriNya sendiri?Ya! Jelas karena Ia adalah Tuhan dan memiliki kuasa untuk membangkitkan diriNYa sendiri. Pernyataan bahwa Yesus bangkit berkaitan dengan perananNya sebagai Anak Allah, dalam doktrin Trinitas. Yesus berkali-kali menegaskan bahwa Anak Manusia, akan menderita, mati dan kemudian akan bangkit (Markus 8:31, Markus 9:9, Markus 9:31, Lukas 24:7). Kuasa ini dijelaskan Yesus sendiri bahwa, tidak ada seorang pun yang mengambil nyawa Yesus melainkan Yesus memberikannya menurut kehendakNya sendiri. Ia berkuasa memberikan dan mengambilnya kembali, itulah tugas yang diberikan Bapa kepadaNya (Yohanes 10:17-18).
                Yesus dibangkitkan?Ya! Hal ini banyak kita jumpai dalam pembahasan di Alkitab (Matius 16:21, Matius 17:9, Lukas 9:22, Kisah Para Rasul 2:32). Lalu siapa yang membangkitkannya? Allah Bapa (Kisah Para Rasul 4:10, 10:40, 13:37). Frase “Allah membangkitkan” atau “Kristus dibangkitkan”, ingin menunjukkan kuasa Allah Bapa dalam kaitan sebuah karya penyelamatan. Lalu apa peran Roh Kudus?Roh Kudus, dalam karya penyelamatan, berperan penting dalam memberikan pencerahan, menyingkapkan rahasia misteri ilahi ini, kepada manusia untuk dapat mengerti makna karya penyelamatan yang dilakukan dalam sinergi Allah Trinitas. Dalam pada itu, hal ini menunjukkan bahwa dalam karya penyelamatan justru ada sinergi diantara ketiga persons yang terkandung di dalam Trinitas.
                Maka kesimpulan saya berdasarkan penelusuran kita di dalam Alkitab dan tradisi gereja (Trinitas) adalah bahwa Yesus bangkit dan dibangkitkan! “Kristus dibangkitkan” atau pun “Kristus bangkit”, keduanya adalah benar kalau kita memahaminya dalam kerangka berpikir Allah Trinitas. Keduanya benar, karena menunjukkan dan menekankan peran pribadi ilahi yang berbeda.

Implikasinya dan kuasa kebangkitan Kristus
                Setelah analisa dan pembahasan kita di atas, maka kita mengerti sekarang bahwa kedua pernyataan, “Yesus dibangkitkan” maupun “Kristus bangkit”, tidak lagi perlu dan penting untuk diperdebatkan dan dipertentangkan karena keduanya benar dan menunjukkan peran pribadi ilahi yang berbeda. Ortodoksi atau ajaran yang lurus dan benar memang penting, maka itu saya berusaha, dalam tulisan ini untuk menggali ortodoksi tersebut dari Alkitab dan tradisi, doktrin gereja. Ortodoksi tersebut telah kita mengerti dan kita pahami bahwa Yesus bangkit dan dibangkitkan!
                Akan tetapi, kita jangan melupakan aspek ortopraksis atau perbuatan yang baik, benar, tepat dan sesuai dengan ortodoksi yang kita terima. Setelah kita mengerti ortodoksi maka hal kemudian yang tidak kalah penting adalah apa implikasinya dalam perbuatan kita? Hal yang perlu saya tekankan di sini adalah kebangkitan Kristus (baik itu Yesus dibangkitkan dan Yesus bangkit, karena keduanya adalah benar) menginspirasi, menggerakkan para murid untuk menjadi saksi kebangkitan Kristus!

Kuasa kebangkitan Kristus telah menggerakkan para murid untuk bergerak mewartakan kabar bahagia tersebut ke seluruh dunia. Justru di sinilah letak kuasa kebangkitan Kristus itu karena mampu mengubah kesedihan para murid akibat matinya Yesus menjadi bahagia dan sukacita karena bangkitnya Kristus. Pada konteks kita saat ini, mari kita mengalami kuasa kebangkitan Kristus dan menjadi saksi kebangkitan Kristus, menjadi garam dan terang di sekitar kita, melalui panggilan kita masing-masing, di mana pun kita ditempatkan! Selamat Paskah, Kristus telah bangkit! Haleluya! (YRH)


Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno dan teladan Tuhan Yesus serta Relevansinya dengan Konteks Saat Ini : Menceritakan Firman Allah turun temurun
Oleh : Yason Resyiworo Hyangputra

Pendahuluan
                Jika kita rajin mengikuti perkembangan berita, baik melalui surat kabar maupun televisi, kita akan menjumpai fenomena yang memprihatinkan dalam dunia anak-anak maupun remaja. Beberapa di antara mereka sudah terlibat dalam perilaku kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, pelaku kekerasan terhadap teman sebaya, bahkan berujung pembunuhan. Ketika mencermati berita-berita tersebut, timbul pertanyaan,”bagaimana cara orang tua mereka mendidik anak-anak maupun remaja tersebut?”.
Pertanyaan tersebut sangat wajar mengingat pendidikan pertama dalam diri manusia diperoleh melalui didikan dan pengajaran dari orang tua kandung maupun orang di sekitar mereka yang lebih tua. Tentunya, dalam konteks ini kita melihat pentingnya pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar anak-anak tidak terjerumus dalam perbuatan kriminal maupun perbuatan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kalau demikian, kita tentu perlu mengetahui, pola dan perkembangan pendidikan kepada anak-anak, khususnya pengajaran mengenai agama. Melalui artikel ini, penulis akan membahas mengenai pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus serta relevansinya dengan konteks saat ini sebagai pola yang bisa diaplikasikan yang berguna sebagai “benteng” atau pertahanan awal bagi anak dan remaja agar tidak terjerumus dalam tindakan kriminal dan tindakan lain yang tidak sesuai ajaran agama.

Pola Pendidikan Agama pada masa Israel Kuno
                Untuk mengetahui pola pendidikan agama pada masa Israel kuno dan teladan Tuhan Yesus, sumber utama kita adalah Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Abraham, Ishak dan Yakub, nenek moyang  Israel, adalah guru bagi seluruh keluarganya. Mereka bukan saja imam, perantara antara Allah dengan umat, tetapi juga adalah guru yang mengajarkan perbuatan-perbuatan Allah yang mulia dan juga janji Allah yang membawa berkat bagi Israel turun-temurun. (Homrighausen 1955, 2).
                Allah telah memilih dan memanggil Abraham dengan konsekuensi bahwa Abraham harus menyembah Allah dan menaati segala perintahNya. Janji tersebut diteruskan dan diajarkan oleh Abraham kepada Ishak. Ishak meneruskan pengajaran tersebut kepada Yakub. Yakub menanamkan janji itu kepada anak-anaknya, termasuk Yusuf. Terbukti ketika Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya ke Mesir,ia tetap menyimpan pengajaran-pengajaran tersebut (a.l. berani menolak rayuan istri Potifar) sekalipun ia di negeri asing. (Homrighausen 1955, 3).
                Pada masa perbudakan Israel di Mesir, Allah memilih Musa untuk membebaskan umatNya sekaligus menjadi guru dan pemberi hukum-hukum bagi mereka. Fungsi inilah yang merupakan tugas Musa yang terpenting, karena Israel sedang bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan istimewa. Musa mendidik dan memberi dasar pengajaran agar dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya. (Homrighausen 1955, 3).
                Pendidikan agama di masa Israel kuno juga diselenggarakan oleh imam-imam dalam Bait Suci. Mereka menerangkan dan memelihara Taurat Allah. Selain itu, tiap-tiap keturunan orang Israel, meskipun hanya rakyat biasa, juga menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan tersebut kepada keturunan yang berikut. Pada hari raya Paskah, bapa-bapa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa itu. (Homrighausen 1955, 4).

Teladan Tuhan Yesus
                Tuhan Yesus, selain Penebus dan Pembebas, adalah Guru Yang Agung. KeahlianNya dipuji sehingga menyebabkan Dia disebut sebagai “Rabbi”, gelar kehormatan sebagai seorang pengajar dalam soal ilmu ketuhanan. Yesus mengajar di berbagai tempat: a.l. di bukit, dari dalam perahu, di rumah sederhana, di rumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama, di depan masyarakat biasa. Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung tertentu. Yesus juga mengajar tidak terikat pada waktu tertentu. Ia mengajar siang-malam. Tiap keadaan digunakanNya untuk memberitakan Firman Allah. (Homrighausen 1955, 5-6).
                Cara mengajar Yesus juga istimewa. Tuhan Yesus tidak memaksakan suatu ajaran dan menyuruh orang banyak mempercayai hal tersebut begitu saja tanpa berpikir ulang. Yesus justru menolong mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang telah dijelaskanNya. (Homrighausen 1955, 6).
                Tuhan Yesus mengajar dengan memakai beragam metode. Yesus mengajar a.l. dengan cara bercerita, lewat perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, melalui percakapan, dan metode-metode lainnya. Tetapi, tidak hanya dengan perkataan, Yesus juga mengajarkan dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksudkanNya. Sebagai contoh, Yesus membasuh kaki murid-muridNya, ketika ia mengajar mereka supaya rendah hati. Pengajaran Yesus sendiri sempurna ketika menunjukkan ketaatanNya kepada Bapa, dan mengorbankan diriNya sendiri di kayu salib di Golgota untuk keselamatan manusia yang berdosa.

Relevansi dengan Konteks Saat Ini
                Melalui pemaparan sebelumnya kita telah melihat bahwa pendidikan agama pada masa Israel kuno adalah tanggung jawab orang tua. Orang tua lah yang mengajarkan dan memperkenalkan anak-anak mereka kepada Allah dan mengajarkan segala ketetapanNya. Karena itu, sangat mengherankan dan sangat disayangkan jika ada orang tua yang hanya menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut kepada gereja, melalui sekolah minggu. Gereja hanyalah mitra, rekan sekerja orang tua dalam memperkenalkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Orang tua, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjalankan peran sebagai guru dalam keluarganya dan mengajarkan didikan agama kepada anak-anaknya agar mereka bertumbuh menjadi pribadi dewasa yang istimewa.
Setiap orang tua Kristen, harus menyampaikan pengajaran agama Kristen kepada keturunan yang berikut. Caranya bisa dengan metode bercerita. Orang tua bisa menceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Allah pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi anak-anak mereka. Cerita tersebut bisa disampaikan pada waktu kumpul keluarga atau pada waktu refreshing bersama dengan keluarga. Cara paling  efektif tentu dengan menyepakati waktu tertentu sebagai jadwal untuk ibadah bersama sebagai keluarga (sering disebut juga mezbah keluarga, yang berisi pembacaan Alkitab, renungan bersama dan doa bersama sebagai sebuah keluarga).
                Memang seiring dengan perkembangan jaman dan juga tuntutan pekerjaan, orang tua pada masa modern ini sangat sedikit memiliki waktu untuk dapat intens dengan anak-anaknya. Hal tersebut juga membuat orang tua, sedikit banyak, melalaikan fungsi utamanya dalam mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anak. Namun demikian, kita bisa menggunakan berbagai metode kreatif dalam menjalankan fungsi ini.
Sebagai contoh kita dapat memantau anak-anak dengan memanfaatkan media komunikasi (a.l. ponsel), dan dalam percakapan di ponsel kita dapat memantau juga kehidupan doa dan relasi mereka dengan Tuhan (baik melalui pertanyaan atau sharing). Intinya kita harus meneladan Yesus yang tidak membutuhkan sekolah dan gedung untuk menyampaikan pengajaran firman Allah. Kita juga tidak harus terpatok pada suatu waktu tertentu untuk melakukan fungsi ini.
                Sebagai orang tua, dalam mendidik kita juga harus meneladani Tuhan Yesus dengan tidak memaksakan suatu ajaran dan memaksa anak kita untuk menerima begitu saja tanpa berpikir ulang. Kita justru harus merangsang mereka berpikir sendiri, menarik kesimpulan sendiri dari apa yang telah kita jelaskan. Tentunya dengan arahan-arahan yang benar. Misalnya ketika kita menjelaskan bahwa mencuri itu berdosa, maka kita juga harus menjelaskan efek buruk dari mencuri.
                Orang tua tidak hanya mengajar dengan perkataan, Orang tua juga harus mengajarkan kepada anak-anak dengan cara mempraktikkan dan memperlihatkan apa yang dimaksud dalam pengajarannya. Menurut beberapa ahli, cara mendidik anak yang paling efektif adalah dengan memberikan teladan kepada anak melalui tindakan yang dilakukan. Misalnya ketika kita mengajarkan untuk berdoa kepada Tuhan, maka anak-anak juga akan meneladani cara kita berdoa. Kata-kata yang kita pakai untuk berdoa biasanya akan ditiru oleh anak-anak kita. Karena itu sebagai orang tua, kita harus hati-hati dalam bertindak, jangan sampai perbuatan buruk kita ditiru oleh anak-anak kita. (YRH).

Daftar Acuan
Homrighausen, Elmer G. dan I.H. Enklaar. 1955. Pendidikan Agama Kristen.

Jakarta : BPK Gunung Mulia.