Minggu, 06 November 2016

Etika Kristen dalam Perjanjian Lama - Hospitalitas dan keadilan terhadap para pengungsi berdasarkan tafsiran atas Keluaran 22:21

            Keprihatinan saya timbul ketika mencermati bahwa beberapa negara di dunia masih sering mengalami konflik bersenjata. Sebut saja konflik Israel-Palestina, masalah terorisme ISIS di Irak dan Suriah, masalah di Afganistan, Somalia, Rohingya dan konflik bersenjata di negara lainnya. Konflik-konflik bersenjata tersebut menimbulkan permasalahan lanjutan berupa timbulnya gelombang pengungsi yang mencari perlindungan di negara tujuan karena negara asal mereka, tanah air mereka, tidak lagi kondusif untuk ditinggali (Bantuan hukum website 2016).
Indonesia termasuk negara transit yang seringkali dilewati para pengungsi, baik dari Afganistan, Irak, Sri Lanka, Somalia dan juga pengungsi asal Rohingya. Kapal para pengungsi tersebut sering juga ditolak masuk wilayah teritorial Indonesia oleh aparat keamanan Indonesia (Bantuan hukum website 2016). Penolakan tersebut menurut saya amat disayangkan dan seharusnya tidak perlu terjadi bila ditinjau dari segi alasan kemanusiaan apalagi negara Indonesia amat menjunjung tinggi kemanusiaan ditinjau dari sila kedua Pancasila, yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
            Selain alasan kemanusiaan, sebagai orang Kristen, keberpihakan saya kepada para pengungsi mendapat dukungan alasan alkitabiah karena dalam Etika Kristen di Perjanjian Lama juga berbicara tentang keharusan dari Allah untuk menunjukkan hospitalitas terhadap orang asing. Orang asing dalam arti seluas-luasnya menurut KBBI adalah (1)orang yang tidak dikenal, (2)orang lain, (3)orang dari negara lain. Orang asing dalam arti sempit sesuai konteks adalah para pengungsi yang membutuhkan tempat tinggal baru untuk mereka tinggali karena dipaksa dan terpaksa tercerabut dari tanah kelahiran mereka karena alasan perang. Oleh karena itu, karya tulis ini akan meninjau Keluaran 22:21, sebagai sebuah Etika Kristen dalam Perjanjian Lama terkait hospitalitas dan keadilan terhadap para pengungsi sebagai orang asing. Karya tulis ini juga akan berusaha melihat alasan di balik timbulnya larangan penindasan terhadap orang asing dan keharusan menunjukkan hospitalitas dan keadilan kepada mereka dilihat dari kacamata keadilan Allah dalam pemeliharaan dan penebusan Allah.

Tafsiran Keluaran 22:21 sebagai Etika Kristen keharusan melakukan hospitalitas dan keadilan terhadap orang asing
וְגֵר לֹא־תֹונֶה וְלֹא תִלְחָצֶנּוּ כִּי־גֵרִים הֱיִיתֶם בְּאֶרֶץ מִצְרָיִם
“Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”
            Keluaran 23:9 yang berbunyi, “orang asing janganlah kamu tekan, karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”, merupakan pengulangan perintah larangan menganiaya pendatang baru/orang asing yang terdapat pada Keluaran 22:21. Pengulangan perintah ini juga dapat ditemui di dalam Imamat 19:33-34, Ulangan 24:17-18; 27:19. Larangan dalam Keluaran 23:9 ditetapkan dalam konteks untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam proses hukum. Sementara itu, kalimat Keluaran 22:21 berbentuk pernyataan yang lebih ringkas dibanding pengulangan lainnya dalam Keluaran, Imamat dan Ulangan (sebagaimana telah disebut sebelumnya) dan diterapkan tidak hanya dalam konteks hukum tetapi sebagai kepedulian, keadilan dan hospitalitas kepada orang yang tidak mampu (yang didalamnya juga termasuk janda dan anak yatim). Setiap anggota “umat perjanjian” dituntut untuk memiliki belas kasih kepada orang yang kurang beruntung (dalam konteks ini orang asing/pendatang baru, dan saya menafsirkan bahwa termasuk di dalamnya para pengungsi dari negara lain) karena “umat perjanjian” pada masa dahulu di Mesir juga mengalami pengalaman penderitaan yang sama sebagai pendatang di Mesir (Durham 1987, 331). Kita juga mengingat bahwa Israel ketika datang ke Mesir pun sebagai pengungsi, yang datang ketika Yusuf memerintah sebagai tangan kanan Firaun Mesir, dan ketika terjadi kelaparan yang hebat melanda negeri mereka (Kej. 46).
            Para pendatang baru, yang adalah penghuni sementara, maupun turis yang bermaksud menetap untuk waktu yang pendek atau waktu yang dapat diperpanjang dengan tidak dapat ditentukan karena satu dan lain hal, biasanya merupakan orang-orang yang tanpa keluarga dan keahlian. Mereka juga kadang terputus relasinya dengan negara asal mereka dan karena itu rentan untuk diserang maupun mengalami kekerasan dan penganiayaan. Umat Israel tahu persis nasib penderitaan itu, sebagaimana yang mereka alami di Mesir, dan mereka diperintahkan untuk tidak melakukan penganiayaan dan penindasan yang sama dengan yang mereka alami, ketika nantinya mereka memerintah di tanah yang telah diberikan Allah kepada mereka. Perintah ini diberikan sama dengan keharusan umat Israel untuk tidak boleh menindas, mempermalukan dan memperlemah posisi anak yatim dan janda. Allah akan mendengar tangisan dan seruan mereka yang dianiaya dan bahkan membalaskan kepada mereka yang melakukan penindasan sehingga anak dan istri mereka juga menjadi janda dan yatim (Kel. 22:24) (Durham 1987, 328).
            Ger (Ibr.) yang digunakan dalam ayat ini, di dalam Kitab suci bahasa Ibrani dibedakan dari nokri (Ibr.). Ger digunakan untuk menunjuk kepada non-Israel yang tinggal di Israel secara permanen. Nokri menunjuk kepada mereka yang hanya temporer berada di Israel misalnya turis, atau karena misi dagang. Oleh karena itu saya memakai ayat ini karena menurut saya pengungsi terpaksa tidak lagi memiliki keterhubungan dengan tanah kelahiran, negara asal mereka. Mereka bukan seperti nokri yang hanya karena misi dagang berada di Israel atau karena mereka bertujuan untuk secara temporer tinggal di Israel seperti turis. Nasib mereka terkatung-katung dan tidak jelas apakah bisa kembali atau tidak ke tanah kelahiran mereka. Menurut saya para pengungsi ini tergolong calon Ger. Oleh karena itu menurut etika Kristen mereka harus tetap diperlakukan adil dan kita harus menunjukkan hospitalitas kepada mereka. Para ahli menduga bahwa terdapat sejumlah besar orang asing yang tinggal di Israel ketika Hukum Taurat mulai dibentuk. Versi Imamat 19:34 dan Ulangan 10:19 menunjukkan bahwa Hukum Taurat itu dilaksanakan harus melampaui teks, karena itu umat Israel harus menunjukkan kasih dan kemurahan hatinya kepada orang asing (Hamilton 2011, 350-351).
Kitab Keluaran secara garis besar mengungkapkan karya pembebasan Allah atas perbudakan yang dialami oleh Israel ketika di Mesir. Keluaran 22:21 merupakan bagian yang dinamakan oleh para ahli sebagai bagian Perjanjian Khusus antara Allah dengan Israel di Gunung Sinai (Pasal 19-24). Bentuknya merupakan kasuistik karena menyertakan kondisi dari suatu pernyataan dan juga konsekuensi hukuman bila dilanggar. “Kitab Perjanjian” (Kel. 20:22-23:19) ini berfungsi sebagai penjelasan ilustratif terhadap bagaimana “Kesepuluh Firman Allah” diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di Israel kuno (Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley 2013, 46-49).
            Bagi banyak teolog pembebasan dan teolog pos-kolonial, karya pembebasan Allah terhadap budak (Israel) yang hidup tertindas di Mesir ini merupakan cerminan dinamis Allah yang juga menginginkan umat-Nya (seluruh manusia) secara umum bebas dari penindasan dalam bentuk apapun juga. Walaupun ada juga yang berargumen bahwa karya Allah itu khusus pada Israel, tapi saya cenderung mendukung pandangan bahwa Allah berpihak dan berkarya untuk membebaskan manusia yang menderita, yang tercermin dalam pembebasan partikuler atas Israel, yang berlaku juga bagi manusia umum secara keseluruhan. Pembebasan itu termasuk di dalamnya adalah pembebasan bagi para pengungsi yang harus ditolong untuk bebas dari keadaan terkatung-katung tanpa bantuan dan kejelasan nasib mereka. Dengan demikian hukum Israel ini, dapat digunakan pula sebagai sumber etika Kristen dalam semangat dan motivasi untuk menunjukkan hospitalitas, keadilan dan kemurahan hati kepada orang asing yang termasuk di dalamnya adalah orang asing dalam konteks pengungsi korban perang di negara mereka yang mencari perlindungan ke negara lain (Kel. 22:21) (Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley 2013, 47).
                                               
Konsep Keadilan Allah dalam pemeliharaan Allah
            Allah menyatakan diri-Nya melalui apa yang dilakukan-Nya. Sifat Allah yang adil dan keadilan-Nya yang dilaksanakan, khususnya demi orang yang lemah dan tertindas, erat kaitannya dengan pemeliharaan-Nya atas alam semesta. Motivasi utama untuk keadilan sosial di Israel adalah kesetaraan kedudukan setiap orang sebagai umat Allah. Israel juga sadar bahwa manusia harus bertanggung jawab kepada Allah mengenai sesamanya. Hal ini didasarkan atas kemanusiaan yang sama, yang diciptakan Allah (Wright 2012, 139-140).
            Kebenaran Allah yang menyelamatkan, mencakup pula ancaman penghukuman-Nya yang adil atas umat-Nya sendiri, dan secara lebih luas atas seluruh dunia menurut pemeliharaan-Nya yang benar. Dengan demikian peristiwa yang mencerminkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing, dalam hal ini para pengungsi, memiliki nilai teologis maupun etis karena kita memandangnya termasuk di dalam lingkungan kekuasaan Allah, dalam pemeliharaan-Nya. Allah yang kita layani menuntut pertanggungjawaban semua orang kepada-Nya atas perlakuan mereka terhadap sesamanya (Wright 2012, 144).
            Kita lantas bertanya adakah kasus dalam Perjanjian Lama yang menjadi bukti bahwa Allah menginginkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing?adakah penghukuman Allah ketika terjadi ketidakadilan dan aniaya (antihospitalitas) terhadap orang asing? Ada. Salah satunya adalah kasus Sodom dan Gomora. Pada Kejadian 19: 1-29, Sodom dan Gomora dimusnahkan. Dalam kacamata Yehezkiel 16:49 maka dijelaskan di ayat tersebut bahwa Sodom dan Gomora berlimpah makanan dan kesenangan hidup tetapi mereka tidak menolong orang sengsara dan miskin. Itulah kesalahan Sodom menurut kacamata Yehezkiel 16, bahwa Allah menghukum mereka karena tidak menunjukkan keadilan dan hospitalitas sebagai wujud pemeliharaan Allah kepada orang sengsara (termasuk di dalamnya orang asing) (Dell 2010, 109).

Kesimpulan dan Refleksi
            Melalui tafsiran atas Keluaran 22:21 kita bisa melihat bahwa Allah memelihara orang asing melalui perintah kepada Israel untuk menunjukkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing, termasuk di dalamnya para pengungsi. Ini menjadi dasar Etika Kristen dalam Perjanjian Lama terkait keharusan untuk menerima dan memperlakukan pengungsi layaknya sesama manusia sebagai wujud keadilan dan hospitalitas. Alkitab pun menunjukkan bahwa Allah bertindak menghukum Sodom dan Gomora (kendati mereka bukan orang Israel) dalam konteks memberikan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing.
            Melihat konteks pada masa ini ketika masih banyak terdapat pengungsi korban perang, korban bencana dan pengungsi dengan alasan lainnya maka keadilan dan hospitalitas kepada mereka tentu harus ditunjukkan kepada mereka dengan itikad baik. Permasalahan lanjutan (seperti biaya, tempat menampung pengungsi dsb.) harus menjadi perhatian juga terlepas dari niat untuk menolong mereka dengan sungguh-sungguh. Semua harus dilakukan dalam rangka mewujudkan kasih kepada Allah melalui mengasihi sesama manusia, termasuk para pengungsi.

Daftar Acuan
Dell, Katharine J. 2010. Ethical and unethical in the old testament : God and Humans in
Dialogue. New York : T&T Clark International.
Durham, John I. 1987. World biblical commentary vol. 3 : exodus. Waco, Texas : Word
Books, Publisher.
Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley. 2013. The old testament and ethics : a book by                        book survey. Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Hamilton, Victor P. 2011. Exodus : an exegetical commentary. Grand Rapids, Michigan : Baker       Academic.
Wright, Christopher J.H. 2012. Hidup sebagai umat Allah : etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK     Gunung Mulia.
Bantuan hukum. Pengungsi rohingya harus diperlakukan secara manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar