Selasa, 18 Oktober 2016

Tinjauan Atas Pentingnya Tanggung Jawab Penatalayanan/Stewardship Dunia Sebagai Upaya Penyadaran dan Pencegahan Musnahnya Hutan di Indonesia

Aku Cinta Alam Indonesia: Berteologi Dengan Alam Untuk Mewujudkan Gaya Hidup Bijaksana
Tinjauan Atas Pentingnya Tanggung Jawab Penatalayanan/Stewardship Dunia Sebagai Upaya Penyadaran dan Pencegahan Musnahnya Hutan di Indonesia

Pendahuluan
            Keresahan dan keprihatinan itu muncul dari kenyataan bahwa di lingkungan rumah saya, sebuah pohon ditebang karena menurut masyarakat sekitar pohon itu mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan. Daun dari pohon tersebut berguguran dan membuat lingkungan sekitar menjadi kotor. Masyarakat sekitar, karena alasan praktis dan tidak mau direpotkan untuk menyapu dan membersihkan daun-daun yang berguguran secara berkala, akhirnya memutuskan menebang pohon tersebut.
            Saya juga mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu, ketika di sekolah saya, sebuah pohon yang besar juga disingkirkan dengan alasan untuk memperluas tempat parkir mobil. Saya kurang tahu persis apakah pohon tersebut ditebang begitu saja, atau dipindahkan. Akan tetapi saya menyayangkan keputusan-keputusan manusia yang dengan mudahnya memindahkan atau menyingkirkan makhluk hidup lainnya demi kepentingannya.
            Tahun 2014-2015 juga menjadi tahun yang memprihatinkan untuk pohon-pohon dan hutan di Indonesia. Pada tahun itu, angka kebakaran hutan, baik yang disebabkan oleh pembakaran hutan dengan sengaja oleh manusia untuk membuka lahan maupun kebakaran hutan yang alami dan tidak disengaja, meningkat drastis. Tahun 2014 angka kebakaran hutan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah sebanyak 44,411.36 Ha. Angka kebakaran hutan tahun 2014 ini naik dari tahun 2013 yang hanya 4,918.74 Ha. Sementara itu, pada tahun 2015 angka kebakaran hutan menunjukkan penurunan yaitu dengan jumlah 11,240.78 Ha (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan website 2016).
            Pembakaran hutan di Indonesia yang disengaja oleh manusia sebagian besar bertujuan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit maupun untuk Hutan Tanaman Industri seperti terlihat dalam kasus pembakaran hutan tahun 2015 (BBC website 2016). Sementara itu, menurut Syaufina (2008), dalam bukunya Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, bahwa kebakaran hutan di Indonesia hampir 99% disebabkan oleh manusia, sisanya murni karena alam. Lagi-lagi keputusan-keputusan egois manusia menyebabkan pohon-pohon dan hutan tersingkir.
Dampak pembakaran hutan ini yang paling merugikan justru bukan dari segi materi. Dampak merugikan terbesar justru dari kenyataan bahwa keberadaan dan keberlangsungan hidup dari makhluk hidup lainnya terganggu. Manusia terkena dampak polusi udara dari asap yang berasal dari pembakaran hutan. Satwa liar kehilangan habitat alamiah mereka dan beberapa satwa dan tumbuhan juga mengalami kepunahan. Emisi karbon dan gas yang berasal dari kebakaran hutan juga memperparah perubahan iklim.
Manusia seringkali bersembunyi dari perilaku merusak alam semacam ini dibalik pendangan bahwa manusia adalah puncak dari rantai makanan. Oleh karena manusia puncak dari rantai makanan, maka makhluk hidup lainnya dipandang hanya sebatas menunjang kehidupan manusia. Pembenaran itu juga diperparah dengan manusia yang berlindung dan membenarkan dirinya dengan pandangan bahwa puncak dari karya penciptaan Allah adalah manusia, karena diberikan rasio, dan tugas untuk berkuasa atas dunia, sehingga dengan demikian makhluk lainnya adalah sebatas penunjang dan pendukung kehidupannya.
            Tampaknya, perilaku manusia ini, mencerminkan bahwa kita lupa akan hakikat kita sebagai imago dei, sebagai gambar dan rupa Allah. Tampaknya kita melupakan bahwa dibalik tujuan Allah menciptakan manusia dan kuasa yang diberikan oleh Allah untuk menguasai bumi terdapat konsekuensi penatalayanan/stewardship yang menuntut manusia mengelola dan bukan merusak alam dan isinya.

Imago Dei dan tujuan manusia diciptakan dalam fungsi penatalayanan/stewardship
Pada mulanya dunia yang dijadikan Allah berciri harmoni dan tatanan. Kekuasaan Allah atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan tapi terus berlangsung dalam dunia. Allah tetap berkarya melalui proses-proses kehidupan agar kelangsungan dunia yang berciri harmoni dan tatanan tetap terpelihara (Karman 2015, 27-35).
Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan manusia pada posisi mitra (Karman 2015, 35). Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan Allah atas dunia dengan jalan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Allah juga berfirman agar manusia memenuhi bumi dan menaklukkannya (Kej 1:28).
 Kata Ibrani selem dan demut yang digunakan untuk menggambarkan penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah berkaitan dengan representasi atau model. Menurut von Rad, istilah “gambar Allah” lebih menunjuk kepada tujuan manusia daripada keberadaan manusia – lebih kepada teleologi daripada ontologi. (Birch 1991, 87). Sehingga dengan demikian tujuan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, adalah sebagai representasi Allah di dunia (dan bukan sebagai Allah) dengan tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya. Pada pembahasan ini, kita akan meninjau lebih dalam tugas menaklukkan bumi yang diberikan kepada manusia.
Perintah untuk menaklukkan dunia (radah), kita temui dalam Kejadian 1:26 yang langsung berkaitan antara manusia sebagai ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dengan tugas dan tanggung jawab untuk berkuasa atas dunia. Kuasa ini diberikan kepada kita karena kita adalah representasi dari Allah. Kuasa tersebut tidak bisa diartikan bahwa manusia mutlak mempunyai hak prerogatif untuk berbuat apa saja yang dikehendaki kepada bumi ini (Birch 1991, 89).
 Kalau terminologi kekuasaan memiliki konotasi aturan dalam memerintah, maka kekuasaan manusia bukanlah kekuasaan absolut tetapi kekuasaan perwalian atau hanya dapat melakukan tindakan penatalayanan atas nama kedaulatan Tuhan Allah sebagai pencipta (Birch 1991, 89). Maka kekuasaan yang diberikan kepada manusia ini mempunyai implikasi moral dan etis. Dalam kasus ini kita tidak bisa sesuka hati kita menebang pohon, membakar hutan, dan membuka lahan hanya karena alasan ekonomi semata dengan didorong pemahaman bahwa manusia berkuasa sepenuhnya atas dunia dan bahwa manusia adalah puncak dari segala ciptaan. Kita tidak berkuasa sepenuhnya atas dunia ini sebab alam semesta dan isinya hanya diwalikan kepada kita. Kekuasaan kita terbatas sebab yang menciptakan dunia adalah Allah dan bukan manusia. Kita hanyalah mitra Allah dalam memelihara dan melakukan penatalayanan atas dunia.
Implikasi dari tugas manusia dalam kerangka penatalayanan alam semesta adalah bahwa manusia bertindak layaknya manajemen dalam perusahaan yang tidak berorientasi profit semata. Layaknya manajemen dalam perusahaan ia berbuat sebaik mungkin agar perusahaan itu dapat beroperasional terus menerus (prinsip going concern). Sebab selama perusahaan itu terus menerus ada, ia berpenghasilan, hidup dan makan dari keuntungan (yang sewajarnya) dari perusahaan itu. Tapi ia menyadari bahwa perusahaan itu bukan miliknya sehingga sewaktu-waktu ia dapat diminta pertanggungjawaban oleh pemilik perusahaan atas pengelolaan perusahaan yang ia lakukan sehingga dengan demikian ia tidak berbuat seenaknya sendiri dalam mengelola perusahaan itu.
Demikian pula dengan tugas manusia dalam penatalayanan alam semesta dan isinya. Manusia berbuat sebaik mungkin agar dunia dan isinya ini dapat berkesinambungan dinikmati hingga generasi selanjutnya (sampai Tuhan menentukan akhir dari dunia ini). Manusia juga perlu menyadari bahwa dunia ini bukan miliknya, tapi milik Allah, sehingga ia tidak berbuat seenaknya sendiri dan siap sedia jika sewaktu-waktu diminta pertanggungjawaban oleh Allah.
Memandang rendah terhadap hewan dan tumbuhan juga turut mendukung pembenaran terhadap tindakan manusia yang menghancurkan alam. Pandangan merendahkan dan menjadikan hewan dan tumbuhan hanya sebagai obyek belaka tidak akan kita temukan pembenarannya di dalam Alkitab, sebab ketika Allah menciptakan isi dunia, ia memandang seluruh ciptaan baik adanya. Dalam kitab Kejadian, Allah berulangkali mengucapkan bahwa ciptaanNya “baik” dan “sangat baik” (1:4;10,12,18,21,25,30) dan ini menegaskan nilai ciptaan lainnya. (Green & Lapsley 2013, 44).
Pandangan merendahkan dan menjadikan hewan dan tumbuhan obyek semata bisa ditelusuri merupakan penyebab atau produk dari pemikiran modern sejak Descartes yang menjadikan manusia dengan rasionya sebagai pusat alam semesta dan melihat makhluk lainnya sebagai obyek semata dari pemikiran manusia (Birch & Vischer 1997, 2). Descartes mengagungkan rasio manusia, sebab menurutnya hanya yang bisa berpikirlah yang bisa dikonfirmasi sebagai yang “ada” di dunia dengan semboyannya, dubito ergo cogito, cogito ergo sum. Hewan dan tumbuhan dianggap tidak bisa berpikir. Hewan menurut Descartes, adalah makhluk automata, bergerak secara otomatis (Birch & Vischer 1997, 2).
Descartes mungkin akan terkejut dengan penelitian belakangan ini yang justru menemukan bahwa tumbuhan memiliki kemampuan seperti berpikir dan mengingat (http://www.greenmedinfo.com/blog/research-reveals-plants-can-think-choose-remember). Mungkin saja dalam penelitian-penelitian ilmu pengetahuan selanjutnya banyak kejutan lainnya yang kita temukan, mengingat masih banyak misteri akan ciptaan Allah yang begitu besar dan tak terselami. Rasa-rasanya Descartes dan para penganutnya perlu berpikir ulang mengenai pandangan mereka mengenai hewan dan tumbuhan.
Dalam kerangka pemikiran penatalayanan/stewardship, kita perlu mengingat bahwa tanggung jawab kita adalah menata (dalam perspektif pemeliharaan) sebagai mitra Allah dalam pemeliharaan semesta. Dalam menata itu, kita perlu memandang dan menghargai keberadaan hewan dan tumbuhan juga sebagai makhluk Allah yang baik adanya. Pekerjaan menata itu kita lakukan sebagai pelayan Allah (ini pemahaman penting perspektif penatalayanan, berasal dari pelayan yang menata, sehingga manusia adalah pelayan Allah yang bertugas merepresentasikan Allah menata alam semesta) sehingga otoritas Allah, yang mengatakan bahwa hewan dan tumbuhan itu baik adanya, perlu kita jadikan perspektif kita juga dalam menata dan memelihara alam semesta. Dengan adanya perspektif ini saya berharap pembakaran hutan tidak akan terjadi lagi, minimal orang Kristen tidak turut ambil bagian dalam kejadian pembakaran hutan di Indonesia.

Kesimpulan
            Tema Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia PERSETIA 2016 adalah “Aku cinta alam Indonesia : Berteologi dengan alam untuk mewujudkan gaya hidup bijaksana”. Saya mengangkat pendalaman tema dari sebuah tinjauan atas pentingnya tanggung jawab penatalayanan/stewardship dunia sebagai upaya penyadaran dan pencegahan musnahnya hutan di Indonesia. Konteks yang menjadi keprihatinan saya adalah pembakaran hutan yang marak terjadi, yang meningkat sejak tahun 2014 hingga sekarang ini.
Permasalahan yang saya angkat adalah adanya pola pikir manusia yang membenarkan tindakan tersebut dengan alasan bahwa manusia adalah puncak segala ciptaan, puncak rantai makanan dan diberikan tugas untuk berkuasa atas bumi sehingga tindakan apapun bisa dibenarkan karena makhluk lainnya termasuk pohon-pohon di hutan, hanya sebagai obyek dan penunjang dari kehidupan manusia semata. Untuk mewujudkan gaya hidup bijaksana berkaitan dengan berteologi dengan alam, kita perlu meluruskan pemahaman yang salah mengenai tugas manusia untuk berkuasa atas bumi. Dari pemahaman yang benar maka akan lahir tindakan dan gaya hidup yang bijaksana berkaitan dengan alam Indonesia.
Manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, diberikan tugas untuk berkuasa atas bumi dan isinya. Tetapi kuasa itu tidak bisa dimengerti sebagai kekuasaan absolut untuk berbuat apa saja yang dikehendaki olehnya termasuk membakar hutan. Manusia adalah representasi Allah, sehingga kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwalian atau kuasa sebatas penatalayanan/stewardship.
Layaknya penatalayanan/stewardship ia tidak bisa sewenang-wenang, karena kepemilikan dunia sesungguhnya ada pada Allah. Manusia perlu mengelola dunia sebaik mungkin agar dunia dan isinya ini dapat berkesinambungan dinikmati hingga generasi selanjutnya. Kita perlu siap sedia jika sewaktu-waktu diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Dalam kerangka pemikiran penatalayanan/stewardship, sebagai pelayan Allah, kita perlu memandang dan menghargai keberadaan hewan dan tumbuhan juga sebagai makhluk Allah yang baik adanya. Perspektif Allah, yang mengatakan bahwa hewan dan tumbuhan itu baik adanya, perlu menjadi perspektif kita juga dalam menata dan memelihara alam semesta.
Pemahaman yang benar tentang tanggung jawab penatalayanan sebagai konsekuensi dari tugas manusia untuk berkuasa atas bumi adalah pandangan penting yang perlu diingatkan oleh gereja kepada jemaatnya. Pemahaman ini dalam narasi karya penciptaan Allah seringkali kita lupakan. Penekanan pada pemahaman tersebut adalah sebuah sikap serius yang tidak perlu dicurigai sebagai paham teologi alam (natural theology) tetapi sebuah peringatan bagi kita semua bahwa bagaimanapun juga dunia ini adalah milik Allah (Karman 2015, 35).

Daftar Acuan
Birch, Bruce C. 1991. Let justice roll down : the old testament ethics, and christian life.
Louisville, Kentucky : Westminster/John Knox Press.
Birch, Charles & Lukas Vischer. 1997. Living with the animals: the community of God’s
creatures. Geneva: WCC Publications.
Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley. 2013. The old testament and ethics : a book by book
survey. Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Karman, Yonky. 2015. Bunga rampai teologi perjanjian lama : dari kanon sampai doa.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Malang : Bayumedia.
n (diakses 10 September 2016).
(diakses 10 September 2016).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rekapitulasi luas kebakaran hutan di

Indonesia tahun 2010-2015. http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran (diakses 10 September 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar