Aku Cinta Alam
Indonesia: Berteologi Dengan Alam Untuk Mewujudkan Gaya Hidup Bijaksana
Tinjauan Atas Pentingnya
Tanggung Jawab Penatalayanan/Stewardship
Dunia Sebagai Upaya Penyadaran dan Pencegahan Musnahnya Hutan di Indonesia
Pendahuluan
Keresahan dan keprihatinan itu muncul
dari kenyataan bahwa di lingkungan rumah saya, sebuah pohon ditebang karena menurut
masyarakat sekitar pohon itu mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan.
Daun dari pohon tersebut berguguran dan membuat lingkungan sekitar menjadi
kotor. Masyarakat sekitar, karena alasan praktis dan tidak mau direpotkan untuk
menyapu dan membersihkan daun-daun yang berguguran secara berkala, akhirnya
memutuskan menebang pohon tersebut.
Saya juga mengingat peristiwa
bertahun-tahun lalu, ketika di sekolah saya, sebuah pohon yang besar juga disingkirkan
dengan alasan untuk memperluas tempat parkir mobil. Saya kurang tahu persis
apakah pohon tersebut ditebang begitu saja, atau dipindahkan. Akan tetapi saya
menyayangkan keputusan-keputusan manusia yang dengan mudahnya memindahkan atau
menyingkirkan makhluk hidup lainnya demi kepentingannya.
Tahun 2014-2015 juga menjadi tahun
yang memprihatinkan untuk pohon-pohon dan hutan di Indonesia. Pada tahun itu,
angka kebakaran hutan, baik yang disebabkan oleh pembakaran hutan dengan
sengaja oleh manusia untuk membuka lahan maupun kebakaran hutan yang alami dan
tidak disengaja, meningkat drastis. Tahun 2014 angka kebakaran hutan
berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah sebanyak
44,411.36 Ha. Angka kebakaran hutan tahun 2014 ini naik dari tahun 2013 yang
hanya 4,918.74 Ha. Sementara itu, pada tahun 2015 angka kebakaran hutan menunjukkan
penurunan yaitu dengan jumlah 11,240.78 Ha (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan website 2016).
Pembakaran hutan di Indonesia yang
disengaja oleh manusia sebagian besar bertujuan untuk pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit maupun untuk Hutan Tanaman Industri seperti terlihat
dalam kasus pembakaran hutan tahun 2015 (BBC website 2016). Sementara itu,
menurut Syaufina (2008), dalam bukunya Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia, bahwa kebakaran hutan di Indonesia hampir 99%
disebabkan oleh manusia, sisanya murni karena alam. Lagi-lagi
keputusan-keputusan egois manusia menyebabkan pohon-pohon dan hutan tersingkir.
Dampak
pembakaran hutan ini yang paling merugikan justru bukan dari segi materi.
Dampak merugikan terbesar justru dari kenyataan bahwa keberadaan dan
keberlangsungan hidup dari makhluk hidup lainnya terganggu. Manusia terkena
dampak polusi udara dari asap yang berasal dari pembakaran hutan. Satwa liar
kehilangan habitat alamiah mereka dan beberapa satwa dan tumbuhan juga
mengalami kepunahan. Emisi karbon dan gas yang berasal dari kebakaran hutan
juga memperparah perubahan iklim.
Manusia
seringkali bersembunyi dari perilaku merusak alam semacam ini dibalik pendangan
bahwa manusia adalah puncak dari rantai makanan. Oleh karena manusia puncak
dari rantai makanan, maka makhluk hidup lainnya dipandang hanya sebatas
menunjang kehidupan manusia. Pembenaran itu juga diperparah dengan manusia yang
berlindung dan membenarkan dirinya dengan pandangan bahwa puncak dari karya
penciptaan Allah adalah manusia, karena diberikan rasio, dan tugas untuk
berkuasa atas dunia, sehingga dengan demikian makhluk lainnya adalah sebatas
penunjang dan pendukung kehidupannya.
Tampaknya,
perilaku manusia ini, mencerminkan bahwa kita lupa akan hakikat kita sebagai imago dei, sebagai gambar dan rupa
Allah. Tampaknya kita melupakan bahwa dibalik tujuan Allah menciptakan manusia
dan kuasa yang diberikan oleh Allah untuk menguasai bumi terdapat konsekuensi
penatalayanan/stewardship yang
menuntut manusia mengelola dan bukan merusak alam dan isinya.
Imago Dei dan tujuan manusia diciptakan
dalam fungsi penatalayanan/stewardship
Pada
mulanya dunia yang dijadikan Allah berciri harmoni dan tatanan. Kekuasaan Allah
atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan tapi terus berlangsung
dalam dunia. Allah tetap berkarya melalui proses-proses kehidupan agar
kelangsungan dunia yang berciri harmoni dan tatanan tetap terpelihara (Karman
2015, 27-35).
Dalam
konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan manusia pada posisi mitra (Karman
2015, 35). Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan Allah atas dunia dengan
jalan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Allah juga
berfirman agar manusia memenuhi bumi dan menaklukkannya (Kej 1:28).
Kata Ibrani selem dan demut yang digunakan
untuk menggambarkan penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah berkaitan
dengan representasi atau model. Menurut von Rad, istilah “gambar Allah” lebih
menunjuk kepada tujuan manusia daripada keberadaan manusia – lebih kepada
teleologi daripada ontologi. (Birch 1991, 87). Sehingga dengan demikian tujuan manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, adalah sebagai representasi Allah di dunia
(dan bukan sebagai Allah) dengan tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi bumi
dan menaklukkannya. Pada pembahasan ini, kita akan meninjau lebih dalam tugas
menaklukkan bumi yang diberikan kepada manusia.
Perintah
untuk menaklukkan dunia (radah), kita
temui dalam Kejadian 1:26 yang langsung berkaitan antara manusia sebagai
ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dengan tugas dan tanggung
jawab untuk berkuasa atas dunia. Kuasa ini diberikan kepada kita karena kita
adalah representasi dari Allah. Kuasa tersebut tidak bisa diartikan bahwa
manusia mutlak mempunyai hak prerogatif untuk berbuat apa saja yang dikehendaki
kepada bumi ini (Birch 1991, 89).
Kalau terminologi kekuasaan memiliki konotasi
aturan dalam memerintah, maka kekuasaan manusia bukanlah kekuasaan absolut
tetapi kekuasaan perwalian atau hanya dapat melakukan tindakan penatalayanan atas
nama kedaulatan Tuhan Allah sebagai pencipta (Birch 1991, 89). Maka kekuasaan
yang diberikan kepada manusia ini mempunyai implikasi moral dan etis. Dalam
kasus ini kita tidak bisa sesuka hati kita menebang pohon, membakar hutan, dan
membuka lahan hanya karena alasan ekonomi semata dengan didorong pemahaman
bahwa manusia berkuasa sepenuhnya atas dunia dan bahwa manusia adalah puncak
dari segala ciptaan. Kita tidak berkuasa sepenuhnya atas dunia ini sebab alam
semesta dan isinya hanya diwalikan kepada kita. Kekuasaan kita terbatas sebab yang
menciptakan dunia adalah Allah dan bukan manusia. Kita hanyalah mitra Allah
dalam memelihara dan melakukan penatalayanan atas dunia.
Implikasi
dari tugas manusia dalam kerangka penatalayanan alam semesta adalah bahwa
manusia bertindak layaknya manajemen dalam perusahaan yang tidak berorientasi
profit semata. Layaknya manajemen dalam perusahaan ia berbuat sebaik mungkin
agar perusahaan itu dapat beroperasional terus menerus (prinsip going concern). Sebab selama perusahaan
itu terus menerus ada, ia berpenghasilan, hidup dan makan dari keuntungan (yang
sewajarnya) dari perusahaan itu. Tapi ia menyadari bahwa perusahaan itu bukan
miliknya sehingga sewaktu-waktu ia dapat diminta pertanggungjawaban oleh
pemilik perusahaan atas pengelolaan perusahaan yang ia lakukan sehingga dengan
demikian ia tidak berbuat seenaknya sendiri dalam mengelola perusahaan itu.
Demikian
pula dengan tugas manusia dalam penatalayanan alam semesta dan isinya. Manusia
berbuat sebaik mungkin agar dunia dan isinya ini dapat berkesinambungan
dinikmati hingga generasi selanjutnya (sampai Tuhan menentukan akhir dari dunia
ini). Manusia juga perlu menyadari bahwa dunia ini bukan miliknya, tapi milik
Allah, sehingga ia tidak berbuat seenaknya sendiri dan siap sedia jika
sewaktu-waktu diminta pertanggungjawaban oleh Allah.
Memandang
rendah terhadap hewan dan tumbuhan juga turut mendukung pembenaran terhadap
tindakan manusia yang menghancurkan alam. Pandangan merendahkan dan menjadikan
hewan dan tumbuhan hanya sebagai obyek belaka tidak akan kita temukan
pembenarannya di dalam Alkitab, sebab ketika Allah menciptakan isi dunia, ia
memandang seluruh ciptaan baik adanya. Dalam kitab Kejadian, Allah berulangkali
mengucapkan bahwa ciptaanNya “baik” dan “sangat baik” (1:4;10,12,18,21,25,30)
dan ini menegaskan nilai ciptaan lainnya. (Green & Lapsley 2013, 44).
Pandangan
merendahkan dan menjadikan hewan dan tumbuhan obyek semata bisa ditelusuri
merupakan penyebab atau produk dari pemikiran modern sejak Descartes yang
menjadikan manusia dengan rasionya sebagai pusat alam semesta dan melihat
makhluk lainnya sebagai obyek semata dari pemikiran manusia (Birch & Vischer
1997, 2). Descartes mengagungkan rasio manusia, sebab menurutnya hanya yang
bisa berpikirlah yang bisa dikonfirmasi sebagai yang “ada” di dunia dengan
semboyannya, dubito ergo cogito, cogito
ergo sum. Hewan dan tumbuhan dianggap tidak bisa berpikir. Hewan menurut
Descartes, adalah makhluk automata,
bergerak secara otomatis (Birch & Vischer 1997, 2).
Descartes
mungkin akan terkejut dengan penelitian belakangan ini yang justru menemukan
bahwa tumbuhan memiliki kemampuan seperti berpikir dan mengingat (http://www.greenmedinfo.com/blog/research-reveals-plants-can-think-choose-remember).
Mungkin saja dalam penelitian-penelitian ilmu pengetahuan selanjutnya banyak
kejutan lainnya yang kita temukan, mengingat masih banyak misteri akan ciptaan
Allah yang begitu besar dan tak terselami. Rasa-rasanya Descartes dan para
penganutnya perlu berpikir ulang mengenai pandangan mereka mengenai hewan dan
tumbuhan.
Dalam
kerangka pemikiran penatalayanan/stewardship,
kita perlu mengingat bahwa tanggung jawab kita adalah menata (dalam perspektif
pemeliharaan) sebagai mitra Allah dalam pemeliharaan semesta. Dalam menata itu,
kita perlu memandang dan menghargai keberadaan hewan dan tumbuhan juga sebagai
makhluk Allah yang baik adanya. Pekerjaan menata itu kita lakukan sebagai
pelayan Allah (ini pemahaman penting perspektif penatalayanan, berasal dari
pelayan yang menata, sehingga manusia adalah pelayan Allah yang bertugas
merepresentasikan Allah menata alam semesta) sehingga otoritas Allah, yang
mengatakan bahwa hewan dan tumbuhan itu baik adanya, perlu kita jadikan
perspektif kita juga dalam menata dan memelihara alam semesta. Dengan adanya
perspektif ini saya berharap pembakaran hutan tidak akan terjadi lagi, minimal
orang Kristen tidak turut ambil bagian dalam kejadian pembakaran hutan di
Indonesia.
Kesimpulan
Tema Konsultasi
Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia PERSETIA 2016 adalah “Aku cinta alam
Indonesia : Berteologi dengan alam untuk mewujudkan gaya hidup bijaksana”. Saya
mengangkat pendalaman tema dari sebuah tinjauan atas pentingnya tanggung jawab penatalayanan/stewardship dunia sebagai upaya
penyadaran dan pencegahan musnahnya hutan di Indonesia. Konteks yang menjadi
keprihatinan saya adalah pembakaran hutan yang marak terjadi, yang meningkat
sejak tahun 2014 hingga sekarang ini.
Permasalahan
yang saya angkat adalah adanya pola pikir manusia yang membenarkan tindakan
tersebut dengan alasan bahwa manusia adalah puncak segala ciptaan, puncak
rantai makanan dan diberikan tugas untuk berkuasa atas bumi sehingga tindakan
apapun bisa dibenarkan karena makhluk lainnya termasuk pohon-pohon di hutan, hanya
sebagai obyek dan penunjang dari kehidupan manusia semata. Untuk mewujudkan
gaya hidup bijaksana berkaitan dengan berteologi dengan alam, kita perlu
meluruskan pemahaman yang salah mengenai tugas manusia untuk berkuasa atas
bumi. Dari pemahaman yang benar maka akan lahir tindakan dan gaya hidup yang
bijaksana berkaitan dengan alam Indonesia.
Manusia,
yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, diberikan tugas untuk berkuasa
atas bumi dan isinya. Tetapi kuasa itu tidak bisa dimengerti sebagai kekuasaan
absolut untuk berbuat apa saja yang dikehendaki olehnya termasuk membakar
hutan. Manusia adalah representasi Allah, sehingga kekuasaan manusia adalah kekuasaan
perwalian atau kuasa sebatas penatalayanan/stewardship.
Layaknya
penatalayanan/stewardship ia tidak
bisa sewenang-wenang, karena kepemilikan dunia sesungguhnya ada pada Allah.
Manusia perlu mengelola dunia sebaik mungkin agar dunia dan isinya ini dapat
berkesinambungan dinikmati hingga generasi selanjutnya. Kita perlu siap sedia
jika sewaktu-waktu diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Dalam kerangka
pemikiran penatalayanan/stewardship, sebagai
pelayan Allah, kita perlu memandang dan menghargai keberadaan hewan dan
tumbuhan juga sebagai makhluk Allah yang baik adanya. Perspektif Allah, yang
mengatakan bahwa hewan dan tumbuhan itu baik adanya, perlu menjadi perspektif
kita juga dalam menata dan memelihara alam semesta.
Pemahaman
yang benar tentang tanggung jawab penatalayanan sebagai konsekuensi dari tugas manusia
untuk berkuasa atas bumi adalah pandangan penting yang perlu diingatkan oleh
gereja kepada jemaatnya. Pemahaman ini dalam narasi karya penciptaan Allah
seringkali kita lupakan. Penekanan pada pemahaman tersebut adalah sebuah sikap
serius yang tidak perlu dicurigai sebagai paham teologi alam (natural theology) tetapi sebuah
peringatan bagi kita semua bahwa bagaimanapun juga dunia ini adalah milik Allah
(Karman 2015, 35).
Daftar
Acuan
Birch, Bruce C.
1991. Let justice roll down : the old
testament ethics, and christian life.
Louisville,
Kentucky : Westminster/John Knox Press.
Birch, Charles
& Lukas Vischer. 1997. Living with
the animals: the community of God’s
creatures.
Geneva: WCC Publications.
Green, Joel B
& Jacqueline E. Lapsley. 2013. The
old testament and ethics : a book by book
survey.
Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Karman, Yonky.
2015. Bunga rampai teologi perjanjian
lama : dari kanon sampai doa.
Jakarta
: BPK Gunung Mulia.
Syaufina, L.
2008. Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Malang : Bayumedia.
n
(diakses 10 September 2016).
(diakses
10 September 2016).
Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rekapitulasi luas kebakaran hutan di
Indonesia tahun 2010-2015. http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran
(diakses 10 September 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar