Keprihatinan saya timbul ketika mencermati bahwa beberapa
negara di dunia masih sering mengalami konflik bersenjata. Sebut saja konflik
Israel-Palestina, masalah terorisme ISIS di Irak dan Suriah, masalah di
Afganistan, Somalia, Rohingya dan konflik bersenjata di negara lainnya.
Konflik-konflik bersenjata tersebut menimbulkan permasalahan lanjutan berupa
timbulnya gelombang pengungsi yang mencari perlindungan di negara tujuan karena
negara asal mereka, tanah air mereka, tidak lagi kondusif untuk ditinggali (Bantuan
hukum website 2016).
Indonesia termasuk negara transit
yang seringkali dilewati para pengungsi, baik dari Afganistan, Irak, Sri Lanka,
Somalia dan juga pengungsi asal Rohingya. Kapal para pengungsi tersebut sering
juga ditolak masuk wilayah teritorial Indonesia oleh aparat keamanan Indonesia
(Bantuan hukum website 2016). Penolakan tersebut menurut saya amat disayangkan dan
seharusnya tidak perlu terjadi bila ditinjau dari segi alasan kemanusiaan apalagi
negara Indonesia amat menjunjung tinggi kemanusiaan ditinjau dari sila kedua
Pancasila, yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Selain alasan kemanusiaan, sebagai
orang Kristen, keberpihakan saya kepada para pengungsi mendapat dukungan alasan
alkitabiah karena dalam Etika Kristen di Perjanjian Lama juga berbicara tentang
keharusan dari Allah untuk menunjukkan hospitalitas terhadap orang asing. Orang
asing dalam arti seluas-luasnya menurut KBBI adalah (1)orang yang tidak
dikenal, (2)orang lain, (3)orang dari negara lain. Orang asing dalam arti
sempit sesuai konteks adalah para pengungsi yang membutuhkan tempat tinggal
baru untuk mereka tinggali karena dipaksa dan terpaksa tercerabut dari tanah
kelahiran mereka karena alasan perang. Oleh karena itu, karya tulis ini akan
meninjau Keluaran 22:21, sebagai sebuah Etika Kristen dalam Perjanjian Lama
terkait hospitalitas dan keadilan terhadap para pengungsi sebagai orang asing.
Karya tulis ini juga akan berusaha melihat alasan di balik timbulnya larangan
penindasan terhadap orang asing dan keharusan menunjukkan hospitalitas dan
keadilan kepada mereka dilihat dari kacamata keadilan Allah dalam pemeliharaan
dan penebusan Allah.
Tafsiran Keluaran 22:21 sebagai Etika
Kristen keharusan melakukan hospitalitas dan keadilan terhadap orang asing
וְגֵר לֹא־תֹונֶה וְלֹא תִלְחָצֶנּוּ כִּי־גֵרִים הֱיִיתֶם בְּאֶרֶץ מִצְרָיִם
“Janganlah kautindas atau kautekan
seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”
Keluaran
23:9 yang berbunyi, “orang asing janganlah kamu tekan, karena kamu sendiri
telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang
asing di tanah Mesir”, merupakan pengulangan perintah larangan menganiaya pendatang
baru/orang asing yang terdapat pada Keluaran 22:21. Pengulangan perintah ini
juga dapat ditemui di dalam Imamat 19:33-34, Ulangan 24:17-18; 27:19. Larangan
dalam Keluaran 23:9 ditetapkan dalam konteks untuk mencegah terjadinya
ketidakadilan dalam proses hukum. Sementara itu, kalimat Keluaran 22:21 berbentuk
pernyataan yang lebih ringkas dibanding pengulangan lainnya dalam Keluaran,
Imamat dan Ulangan (sebagaimana telah disebut sebelumnya) dan diterapkan tidak
hanya dalam konteks hukum tetapi sebagai kepedulian, keadilan dan hospitalitas
kepada orang yang tidak mampu (yang didalamnya juga termasuk janda dan anak
yatim). Setiap anggota “umat perjanjian” dituntut untuk memiliki belas kasih
kepada orang yang kurang beruntung (dalam konteks ini orang asing/pendatang
baru, dan saya menafsirkan bahwa termasuk di dalamnya para pengungsi dari
negara lain) karena “umat perjanjian” pada masa dahulu di Mesir juga mengalami
pengalaman penderitaan yang sama sebagai pendatang di Mesir (Durham 1987, 331).
Kita juga mengingat bahwa Israel ketika datang ke Mesir pun sebagai pengungsi,
yang datang ketika Yusuf memerintah sebagai tangan kanan Firaun Mesir, dan
ketika terjadi kelaparan yang hebat melanda negeri mereka (Kej. 46).
Para
pendatang baru, yang adalah penghuni sementara, maupun turis yang bermaksud
menetap untuk waktu yang pendek atau waktu yang dapat diperpanjang dengan tidak
dapat ditentukan karena satu dan lain hal, biasanya merupakan orang-orang yang tanpa
keluarga dan keahlian. Mereka juga kadang terputus relasinya dengan negara asal
mereka dan karena itu rentan untuk diserang maupun mengalami kekerasan dan
penganiayaan. Umat Israel tahu persis nasib penderitaan itu, sebagaimana yang
mereka alami di Mesir, dan mereka diperintahkan untuk tidak melakukan
penganiayaan dan penindasan yang sama dengan yang mereka alami, ketika nantinya
mereka memerintah di tanah yang telah diberikan Allah kepada mereka. Perintah
ini diberikan sama dengan keharusan umat Israel untuk tidak boleh menindas,
mempermalukan dan memperlemah posisi anak yatim dan janda. Allah akan mendengar
tangisan dan seruan mereka yang dianiaya dan bahkan membalaskan kepada mereka
yang melakukan penindasan sehingga anak dan istri mereka juga menjadi janda dan
yatim (Kel. 22:24) (Durham 1987, 328).
Ger (Ibr.) yang digunakan dalam ayat
ini, di dalam Kitab suci bahasa Ibrani dibedakan dari nokri (Ibr.). Ger
digunakan untuk menunjuk kepada non-Israel yang tinggal di Israel secara
permanen. Nokri menunjuk kepada
mereka yang hanya temporer berada di Israel misalnya turis, atau karena misi
dagang. Oleh karena itu saya memakai ayat ini karena menurut saya pengungsi
terpaksa tidak lagi memiliki keterhubungan dengan tanah kelahiran, negara asal
mereka. Mereka bukan seperti nokri yang
hanya karena misi dagang berada di Israel atau karena mereka bertujuan untuk
secara temporer tinggal di Israel seperti turis. Nasib mereka terkatung-katung
dan tidak jelas apakah bisa kembali atau tidak ke tanah kelahiran mereka.
Menurut saya para pengungsi ini tergolong calon Ger. Oleh karena itu menurut etika Kristen mereka harus tetap
diperlakukan adil dan kita harus menunjukkan hospitalitas kepada mereka. Para
ahli menduga bahwa terdapat sejumlah besar orang asing yang tinggal di Israel
ketika Hukum Taurat mulai dibentuk. Versi Imamat 19:34 dan Ulangan 10:19
menunjukkan bahwa Hukum Taurat itu dilaksanakan harus melampaui teks, karena itu
umat Israel harus menunjukkan kasih dan kemurahan hatinya kepada orang asing (Hamilton
2011, 350-351).
Kitab Keluaran secara garis besar mengungkapkan
karya pembebasan Allah atas perbudakan yang dialami oleh Israel ketika di
Mesir. Keluaran 22:21 merupakan bagian yang dinamakan oleh para ahli sebagai
bagian Perjanjian Khusus antara Allah dengan Israel di Gunung Sinai (Pasal
19-24). Bentuknya merupakan kasuistik karena menyertakan kondisi dari suatu
pernyataan dan juga konsekuensi hukuman bila dilanggar. “Kitab Perjanjian”
(Kel. 20:22-23:19) ini berfungsi sebagai penjelasan ilustratif terhadap
bagaimana “Kesepuluh Firman Allah” diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di
Israel kuno (Green, Joel B &
Jacqueline E. Lapsley 2013,
46-49).
Bagi banyak teolog pembebasan dan
teolog pos-kolonial, karya pembebasan Allah terhadap budak (Israel) yang hidup
tertindas di Mesir ini merupakan cerminan dinamis Allah yang juga menginginkan
umat-Nya (seluruh manusia) secara umum bebas dari penindasan dalam bentuk apapun
juga. Walaupun ada juga yang berargumen bahwa karya Allah itu khusus pada
Israel, tapi saya cenderung mendukung pandangan bahwa Allah berpihak dan
berkarya untuk membebaskan manusia yang menderita, yang tercermin dalam
pembebasan partikuler atas Israel, yang berlaku juga bagi manusia umum secara
keseluruhan. Pembebasan itu termasuk di dalamnya adalah pembebasan bagi para
pengungsi yang harus ditolong untuk bebas dari keadaan terkatung-katung tanpa
bantuan dan kejelasan nasib mereka. Dengan demikian hukum Israel ini, dapat
digunakan pula sebagai sumber etika Kristen dalam semangat dan motivasi untuk
menunjukkan hospitalitas, keadilan dan kemurahan hati kepada orang asing yang
termasuk di dalamnya adalah orang asing dalam konteks pengungsi korban perang
di negara mereka yang mencari perlindungan ke negara lain (Kel. 22:21) (Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley 2013,
47).
Konsep Keadilan Allah dalam
pemeliharaan Allah
Allah menyatakan diri-Nya melalui
apa yang dilakukan-Nya. Sifat Allah yang adil dan keadilan-Nya yang
dilaksanakan, khususnya demi orang yang lemah dan tertindas, erat kaitannya
dengan pemeliharaan-Nya atas alam semesta. Motivasi utama untuk keadilan sosial
di Israel adalah kesetaraan kedudukan setiap orang sebagai umat Allah. Israel
juga sadar bahwa manusia harus bertanggung jawab kepada Allah mengenai
sesamanya. Hal ini didasarkan atas kemanusiaan yang sama, yang diciptakan Allah
(Wright 2012, 139-140).
Kebenaran
Allah yang menyelamatkan, mencakup pula ancaman penghukuman-Nya yang adil atas
umat-Nya sendiri, dan secara lebih luas atas seluruh dunia menurut
pemeliharaan-Nya yang benar. Dengan demikian peristiwa yang mencerminkan
keadilan dan hospitalitas kepada orang asing, dalam hal ini para pengungsi,
memiliki nilai teologis maupun etis karena kita memandangnya termasuk di dalam
lingkungan kekuasaan Allah, dalam pemeliharaan-Nya. Allah yang kita layani
menuntut pertanggungjawaban semua orang kepada-Nya atas perlakuan mereka
terhadap sesamanya (Wright 2012, 144).
Kita lantas bertanya adakah kasus
dalam Perjanjian Lama yang menjadi bukti bahwa Allah menginginkan keadilan dan
hospitalitas kepada orang asing?adakah penghukuman Allah ketika terjadi
ketidakadilan dan aniaya (antihospitalitas) terhadap orang asing? Ada. Salah
satunya adalah kasus Sodom dan Gomora. Pada Kejadian 19: 1-29, Sodom dan Gomora
dimusnahkan. Dalam kacamata Yehezkiel 16:49 maka dijelaskan di ayat tersebut
bahwa Sodom dan Gomora berlimpah makanan dan kesenangan hidup tetapi mereka
tidak menolong orang sengsara dan miskin. Itulah kesalahan Sodom menurut
kacamata Yehezkiel 16, bahwa Allah menghukum mereka karena tidak menunjukkan
keadilan dan hospitalitas sebagai wujud pemeliharaan Allah kepada orang
sengsara (termasuk di dalamnya orang asing) (Dell 2010, 109).
Kesimpulan dan Refleksi
Melalui tafsiran atas Keluaran 22:21
kita bisa melihat bahwa Allah memelihara orang asing melalui perintah kepada Israel
untuk menunjukkan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing, termasuk di
dalamnya para pengungsi. Ini menjadi dasar Etika Kristen dalam Perjanjian Lama
terkait keharusan untuk menerima dan memperlakukan pengungsi layaknya sesama
manusia sebagai wujud keadilan dan hospitalitas. Alkitab pun menunjukkan bahwa
Allah bertindak menghukum Sodom dan Gomora (kendati mereka bukan orang Israel) dalam
konteks memberikan keadilan dan hospitalitas kepada orang asing.
Melihat
konteks pada masa ini ketika masih banyak terdapat pengungsi korban perang,
korban bencana dan pengungsi dengan alasan lainnya maka keadilan dan
hospitalitas kepada mereka tentu harus ditunjukkan kepada mereka dengan itikad
baik. Permasalahan lanjutan (seperti biaya, tempat menampung pengungsi dsb.)
harus menjadi perhatian juga terlepas dari niat untuk menolong mereka dengan
sungguh-sungguh. Semua harus dilakukan dalam rangka mewujudkan kasih kepada
Allah melalui mengasihi sesama manusia, termasuk para pengungsi.
Daftar Acuan
Dell, Katharine J. 2010. Ethical and unethical in the old testament : God and Humans in
Dialogue. New York : T&T Clark International.
Durham, John I. 1987. World biblical commentary vol. 3 : exodus. Waco, Texas : Word
Books, Publisher.
Green, Joel B & Jacqueline E. Lapsley. 2013. The old testament and ethics : a book by book survey. Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Hamilton, Victor P. 2011. Exodus : an exegetical commentary. Grand Rapids, Michigan : Baker Academic.
Wright, Christopher J.H. 2012. Hidup sebagai umat Allah : etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bantuan hukum. Pengungsi rohingya harus diperlakukan
secara manusiawi.
http://www.bantuanhukum.or.id/web/pengungsi-rohingya-harus-diperlakukan-secara-manusiawi/ (diakses 16 Oktober 2016).